Minggu, 25 November 2007

Tanggung jawab Dewan Komisaris




Undang-undang (UU) No 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT) menysaratkan adanya komisaris untuk suatu perseroan terbatas. Bahkan untuk perusahaan-perusahaan yang : (a) mengerahkan dana masyarakat, (b) menerbitkan surat pengakuan utang, (c) sudah terbuka (go public), harus memiliki minimal dua orang komisaris. Khusus untuk perusahaan-perusahaan terbuka BAPEPAM mensyaratkan adanya komisaris independen dengan komposisi minimal sepertiga dari seluruh jumlah komisaris.



Berdasarkan UU ini, Dewan Komisaris (DK) bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan serta memberi nasehat kepada Direksi(pasal 97). Tidak ada penjelasan atau pedoman yang baku yang mengatur mekanisme dan hubungan kerja DK dengan direksi. Dalam pelaksanaannya bisa sangat bervariasi, mulai dari dari yang ekstrem, dimana DK hanya muncul waktu rapat umum pemegang saham (RUPS) saja, sampai ke ekstrem yang lain dimana DK terlalu ikut campur dalam kegiatan operasional manajemen sehari-hari.



Dijaman orde baru, untuk mengangkat Direksi dan Komiasris bank BUMN harus mendapat persetujuan dari Bina Graha, walaupun tetap atas usul pemegang saham (dhi Departenmen Keuangan). Untuk formasi DK bank BUMN umumnya diisi kombinasi antara mantan Jendral dan pejabat dari departemen yang membidangi. Dari departemen biasanya diisi oleh pejabat eselon 2 dari Departemen Keuangan. Bagi mantan Jendral mereka sebetulnya mempunyai banyak waktu untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Direksi, namun sering tidak memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya. Sebaliknya yang dari departemen mereka cukup professional dibidangnya, tetapi terlalu sibuk dengan tugas pekerjaannya sendiri, sehingga tidak mempunyai waktu bahkan untuk rapat komisaris satu kali sebulan saja. Walhasil pada waktu itu peran DK kurang efektif dan lebih banyak berfungsi sebagai pajangan saja.



Sekarang DK “pajangan” diharapkan tidak terjadi lagi, karena berbeda dengan UU yang sebelumnya, dalam UU PT yang berlaku sekarang DK bukan hanya berfungsi sebagai pengawas tetapi termasuk dalam fihak yang terafiliasi. Pasal 98 ayat 2 menyebutkan bahwa pemegang saham(PS) yang mewakili sekurang-kurangnya 10% dari seluruh PS dapat mengajukan gugatan perdata atau pidana terhadap Komisaris yang karena kesalahannya atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perusahaan.



Sekarang ini kalau kita membaca neraca publikasi bank-bank, di jajaran DK banyak kita jumpai sederetan nama-nama yang cukup berbobot, baik dari kalangan praktisi perbankan maupun akademisi, yang diharapkan mempunyai profesionalisme, kompetensi dan waktu yang diperlukan untuk dapat menjalankan funngsinya secara efektif sebagai DK. Disamping itu penempatan seorang komisaris independen diharapkan dapat memberikan semangat independensi yang tinggi.





Hubungan dengan pemegang saham



Didalam struktur organisasi PT terdapat tiga pilar utama yang saling berhubungan dengan erat, yaitu : pemegang saham(PS) atau investor, pengelola, direksi atau manajemen, dan dewan komisaris. Pemegang saham atau investor adalah fihak yang memiliki sumberdaya (resources) yang mungkin tidak mempunyai waktu, tenaga, dan keahlian untuk mengelolanya sendiri, sehingga harus mencari orang lain untuk mengelolanya. Manajemen atau direksi PT adalah para professional yang dipercaya atau mendapat amanah untuk mengelola sumberdaya milik PS dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang semaksimal mungkin (to maximize shareholder’s wealth). Amanah yang diberikan kepada manajemen dituangkan dalam bentuk sasaran-sasaran (financial and non-financial goals) yang dikemas dalam rencana kerja dan anggaran (RKA) tahunan yang telah disetujui dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). DK adalah fihak yang mendapat amanah dari PS untuk memastikan bahwa manajemen telah menjalankan perseroan sesuai dengan harapan PS.



Dari struktur diatas jelas terlihat bahwa baik manajemen maupun PS, walaupun sama-sama memperoleh amanah dari PS, namun masing-masing menjalankan fungsi yang sangat berbeda. Manajemen menjalankan perintah PS, sedang DK mengawasi supaya perintah tersebut dijalankan. Untuk bank-bank kecil, dimana hampir tidak ada pemisahan antara pemilik dan pengurus, fungsi pengawasan sering tidak efektif. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan direksi tidak dapat dicegah karena sebetulnya sudah sepengetahuan atau mendapat restu dari pemegang saham.



Dapat pula terjadi DK lebih berada di fihak manajemen dari pada mewakili kepentingan PS karena sebab-sebab yang lebih bersifat non-tehnis. DK merasa mendapat honor dan fasilitas-fasilitas jabatan lainnya dari perusahaan, berkantor di tempat kerja direksi serta lebih banyak berinteraksi, baik dari segi kedinasan maupun sosial dengan direksi. (lebih sering main golf dengan direksi daripada dengan PS). Bahkan, dibeberapa perseroan anggaran dasarnya meminta laporan pertanggungan jawab manajemen kepada RUPS ditandatangani direksi bersama-sama dengan DK. Kesemuanya ini dapat mengakibatkan DK menjadi kurang efektif dan kurang obyektif dalam mengawasi direksi perseroan. Istilah tehnisnya, DK ter-kooptasi dengan kepentingan manajemen.





Benarkah direksi otonom?



Umumnya manajemen memperoleh semacam otonomi atau discretion dalam menjalankan perseroan. Jadi, manajemen mempunyai kebebasan didalam me-rekrut pegawai, menentukan segmen bisnis yang akan dimasuki, memilih rekanan pemasok dls., tanpa campur tangan dari PS. Namun PS dapat pula membatasi wewenang manajemen misalnya dalam hal : pemberian kredit melebihi jumlah tertentu, penghapusan hutang, penyertaaan pada perusahaan lain, akuisisi, reorganisasi, penjualan aktiva tetap atau penerbitan surat utang. Untuk tindakan-tindakan hukum diatas manajemen harus mendapat persetujuan pemegang saham.



Mungkin agak merepotkan kalau setiap kali akan melakukan perbuatan hukum diatas harus meminta ijin pemegang saham, terutama untuk perusahaan yang sudah go public. Sehingga dalam prakteknya sebagian wewenang yang ditarik dari manajemen tadi dilimpahkan kepada DK. Pasal 100 UU PT menyebutkan : kepada DK juga dapat diberikan kewenangan untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu (pasal 100). Dengan kewenangan ini seharusnya DK dapat mencegah kebijakan direksi yang dinilai dapat membahayakan perusahaan atau merugikan kepentingan PS.





Fungsi pengawasan DK



Untuk memastikan bahwa direksi benar-benar telah menjalankan perusahaan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudential banking) dan tata kelola yang baik (good corporate governance), anggota DK atau kuasanya sewaktu-waktu berhak untuk masuk kedalam premises yang dimiliki atau digunakan perseroan, memeriksa buku-buku, dokumen dan surat-surat. Namun belum tentu semua DK mempunyai kemampuan untuk memeriksa (audit), baik karena keterbatasan waktu maupun tenaga.



Didalam pelaksanaannya DK dapat membentuk Komite Audit yang akan membantu DK untuk melakukan pemerikasan buku-buku, dokumen atau peninjauan lapangan. Untuk perusahaan yang sudah go public BAPEPAM juga mensyaratkan kewajiban DK memiliki Komite Audit (KA) yang bekerja penuh waktu. Untuk bank-bank kecil pembentukan KA yang permanen mungkin terlalu mahal, sehingga sesuai kebutuhan secara ad hoc DK dapat menunjuk Kantor Akutan Publik(KAP) untuk melakukan investigasi khusus apabila menemukan hal-hal yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut.



Dari hasil temuan ini, apabila dinilai menjurus kearah penyimpangan, DK dapat mengusulkan kepada PS sangsi yang harus dikenakan kepada direksi. Atau, apabila dipandang sangat membahayakan kelangsungan hidup perusahaan, DP dapat memberhentikan sementara direksi perseroan. Pemberhentian sementara ini dalam waktu paling lambat 30 hari harus segera diikuti dengan RUPS Luar Biasa.



Untuk dapat melakukan pembinaan dan pengawasan dengan baik sebetulnya banyak yang harus dikerjakan DK. Antara lain : monitoring pencapaian RKA, monitoring laporan keuangan bulanan, pembahasaan hasil temuan Komite Audit, pembahasan temuan Satuan Audit Intern (SPI), dan peninjauan lapangan. Jelas bahwa DK harus mau mangalokasikan waktuya secara cukup untuk dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan diatas. DK yang hanya sekedar “formalitas” diharapkan tidak akan ada lagi, terlebih apabila mereka menyadari konsekuensi hukum yang dapat timbul apabila mereka tidak menjalankan fungsi pengawasannya dengan baik.

Tidak ada komentar: