Minggu, 25 November 2007

Nyidam jam MIDO



Selesai kuliah pada awal tahun 72, seperti teman-teman yang lain, saya juga ikut-ikutan ke Jakarta untuk cari pekerjaan. Katanya di Jakarta mudah mencari pekerjaan. Di Jakarta pertama-tama yang jadi “jujugan” pak Purwanto dam pak Witono, yang lebih beruntung karena telah lulus duluan dan sudah bekerja di SGV-Utomo, sebuah kantor akuntan publik patungan dengan Filipina. Melihat pak Pur dan pak Witono setiap hari ngantor sambil membawa tas kerja merk “Echolac” wah kelihatannya koq hebat banget. Saya sering ngelamun sendiri : kapan yaa saya bisa kerja sambil membawa tas Echolac ke kantor.


Barangkali karena referensi pak Pur dan pak Witono saya dapat diterima juga bekerja di SGV-Utomo. Jadi obsesi saya, begitu dapat pekerjaan pertama-tama yang akan saya beli adalah tas kantor. Obsesi saya ini benar-benar saya laksanakan. Gaji pertama saya belikan tas Echolac. Saya masih ingat waktu itu belinya di pasar Senen diantar pak Witono. Pada masa itu tas Echolac memang lagi nge-trend dan merupakan symbol status pegawai kantoran atau pegawai eksekutif. Sebetulnya secara fungsional tas tersebut kurang bermanfaat, karena dari rumah kita juga tidak membawa apa-apa ke kantor. Sebaliknya kita juga tidak pernah membawa pulang pekerjaan kantor. Tetapi ngantor tanpa membawa tas rasanya koq seperti pengangguran atau seperti pegawai level “klerk”.

Di SGV-Utomo saya hanya bertahan 1 tahun, mungkin karena akuntan bukan bidang saya jadi tidak ada prospek. Kebetulan kita berenam, saya, Purwanto, Witono, Bambang Priyanto, Suharto dan Katiyo, diterima di BRI untuk program Wakakanca angkatan I. Untuk penugasan pertama, saya ditempatkan sebagai trainee di BRI Cabang Tasikmalaya. Saya sempat ketemu dengan Kakanca-kakanca(sekarang Pinca) senior seperti Pak Moegiono(alm), pak Bambang Rijaya Santosa(alm), pak Ganda Sumantri, pakDjokowahono Samadi dan pejabat-pejabat BRI lainnya.

Sebagai trainee yunior saya memandang kakanca betul-betul sebagai tokoh idola. Apapun yang dia lakukan atau yang dia kenakan selalu menarik untuk diamati. Yang menarik perhatian saya, para kakanca BRI pada waktu itu umumnya memakai jam merk Mido. Saya mempunyai persepsi, nampaknya jam Mido sudah menjadi trade mark atau identik dengan jamnya kakanca BRI. Sama seperti waktu melihat tas Echolac dulu, sekarang saya ganti nyidam jam Mido. Saya membayangkan betapa gagahnya kalau ke kantor pakai dasi (dulu tidak sembarang staf boleh pakai dasi) dan jamnya Mido. Sampai habis 3 tahun masa job-training saya di Tasikmalaya, keinginan untuk memakai jam Mido belum terpenuhi. Maklum honor trainee waktu itu hanya Rp16.500 sebulan ditambah beras 15 kg.

Akhir tahun 75 saya dipindah ke Bogor sebagai Wakakanca. Disana ketemu pak PP Sriwaluyo(alm), Wakakanca I dan pak Suyono(alm) Operation Officer. Kebetulan kedua-duanya jamnya koq ya Mido. Wah ini betul-betul menggoda dan menambah rasa penasaran saya untuk bisa segera membeli jam Mido. Di Bogor sudah mulai ada peningkatan kesejahteraan. Disamping sudah diangkat sebagai pegawai golongan E II, juga mulai ada sedikit-sedikit tambahan rejeki hatur lumayan. Alhasil, setelah 1 tahun di Bogor akhirnya saya bisa membeli jam Mido Chronomaster, warna kuning emas, otomatis dengan hari dan tanggal. Modelnya agak besar dan berat untuk ukuran jam sekarang dan sebetulnya agak kurang praktis karena harus dipakai terus menerus karena kalau tidak dipakai mati.

Sukar dilukiskan dengan kata-kata betapa bahagianya saya pada waktu itu. Barangkali ini merupakan salah satu masa terindah saya di BRI, yaitu untuk pertama kalinya saya bisa mengenakan jam Mido. Jam itu masih saya simpan sampai sekarang. Sudah tidak jalan lagi. Agak susah mencari tukang jam yang dapat memperbaiki jam-jam Mido lama. Atau mungkin di Jogya ada ?

1 komentar:

yanto mengatakan...

ada pak di jakarta tukang jamnya jago dan ongkos murah