Minggu, 25 November 2007

Sistem insentif pegawai

Konsep insentif sudah lama dipraktekkan di BRI. Kita mengenal insentif pembayaran tepat waktu (IPTW) yang digunakan oleh BRI Unit untuk merangsang peminjam Kupedes agar membayar hutangnya tepat waktu. Di BRI Unit kita juga mengenal sistem insentif pengembangan kegiatan (SIPK) untuk memacu karyawan BRI Unit menacapai target-target bisnis tertentu. Didalam kegiatan mobilisasi dana ada insentif pengerahan dana yaitu tambahan imbalan yang diberikan kepada nasabah penyimpan agar lebih banyak lagi menempatkan uangnya di bank kita. Insentif berbeda dengan intensif, namun sangat erat hubungannya. Artinya, insentif digunakan sebagai salah satu alat untuk merangsang seseorang berprestasi atau berkarya lebih intensif. Yang akan kita kupas dalam tulisan ini khusus yang berhubungan dengan insentif pegawai.

Sebagian ahli motivasi seperti McClellands, Herzberg, Maslow mengatakan bahwa motivasi utama seseorang bekerja karena mengharapakan imbalan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan phisiknya. Imbalan tersebut dapat berbentuk upah atau gaji. Karena manusia bekerja untuk memperoleh upah atu gaji, maka logikanya kalau seseorang dibayar lebih tentunya akan bekerja lebih giat atau menghasilkan lebih banyak. Insentif adalah imbalan tambahan yang diberikan kepada pegawai atau karyawan diluar upah atau gaji yang biasa diterima karena produktivitas atau kinerjanya yang melebihi standar yang diharapkan. Insentif yang akan dibahas disini adalah insentif finansial atau yang dapat dikonversikan secara finansial.

Sistem insentif yang paling tua adalah pemberian imbalan yang langsung dikaitkan dengan produktivitas pekerja. Jadi kalau upah menjahit satu potong baju, misalnya Rp5.000,- maka kalau satu hari pegawai A dapat menjahit 10 potong maka dia berhak menerima Rp50.000,-. Sebaliknya B yang hanya dapat menghasilkan 5 potong baju, hanya akan menerima Rp25.000. Sistem ini disebut “straight piece-rate incentive system”. Sistem ini jarang ditrapkan secara murni karena kurang memberikan rasa keamanan bekerja (job-security), khususnya untuk pekerja yang produktivitasnya rendah. Yang umumnya dipakai adalah kombinasi antara pembayaran upah minimum plus insentif apabila pekerja dapat menghasilkan melebihi jumlah standar. Contoh : sistem komisi untuk petugas penjualan (salesmen) ; Petugas pemasar untuk perusahaan asuransi mendapat gaji bulanan ditambah komisi kalau berhasil menjual polis.

Pembayaran insentif secara piece rate dapat pula diberikan kepada kelompok. Jadi, dasar pemberian insentifnya adalah produktivitas kelompok. Pembagian bonus laba untuk pegawai BRI Unit dan Kanca adalah penerapan sistem piece rate untuk kelompok dengan variable laba sebagai dasar penentuan besarnya insentif. Sistem ini akan efektif apabila sifat pekerjaan dari masing-masing anggota kelompok saling bergantung satu sama lain (interdependen) serta ukuran kelompoknya belum terlalu besar. Kerjasama dan rasa kebersamaan antar anggota dalam kelompok tumbuh secara kuat. Apabila kelompoknya menjadi besar dan sifat pekerjaan dari masing-masing anggota independen maka sistem ini kurang efektif untuk memotivasi pegawai untuk bekerja lebih giat. Dalam kelompok yang besar masing-masing anggota merasa kontribusinya didalam meningkatkan produktivitas sangat kecil sehingga dia tidak merasa terdorong untuk bekerja lebih keras. Bandingkan ikilm kerja di BRI Unit ,di kantor cabang, di Kanwil dan Kanpus.

Untuk tenaga-tenaga yang tidak terlibat langsung dalam kegiatan produksi, operasional atau bisnis maka kontribusinya terhadap produktivitas perusahaan tidak bisa secara langsung diukur. Untuk kelompok ini sistem piece rate tidak dapat digunakan. Sebagai gantinya digunakan merit system yang memberikan insentif atas dasar kinerja (performance) pegawai. Penilaian kinerja mencakup penilaian atas kemampuan, skill, sikap, perilaku serta prestasi dari unit kerja dibawah binaan pegawai yang dinilai. Di BRI dulu dikenal penilaian konduite, dan sekarang PAP. Dari hasil penilaian ini akan diperoleh tenaga-tenaga yang masuk kelompok high performers, average dan low performers. Agar sistem ini efektif manajemen harus berani memberikan penilaian mulai dari outstanding (istimewa) sampai ke poor (kurang) dan secara material nampak didalam perbedaan penerimaan insentifnya. Kalau sebagian besar pegawai masuk didalam kelompok baik atau average, maka tidak akan ada insentif bagi high performers, sebaliknya low performers juga tidak merasa adanya penalti karena kinerjanya yang rendah. Fenomena ini kalau di BRI sering di-plesed-kan dengan istilah PGP (pinter goblok pada wae).

Bank-bank asing seperti Citibank, membagi stafnya menjadi dua golongan yaitu staf marketing dan staf non-marketing, atau kalau di BRI kira-kira sama dengan staf bisnis dan non-bisnis. Hanya staf marketing yang berhak memperoleh insentif yang dikaitkan dengan hasil produksi, sedang staf non-marketing tidak. Untuk staf non-marketing insentifnya berupa kenaikan gaji berkala yang besar kecilnya tergantung nilai PAP ditambah bonus akhir tahun kalau perusahaan untung. Dengan sistem ini penghasilan staf marketing bisa jauh melampaui staf non-marketing walaupun pangkatnya sama. Sepintas lalu nampaknya tidak adil, tetapi sebenarnya fair enough. Disini berlaku rumus high risk high return : walaupun staf marketing berpeluang berpenghasilan besar tetapi resiko dipecat juga tinggi kalau tidak mencapai target. Praktek-praktek yang umumnya berlaku, salesman yang dalam waktu tiga bulan tidak berhasil sama sekali menjual satu produk akan diberhentikan. Sebaliknya staf non-bisnis penghasilannya mungkin jauh lebih rendah tetapi job-security-nya tinggi.

Manajemen kadang-kadang tergoda untuk mendesain suatu sistem insentif untuk staf non-bisnis karena alasan keadilan. Jadi tujuan pemberian insentif lebih banyak untuk pemerataan penghasilan. Hal ini dapat berakibat sangat counter-productive bagi staf bisnis, sedang disisi lain tidak akan terlalu memacu kinerja staf non-bisnis.

Skim-skim insentif yang telah diuraikan diatas semuanya menggunakan kinerja individu, kelompok atau unit kerja sebagai dasar pemberian insentif tanpa melihat kinerja perusahaan secara keseluruhan. Jadi BRI Unit Kartosuro yang untung akan tetap memperoleh bonus walaupun BRI Unit secara nasional mungkin rugi (misalnya). Begitu pula Kantor Cabang Jombang yang memperoleh laba, karyawannya akan tetap menerima pembagian bonus walaupun kinerja seluruh kantor cabang secara nasional masih merugi. Sistem ini tidak salah, sepanjang dari awal kita sepakat bahwa sistem bonus laba ini adalah sebagai alat untuk memacu kinerja karyawan, bukan sebagai alat untuk membagi keuntungan.

Sistem insentif yang dikaitkan dengan kinerja perusahaan adalah pembagian keuntungan atau profit sharing, dimana sebagian keuntungan perusahaan dikembalikan kepada karyawan. Semakin besar laba yang diperoleh semakin besar bagian laba yang dibagikan kepada karyawan. Di BRI sistem ini dikenal dengan nama “pembagian jasa produksi” untuk karyawan, dan “tantiem” untuk Direksi dan Komisaris. Sistem ini dianggap cukup berhasil didalam menumbuhkan rasa memiliki, meningkatkan konsern karyawan atas nasib perusahaan serta dapat mengurangi ketegangan hubungan antara karyawan dengan manajemen. Namun demikian sistem ini tidak efektif untuk memacu kinerja karyawan karena dua hal. Pertama, dari kacamata karyawan pembagian laba yang diterima tidak terkait langsung dengan produktivitas atau kinerja karyawan. Kedua, untuk organisasi yang besar masing-masing karyawan merasa bahwa kontribusinya terhadap peningkatan laba perusahaan sangat kecil sehingga mereka indifferent (acuh) dan tidak termotivasi untuk meningkatkan prestasinya. Seorang petugas UPN atau AO di Kanca Sijunjung beranggapan bahwa rugi laba BRI secara nasional tidak akan terpengaruh apakah dia bekerja keras atau tidak.

Kelemahan lain dari sistem profit sharing adalah kemungkinan timbulnya “moral hazard” (aji mumpung) di fihak manajemen atau direksi. Karena besarnya tantiem sangat dipengaruhi oleh besarnya laba, maka manajemen sering cenderung untuk memacu jalannya perusahaan sekencang mungkin dengan harapan memeproleh laba yang besar dalam jangka pendek, tetapi mungkin berakibat merugikan perusahaan untuk jangka panjang. Contoh klasik : Perusahaan yang bergerak dibidang penebangan hutan yang membabat hutang sebanyak mungkin tanpa memperhatikan pelestariannya untuk jangka yang lebih panjang. Atau kalau di bank kita, praktek-praktek menunda pembukuan biaya, menunda pembentukan cadangan penghapusan pinjaman dls.

Untuk mengatasi kelemahan yang timbul sebagai akibat moral hazard maka profit sharing tidak seluruhnya dibayarkan secara tunai tetapi sebagian diberikan dalam bentuk saham. Skim ini disebut employee stock ownership plan (ESOP). Logikanya, dengan memperoleh saham maka karyawan merasa ikut memiliki perusahaan, jadi diharapkan lebih konsern tidak hanya pada rugi laba perusahaan tetapi juga pada kelangsungan hidup perusahaan untuk jangka waktu jang panjang. Juga karena karyawan mengharapkan nilai saham terus meningkat maka tentunya karyawan akan bekerja lebih giat untuk memajukan perusahaannya. Menurut penelitian di perusahaan-perusahaan Amerika logika diatas tidak sepenuhnya berlaku. Karyawan tidak dapat melihat dengan jelas pengaruh dari kinerja individual terhadap nilai saham dan dividen. Untuk para manajer dan eksekutif ESOP tidak dianggap sebagai alat untuk ikut memiliki perusahaan tetapi lebih sebagai personal investment dimana sewaktu-waktu akan dijual apabila harganya menguntungkan. Jadi dengan ESOP konsern manajemen masih tetap pada rugi laba jangka pendek bukan pada kelangsungan hidup (sustainability) perusahaan.

Untuk merangsang agar para eksekutif dan manajemen puncak tetap menjaga kelangsungan hidup dan pengembangan perusahaan untuk jangka yang panjang, skim alternatif yang umumnya sekarang ditawarkan adalah stock options plan. Sebagai pengganti saham kepada para eksekutif ditawarkan opsi untuk membeli saham perusahaan diwaktu yang akan datang dengan harga yang ditetapkan sekarang. Jangka waktu untuk melaksanakan (exercise) opsi bisa antara 5 sampai 10 tahun. Saham tidak diberikan secara gratis tetapi harus dibeli pada saat exercise date. Kalau pada saat tersebut harga saham di pasar dibawah harga opsi, para eksekutif tersebut tidak harus melaksanakan opsinya. Jadi para eksekutif diharapkan akan berusaha agar perusahaan terus berkembang 5 sampai 10 tahun mendatang, sehingga harga saham terus meningkat dan pada saat melaksanakan opsi akan diperoleh harga pasar yang tinggi.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

om artikelnya bagus, makasih ya dah bantu bikin pencerahan, ada tugas nih pusing, tapi sekarang dah jelas berkat ini. thx ya om
salam
eko prihatono