Minggu, 25 November 2007

Mengapa bankir enggan menyalurkan kredit


Untuk kesekian kalinya kinerja bankir nasional masih dikritik, karena dianggap belum optimal dalam menjalankan perannya sebagai financial intermediary antara unit surplus dana dengan unit yang memerlukan dana. Sampai dengan akhir semester I 2006 total dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun perbankan mencapai Rp1.168 trilyun, sementara rasio penyaluran kredit atau loan to deposit ratio-nya(LDR) hanya 65%. Artinya, sisanya yang 35 % atau kurang lebih sebesar Rp400 trilyun tidak disalurkan ke sektor riil tetapi tertanam di Sertifikat Bank Indonesia(SBI) dan surat berharga lainnya. Sampai dengan akhir Juni 2006, total kredit yang disalurkan seluruh perbankan hanya mencapai Rp710 trilyun atau mencerminkan ekspansi sebesar 3 % dibandingkan dengan posisi akhir Desember 2005 (Prajarto, Kompas, 2 Oktober 06)

Berbagai analisis penyebabnya sudah banyak dikemukakan, mulai dari masalah tehnis perbankan, peraturan BI yang masih dirasakan ketat, kesiapan sektor riil sampai ke masalah makro ekonomi yang belum kondusif. Tulisan ini mencoba melihat masalah rendahnya penyaluran kredit ini dari sisi yang lain, yaitu dengan pendekatan teori perilaku organisasi (organizational behavior), khususnya yang menyangkut motivasi. Pertanyaannya : Mengapa para bankir kurang termotivasi untuk menyalurkan kredit.

Motivasi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan tertentu. Dalam konteks organisasi, motivasi dapat berarti kesediaan seseorang untuk berupaya secara lebih keras (excert extra efforts) guna mencapai tujuan organisasi (Robbins, 1998). Salah satu teori motivasi yang cukup terkenal adalah teori ekpektasi(expectancy theory) dari Victor Vroom (Vroom dalam Stone, 2002). Teori ini pada dasarnya menjelaskan hubungan antara pilihan perilaku (choice of behavior), hasil kerja(performance) dan imbalan(rewards) yang akan diperoleh, menurut persepsi dan harapan dari pekerja. Menurut Vroom untuk mendorong seorang pekerja melakukan sesuatu sesuai yang dikehendaki organisasi, diperlukan 3 syarat, yaitu : expectancy, instrumentality dan valence.

Syarat pertama, expectancy, mengatakan : seseorang akan memilih perilaku tertentu kalau dia yakin bahwa pilihan itu akan memberikan hasil yang dia harapkan. (effort-performance link atau first-level outcomes). Misalnya : Sebagai pegolf pemula, saya akan lebih sering ke driving range karena saya yakin dengan cara itu saya bisa memperbaiki permainan golf saya. Sebagai pemimpin bank yang LDR-nya masih rendah, saya akan lebih banyak menyalurkan kredit ke dunia usaha, karena dengan cara ini penghasilan bunga akan meningkat, rugi laba naik, sehingga kinerja bank saya akan semakin baik.

Apakah sudah demikian persepsi dan harapan para bankir kita saat ini ? Nampaknya belum semua. Kalau saya menyalurkan lebih banyak kredit memang akan meningkatkan penerimaan bunga, tetapi mungkin hasil akhirnya dalam bentuk kenaikan laba bersih tidak terlalu signifikan karena biaya overhead saya juga mungkin akan meningkat. Saya harus menambah tenaga pemasar, menambah analis kredit, melatih creditmen, membuka outlet baru. Disamping itu, untuk saat ini resikonya masih saya anggap tinggi baik untuk sektor korporasi maupun UKM, sehingga saya harus menambah biaya cadangan resiko kredit. Kalau tidak saya salurkan dalam bentuk kredit, saya masih mempunyai pilihan investasi di SBI atau Surat Utang Negara(SUN), yang resikonya jauh lebih kecil atau malahan tanpa resiko. Dengan memilih SBI atau SUN imbal hasil (return) memang lebih rendah, tetapi saya tidak akan terlalu kawatir karena rugi laba bank saya sebagian besar ditopang oleh penerimaan bunga dari obligasi rekapitalisasi. Kalau masih demikian cara berfikir bankir kita, maka tidak akan ada peningkatan penyaluran kredit, karena bankir tidak yakin perilaku yang dipilih (memberikan kredit) akan membuahkan hasil yang diharapkan. Jadi, syarat effort-performance link atau first-level outcomes tidak terpenuhi.

Syarat kedua, instrumentality, yaitu tingkat keyakinan dari seseorang bahwa perilaku yang dipilih tidak hanya menghasilkan kinerja yang diharapkan tetapi juga memberikan imbalan (rewards) yang diinginkan (performance-reward link atau second-level outcomes). Sebagai seorang pekerja saya harus yakin bahwa kalau saya bekerja lebih giat, ada sistem yang mencatat bahwa hasil kerja saya meningkat dan atas peningkatan ini saya mendapat imbalan yang lebih baik. Imbalan bisa dalam bentuk kenaikan gaji, bonus, promosi, atau penghargaan lainnya yang sifatnya non-materi.

Sebagai bankir, kalau saya berhasil melakukan ekspansi kredit, apa imbalan atau penghargaan yang akan saya terima? Imbalan yang sifatnya non-finansial dapat berupa penghargaan dan pengakuan(recognition) dari pemerintah, institusi, atau media kepada bankir yang dinilai berhasil dalam menyalurkan kreditnya. Dari berbagai even-even pemberian penghargaan yang pernah diselenggarakan selama ini, tidak ada satu award-pun yang diberikan kepada bank yang paling berhasil dalam meningkatkan LDR-nya. Juga, belum ada budaya untuk mempromosikan bankir yang dinilai berhasil ke bank-bank yang lebih besar, misalnya antar bank-bank BUMN yang kebetulan pemiliknya sama.

Apabila penghargaan yang sifatnya non-finansial tidak diperoleh, maka seseorang akan mencari kompensasi lain yang lebih bersifat material. Menurut Alderfer, apabila kebutuhan yang lebih tinggi sulit dipenuhi, keinginnan untuk memenuhi kebutuhan yang lebih rendah meningkat (frustration-regression process) (Alderfer dalam Gibson, 2003). Jadi sekarang bankir sebagai individu yang rasional akan lebih konsern kepada imbalan yang bersifat finansial, yaitu bonus yang lebih besar kalau berhasil melakukan ekspansi kredit. Pertanyaannya : mengapa harapan untuk memperoleh bonus yang lebih besar tidak berhasil memacu bankir untuk menyalurkan kredit ? Pertanyaan ini barangkali dapat dijelaskan dengan syarat yang ketiga yaitu, valence.

Valence, adalah nilai(value) dan arti yang diberikan oleh seseorang atas imbalan yang diterima. Valence bisa bernilai antara minus satu, yang berarti sangat tidak diinginkan (very undesirable) sampai plus satu atau sangat diinginkan (very desireable). Hanya valence yang bernilai positif yang dapat mendorong motivasi seseorang. Valence ini untuk masing-masing orang tidak sama, dan tidak selalu harus bersifat materi atau finansial. Semakin tinggi penghasilan seseorang, uang menjadi semakin berkurang fungsinya sebagai motivator. Disamping itu motivasi kerja seseorang tidak konstan dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Semakin bertambah usia seseorang, job security dan pekerjaan yang menarik menjadi motivator yang lebih penting. (Bowen&Radhakrisna dalam Lindner, 1998)

Nampaknya imbalan yang akan diterima para bankir dalam bentuk tantiem yang lebih besar tidak mempunyai valence yang tinggi sehingga tidak mendorong mereka untuk melakukan ekspansi kredit. Hal ini mudah dimengerti kalau kita lihat penghasilan yang diterima para direksi bank saat ini. Sebagai ilustrasi : gaji direktur salah satu bank BUMN bisa mencapai Rp100 juta per bulan, berarti satu tahun Rp1,400 milyar (14 bulan gaji, karena ditambah uang cuti dan THR). Ditambah tantiem antara Rp1,5 sampai Rp2 milyar, maka total penerimaan bisa mencapai Rp3 milyar setahun, tanpa harus repot-repot melakukan ekspansi kredit. Ini belum termasuk hak untuk membeli saham dengan harga perdana (MESOP) untuk bank-bank sudah go public, yang jumlahnya bisa mencapai 5 juta lembar per direktur. Jadi kalau harga perdananya Rp1.000 per lembar dan harga pasar sekarang Rp3.500, maka para bankir tersebut akan memeperoleh potential gains sebesar RP12,5 milyar.

Dengan penghasilan sebesar itu, maka iming-iming tambahan tantiem sebesar Rp500 juta sampai RP1 milyar per tahun tidak memberi valence yang tinggi kepada para bankir. Untuk apa saya harus bersusah payah melakukan ekspansi kredit, kalau nilai dari imbalan yang akan saya terima sangat rendah, sedangkan disisi lain resikonya masih tinggi.

Alternatif solusi

Untuk mengatasi masalah diatas mungkin perlu difikirkan untuk merubah sistem reward and punishment bagi para bankir. Perlu dimasukkan target ekspansi kredit yang dikehendaki otoritas moneter sebagai salah satu kriteria keberhasilan. Sedang untuk bank-bank yang tidak berhasil mencapai target akan ada konsekuensi penalti-nya. Barangkali kita perlu mencontoh praktek yang dilakukan oleh Bank Negara Malaysia (BNM). Salah satu tugas BNM sebagai bank sentral adalah menjamin tersedianya kredit dan uang di perekonomian sejalan dengan sasaran makro ekonomi nasional. Untuk mencapai tujuan ini BNM menetapkan target ekspansi kredit yang harus dipenuhi oleh semua bank-bank umum di Malaysia. Untuk bank-bank yang tidak dapat mencapai target, BNM dapat memaksa pemegang sahamnya untuk mengganti direksi bank yang bersangkutan

Tidak ada komentar: