Minggu, 25 November 2007

Paritas daya beli

Bagaimana asal mulanya nilai tukar antar mata uang ditentukan sehingga untuk memperoleh 1 dollar Amerika kita harus membayar Rp9,500 atau satu poundsterling Inggris bisa bernilai U$ 1,45. Salah satu teori yang paling terkenal (dan juga paling kontroversial) untuk menjelaskan terjadinya nilai tukar adalah teori paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) theory. Teori ini mengatakan bahwa nilai tukar antara dua mata uang dari dua negara akan mencerminkan paritas daya beli dari masing-masing mata uang tsb. di dua negara ybs. Sebagai contoh, apabila harga sebuah hamburger McDonalds ukuran bic mac di AS U$2.00 dan di Indonesia Rp 7,000 maka nilai tukar U$ terhadap Rupiah seharusnya 1 dollar = Rp 3,500.(7000 : 2) Begitu juga kalau harga 1 kg gandum di AS $2.00 dan di Inggris STG 1.00 maka nilai tukarnya 1 STG = U$ 2.00. Teori ini juga disebut sebagai “the law of one price”, yang mengatakan harga dari dua barang yang serupa dari dua negara akan sama apabila diukur dengan mata uang yang sama (common currency).

Apabila karena suatu hal, misalnya karena panen raya, harga gandum di AS turun menjadi U$1,50 per kg , maka akan terjadi pergeseran permintaan gandum dari Inggris ke AS. Pada harga ini setiap 1 STG dapat digunakan untuk membeli 1 1/3 kg gandum di AS. Orang Inggris akan ramai-ramai memborong gandum Amerika, sehingga karena desakan permintaan, harga gandum AS akan naik lagi menjadi katakan, U$1,80 per kg. Sebaliknya di Inggris karena kurangnya permintaan (karena harganya dianggap masih mahal) akan mendorong harga gandum turun menjadi, misalnya STG0.90. Pada tingkat harga ini maka nilai tukar akan menjadi STG 0.90 = U$ 1,80 atau akan mengembalikan ke paritas daya beli semula yaitu STG 1.00 = U$ 2.00.

Teori PPP ini sering dikatakan kontroversial dan tidak realistis karena menuntut beberapa asumsi yang sulit dipenuhi. Asumsi-asumsi tersebut antara lain, barang-barang di dua negara tersebut bebas diperdagangkan, tidak ada biaya transport , tidak ada pajak ekspor atau bea massuk, tidak ada quota. Apabila asumsi-asumsi diatas dihilangkan maka harga dua barang yang serupa antara dua negara tidak harus sama apabila diukur dengan common currency. Perbedaan tersebut mencerminkan pengaruh biaya transport, tarif bea masuk , pajak ekspor dls. Didalam perkembangannya kita mengetahui banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai tukar, seperti tingkat inflasi, tingkat bunga, permintaan dan penawaran, ekspektasi, campur tangan pemerintah dls. Walaupun teori PPP ini nampaknya tidak realistis namun bukan berarti tidak ada manfaatnya. Coba kita lihat beberapa ilustrasi berikut.

PPP dan tingkat kemakmuran

Seorang lulusan MBA di New York dengan nol tahun pengalaman, entry level salary-nya antara $50,000 sampai $60,000 per tahun. Di negara-negara bagian lain bisa lebih rendah, misalnya di Baltimore, Maryland $45,000, atau di Oregon hanya $36,000. Kita ambil contoh tenaga MBA yang di New York dengan penghasilan $60,000 per tahun. Kalau kita rupiahkan dengan kurs Rp9,500 per dollar maka berarti dia mempunyai penghasilan Rp 570 juta per tahun. Wooow kaya sekali ! Ini mungkin melebihi gaji direktur BRI (saya tidak tahu gaji direktur BRI sekarang).

Apakah berarti dia memperoleh kenikmatan atau kemakmuran seperti seorang direktur BRI di Indonesia ? Wait a minute. Mari kita analisa secara pelan-pelan. Pertama-tama dia harus membayar tax (federal dan state) sebesar kurang lebih 15 % atau $9,000, jadi tinggal $51,000. Kemudian untuk sewa apartemen dengan satu kamar tidur yang agak pantas untuk seorang eksekutif muda $1,500 per bulan atau $18,000 per tahun. Sebagai perbandingan apartemen yang sama di Eugene, Oregon dapat diperoleh dengan membayar $600 per bulan. Menyewa rumah sendiri jelas tidak mungkin karena bisa seharga $2,000 - $3,000 per bulan. Jadi masih bersisa $33,000 atau $2,750 per bulan. Hidup di New York dengan $2,750 per bulan jelas bukan kehidupan yang penuh foya-foya. Jangan harap bisa memelihara sopir atau pembantu. Walaupun punya mobil sendiri pasti tidak mampu ke kantor membawa mobil, karena ongkos parkir bisa $40-$50 per hari. Jadi kalau ke kantor harus naik subway atau bus. Walhasil dengan memperhitungkan faktor PPP seorang MBA dengan penghasilan Rp 570 juta per tahun kalau hidup di New York tingkat kemakmurannya mungkin tidak lebih dari seorang kepala bagian di BRI. Pelajaran pertama, jangan selalu mengukur gaji GM atau staf BRI yang ditempatkan di New York Agency dengan kaca mata rupiah.

Majalah Asia Week (AW) secara berkala menghitung Gross National Product (GNP) atau penghasilan per capita masing-masing negara baik dalam nominal term (nilai nominal) maupun Gross Domestic Product (GDP) dalam PPP term (nilai PPP), dengan menggunakan Amerika Serikat sebagai acuan perbandingan paritas daya beli. GDP adalah nilai seluruh barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara dalam periode satu tahun, sedang GNP adalah GDP ditambah penerimaan dari hasil` investasi dan tenaga kerja di luar negri dikurangi pembayaran-pembayaran untuk tenaga asing.

Didalam majalah AW edisi 2 Maret, 2001, Indonesia dihitung mempunyai penghasilan per capita dalam nilai nominal U$ 617 dan GDP dalam nilai PPP U$2,685. Artinya apa ? Artinya, karena harga barang-barang dan biaya hidup di Indonesia relatif jauh lebih murah daripada AS, maka daya beli U$617 di Indonesia sama dengan daya belinya uang sebanyak U$2,685 di AS. Atau dengan perkataan lain rakyat Indonesia yang pendapatan per capita-nya U$617 tingkat kemakmurannya sepadan dengan rakyat Amerika yang penghasilannya U$2,685.

Begitu pula Cina yang mempunyai GNP U$783 dalam nilai nominal, dalam nilai PPP sama dengan U$3,291. Sebaliknya Jepang yang GNP-nya sebesar U$34,725 dalam nilai nominal, dalam nilai PPP-nya hanya sebesar U$23,780. Sama halnya dengan Swiss yang berpenghasilan per capita U$37,748, dalam PPP-term hanya bernilai U$26,420. Ini membuktikan di ke dua negara tersebut (Jepang dan Swiss) biaya hidupnya jauh lebih tinggi apabila dibanding dengan Amerika Serikat. Mr. Matsusawa, pejabat Sanwa Bank setingkat general manager yang pernah diperbantukan di BRI, mengatakan dengan gajinya saat itu dia tidak mampu untuk tinggal di Tokyo. Eksekutif Amerika yang ditempatkan di Jepang umumnya akan menuntut semacam tunjangan kemahalan. Berikut kami cuplikkan daftar penghasilan per capita dari beberapa negara baik dalam nilai nominal maupun dalam nilai PPP.(Gambar 1)

Gambar 1.


















































Negara


GDP per capita


PPP


GNP per capita nominal


Jerman


U$22,623


U$25,488


Jepang


U$23,780


U$34,715


Perancis


U$21,897


U$24,018


Cina


U$3,291


U$783


Korea Selatan


U$14,086


U$8,581


Singapura


U$25,353


U$22,710


Malaysia


U$8,513


U$3,248


Muangthai


U$5,757


U$1,949


Swiss


U$26,420


U$37,748


Vietnam


U$1,755


U$370


Indonesia


U$2,685


U$617


Sumber : ASIAWEEK, 2 Maret 2001.

PPP dan sistem penggajian

Trainee CS Sarjana di BRI pada waktu pertama kali masuk menerima uang saku dan tunjangan-tunjangan sebesar kurang lebih Rp1,3 juta perbulan. Untuk trainee yang ditempatkan di Jakarta mungkin menerima sedikit lebih banyak dibanding dengan trainee yang di daerah karena perbedaan besarnya sumbangan biaya pengangkutan. Kita asumsikan masing-masing trainee menerima remunerasi yang persis sama tidak perduli dimana dia melaksanakan job-training. Jadi Arman yang ditempatkan di DKI akan menerima penghasilan yang sama dengan Budi yang melaksanakan job-training di Wonosari. Bagi Arman uang Rp1.000,- nilainya tidak lebih sekedar ongkos sekali parkir, sedang bagi Budi uang tersebut bisa berarti satu kali sarapan pagi berupa nasi pecel atau nasi soto ditambah teh ginastel (legi-panas-kentel). Untuk sewa kamar Arman mungkin harus keluar Rp250.000 per bulan, sedang bagi Budi cukup Rp50.000. Karena adanya dis-paritas daya beli antara Wonosari dan Jakarta maka Budi akan jauh merasa lebih makmur daripada Arman walaupun penghasilan keduanya sama. Satu tahun setelah selesai job-training saya yakin tabungan Britama-nya Budi jauh lebih besar daripada Britama-nya Arman. Bagi Arman jangan buru-buru demo atau protes. Sabaar, kita lihat apakah setelah lulus training dan diangkat menjadi pegawai sistem kompensasinya masih sama atau berbeda.

Struktur gaji di BRI terdiri dari gaji pokok ditambah tunjangan konjungtur, tunjangan perusahaan dan beberapa tunjangan lainnya. Tunjangan konjungtur adalah suatu instrumen dalam sistem penggajian yang digunakan untuk meningkatkan daya beli dari penghasilan yang diterima karyawan sehubungan dengan peningkatan biaya hidup dan inflasi. Sepanjang keuangan perusahaan memungkinkan tunjangan konjungtur akan selalu ditinjau secara periodik. Disamping tunjangan konjungtur, di BRI juga dikenal adanya tunjangan khusus wilayah (TKW) sebagai upaya untuk mengurangi dis-paritas daya beli antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Daerah Batam mungkin biaya hidupnya lebih tinggi daripada Jakarta sehingga perlu diberi TKW lebih besar daripada TKW Jakarta, atau Jakarta lebih tinggi daripada DIY Yogyakarta, Jayapura lebih mahal daripada Jakarta dst. Mungkin saat ini perhitungannya belum pas benar, tetapi dengan pengkajian terus-menerus ke lapangan akan diperoleh perhitungan TKW yang mendekati realita.

Jadi disamping ada mekanisme untuk meningkatkan daya beli juga ada upaya untuk menyamakan paritas daya belinya. Salut kepada Divisi SDM yang telah berfikir jauh, tidak hanya memikirkan purchasing power (PP) tetapi juga telah mempraktekkan PPP theory. Bagaimana dengan pensiunan ? Bagi pensiunan mungkin tidak terlalu muluk-muluk untuk mengharapkan penggunaan konsep PPP, cukup kalau PP-nya sering-sering ditinjau sehingga daya belinya tidak semakin merosot dari tahun ke tahun.

Tidak ada komentar: