Minggu, 25 November 2007

Susahnya mengatur makan siswa

Selesai melaksanakan job-traning di Kanca BRI Tasikmalaya, pada bulan Februari 1974 kami siswa SUSWAKAKANCA I dipanggil ke Jakarta untuk mengikuti pendidikan klasikal di Pusdik Gatot Subroto. Seluruh siswa berjumlah 54 orang, terdiri dari 32 orang dalam dan 22 orang fresh graduate atau dari luar. Yang termasuk dari dalam antara lain pak Koyo, pak Dadi Effendi, pak Jumeri (alm), pak Djoko Surjoko (alm), pak Rustam Dachlan. Mereka ini sudah menjadi pegawai BRI dengan pangkat rata-rata E II. Saya sempat mengenal beberapa dari mereka, karena kebetulan job-training-nya satu Kanwil. Untuk yang lainnya kita umumnya baru ketemu pada waktu pendidikan klasikal ini. Terus terang kita yang dari luar agak minder melihat ”orang dalam” ini, karena penampilannya sudah seperti bos, bajunya bagus-bagus dan kelihatnnya uangnya juga sudah banyak.


Harus saya akui Pusdik Gatot Subroto waktu itu kondisinya jauh lebih baik dari sekarang, baik dari fasilitas asrama maupun kualitas makanannya. Walaupun kita bukan dari ex-indekost-an, tetapi jujur saja makanan di Pusdik masih lebih baik daripada makanan di rumah. Untuk makan siang atau malam, dalam menunya minimal ada dua macam iwak, iwak pitik sama iwak empal, disamping sajuran lainnya. Jadi, sesi makan siang atau makan malam termasuk acara yang ditunggu-tunggu dan dinikmati.


Mula-mula makanan dihidangkan secara prasmanan, jadi kita mengambil sendiri sesuai selera dan pilihan. Satu dua minggu pertama berjalan lancar dan baik-baik saja. Minggu ke tiga sudah timbul gangguan, beberapa siswa mengeluh karena tidak kebagian lauk. Rupanya karena prasmanan, mereka yang datang duluan bisa mengambil ayam atau ikan lebih dari satu potong, dengan akibat yang datang belakangan tidak kebagian. Saya kira ibu asrama sudah menyediakan dalam jumlah yang cukup, dengan catatan kalau kita mengambilnya masing-masing satu potong. Lebih-lebih kalau menunya sate ayam, satu orang merasa 5 tusuk sudah cukup dan orang lain 10 tusuk baru puas.


Diantara kita sebetulnya sudah mencurigai bapak-bapak yang suka mengambil lebih ini, tetapi tidak berani menegur atau protes. Masak soal makan saja harus berantem. Terpaksa delegasi dikirim ke ibu asrama, mohon agar diadakan pengaturan kembali masalah makanan. Kemudian diatur dengan masih sistem prasmanan, namun disajikan dalam meja-meja makan. Jadi di tiap meja, yang berisi 6 kursi, disediakan nasi, lauk dan sayuran yang cukup untuk 6 orang. Sistem ini ternyata juga tidak menyelesaikan masalah. Masih ada saja siswa yang mengeluh karena tidak kebagian makanan. Rupanya ada saja bapak-bapak yang iseng mengambil ayam di meja nomor 1 kemudian duduk dan makan di meja nomor 6. Untuk kedua kalinya delegasi dikirim ke ibu asrama untuk minta diatur lagi soal makanan ini.


Saya tidak tahu bagaimana ibu asrama mengatasi hal ini, tetapi pada waktu hari Senin pagi sekembali dari liburan akhir pekan sudah ada pengaturan makan yang baru. Masih prasmanan, masih per meja, namun di masing-masing meja sudah dipasang nama-nama siswa. Jadi mau tidak mau kita harus duduk dan makan di meja yang sudah disediakan, tidak bisa pindah-pindah. Begitu pula kalau kita mau mengambil makanan melebihi jatah akan segera ketahuan teman makan semeja. Rupanya cara ini lebih efektif, sampai akhir pendidikan tidak ada keluhan lagi soal makanan.


Pada waktu yang bersamaan sebetulnya di Pusdik juga ada pendidikan klasikal untuk siswa Analis Kredit I (angkatannya pak Suherman, pak Suwondo Br cs.). Saya coba mengecek ke teman-teman analis apakah disana juga ada masalah soal makanan. Tertnyata tidak. Dari awal sampai akhir kursus, makanan disajikan dengan sistem “full buffet”, tidak ada masalah. Mengapa sistem yang sama tidak jalan di kelompok Wakakanca ? Mungkin karena anak-anak analis seluruhnya berasal dari rekrutmen dari luar, jadi merasa senasib.

Tidak ada komentar: