Setelah bertugas selama 3 tahun di Tasikmalaya, pada bulan Oktober 1975 saya menerima SK pindah dan promosi menjadi Wakil Kepala Kantor Cabang (Wakakanca) di Bogor. Sebetulnya sudah pengin segera berangkat, tetapi saya ditahan pak Moegiono(Kakanca) dan diminta ditunda sampai akhir awal Januari. Kebetulan waktu itu cabang Tasikmalaya merencanakan implementasi modernisasi pembukuan di akhir Desember, dan saya yang ditunjuk sebagai project officer-nya. Implementasi ini merupakan momen yang sangat bersejarah sekaligus menyedihkan bagi saya. Setelah 3 tahun belajar dan merasa betul-betul menguasai sistem pembukuan dengan National Cash Register (NCR) sekarang harus saya tinggalkan begitu saja untuk beralih ke mesin pembukuan Burroughs. Tetapi itulah tuntutan zaman untuk kemajuan BRI.
Pada waktu yang bersamaan di bulan Desember 75 di cabang Bogor sedang terbongkar kasus manipulasi yang sangat legendaris dan menghebohkan, baik dari segi modus maupun jumlah kerugiannya. Modusnya adalah penggelapan setoran Kas Negara dan penggelapan kas besar dengan cara “kendhangan”. Disebut kendhangan yaitu bundle uang ribuan yang seharusnya berisi ribuan tengahnya diganti dengan uang pecahan ratusan, jadi hanya pinggirnya saja yang ribuan. Jumlah uang yang dikorupsi mencapai Rp335 juta, jumlah yang sangat besar pada waktu itu mengingat gaji saya sebagai Wakakanca dengan pangkat E II tidak mencapai Rp300 ribu.
Ketika saya dipindahkan ke Bogor, disana sudah ada Wakakanca I yang membidangi kredit yaitu pak PP Sri Waluyo (alm). Jadi saya ditempatkan sebagai Wakakanca II yang membidangi operasional. Seandainya keberangkatan saya tidak ditunda, katakan misalnya bulan Nopember, pasti saya ikut terkena getahnya kasus Bogor. Sebagai Wakakanca II pasti diserahi memegang kunci kas besar, dan sebagai pemegang kunci kas besar saya pasti ikut bertanggung jawab, paling tidak secara administratif, apabila terjadi sesuatu dengan kas besar. Rupanya ditundanya keberangkatan saya ke Bogor, walaupun pada awalnya sedikit mengecewakan, membawa hikmah tersembunyi. Tuhan sudah mempunyai rencana sendiri bagi umatnya. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu , padahal ia amat buruk bagimu ; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al Baqarah : 216)
Antara cabang Bogor dengan Tasikmalaya tidak jauh berbeda baik dari segi volume maupun jenis transaksinya. Saya tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk mengenal kegiatan operasional kanca maupun para karyawannya. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah Sdr Roni (bukan nama sebenarnya), kepala seksi statistik yang sehari-hari mengurusi register sisa pinjaman (RSP) atau lebih dikenal sebagai petugas saldi verval. Wajahnya nampak sedikit lebih tua dari uisa sebenarnya, agak kurus dengan kacamata tebal, tipikal penampilan petugas saldi verval.
Saya sempat bertanya : “Sdr Roni sudah berapa lama di statistik?”. “Lima tahun pak,” jawabnya datar-datar saja tanpa terdengar nada mengeluh atau keinginan untuk mendapat perhatian lebih lanjut. Dari karyawan-karyawan lain saya mendapat informasi walapun sudah lima tahun di statistik, Sdr Roni betah dan tidak pernah minta pindah. Saya jadi heran sekali, jadi petugas saldi verval kok betah. Ada apa ini ? Belajar dari pengalaman waktu job training dulu, saya tahu barangkali pekerjaan yang paling tidak menyenangkan di BRI ya di statistik ini.
Di Bogor waktu itu untuk pinjaman-pinjaman kecil hampir semua dalam bentuk persekot anuitet. Ini untuk memudahkan peminjam agar setiap bulannya cukup mengangsur dalam jumlah yang sama tanpa harus menghitung berapa pokok dan berapa bunganya yang harus dibayar. Untuk nasabah yang membayar maju, (dan cukup banyak yang membayar maju untuk pinjam lagi dalam jumlah yang lebih besar) akan diberi pengembalian bunga atau restitusi. Saya mulai memperhatikan mengapa setiap hari di meja saya kok banyak sekali kwitansi restitusi untuk dimintakan fiat. Saya juga mulai curiga, apakah restitusi ini benar-benar dibayarkan kepada yang berhak. Untuk menyakinkan, saya mengeluarkan instruksi bahwa kasir dilarang membayar restitusi kecuali kepada nasabah yang benar-benar berhak. Sejak saat itu permintaan restitusi turun drastis.
Rupanya selama ini pembayaran restitusi tidak pernah diberikan kepada nasabah yang bersangkutan, tetapi dinikmati oleh petugas statistik bekerja sama dengan kasir. Ini bisa terjadi, karena ketika nasabah melakukan setoran sekaligus diminta menandatangani beberapa lembar kwitansi restitusi. Ini bisa terjadi, juga karena ternyata nasabah tidak pernah tahu kalau ada restitusi. Saya tidak bisa menindak pelanggaran ini, karena buktinya kurang kuat, tetapi baik Sdr. Roni maupun kasir segera saya pindah ke tempat lain. Pelajaran bagi pimpinan : Kalau seorang pegawai betah di bagian yang tidak enak, pasti ada apa-apanya (Roes Haryanto – Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar