Lagu kebangsaan yang sudah menjadi semacam lagu klasik, yang yang selalu dinyanyikan para pensiunan setiap kali kumpul-kumpul adalah “kapan pensiun naik?”. Tentu yang dimaksud bukan kenaikan berkala sebesar 4% yang selama ini telah dinikmati. Yang ditunggu-tunggu adalah kenaikan manfaat pensiun yang cukup memadai untuk menghadapi biaya hidup yang terus meningkat. Penantian ini telah berlangsung cukup lama, sehingga hampir seperti “Menunggu Godot”, (salah satu judul drama terkenal karya WS Rendra).
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap upaya-upaya perbaikan kesejahteraan pensiunan yang telah dilakukan pendiri(Direksi BRI), harus dicatat bahwa sejak tahun 2000 belum pernah ada kenaikan maanfaat pensiun yang berarti, diluar kenaikan berkala diatas. Memang selama ini telah diberikan beberapa bentuk perbaikan seperti kenaikan prorata sebesar Rp100.000,-, penetapan manfaat pensiun minimum sebesar Rp400.000,-, pemberian bantuan kompensasi tunai (BKT) sebesar Rp100.000,-, kenaikan uang Tunjangan Hari Raya, namun kebijakan-kebijakan diatas sifatnya ad hoc(sesaat), parsial dan tidak terjamin kelangsungannya. Jadi walaupun secara finansial bermanfaat untuk kelompok pensiunan tertentu, secara menyeluruh tidak tidak ada peningkatan yang signifikan atas manfaat pensiun yang diterima. Bahkan khusus untuk BKT, karena disektor pemerintah juga terdapat program yang hampir serupa yaitu bantuan langsung tunai, maka konotasinya seolah-olah memberi bantuan warga miskin.
Kenaikan manfaat pensiun berkala sebesar 4% per tahun didesain untuk mengimbangi kenaikan biaya hidup, sehingga diharapkan para pensiunan dapat mempertahankan tingkat kesejahteraannya. Namun ketika biaya hidup terus meningkat dengan laju yang lebih cepat dari kenaikan manfaat pensiun, dan ini telah berlangsung utnuk waktu yang cukup lama, maka yang terjadi adalah proses pemiskinan secara struktural pada pensiunan BRI. Kita masih ingat waktu belajar Pengantar Ilmu Ekonomi dulu, kalau i (tingkat inflasi) lebih tinggi dari delta I (penghasilan) maka MPC(marginal propensity to consume) atau rasio dari penghasilan yang dibelanjakan akan meningkat dan MPS(marginal propensity to save) atau kemampuan untuk menabung menurun. Pada saat ini masih terdapat pensiunan yang menerima manfaat dibawah upah minimum regional (UMR), meskipun untuk propinsi yang paling rendah tingkat biaya hidupnya.
Sangat ironis, ketika kinerja Bank BRI semakin berkibar, justru nasib pensiunan BRI semakin terpuruk. Mengutip semonan (Jawa: sindiran halus) pak Djokosantoso Moeljono pada acara halal bihalal pensiunan beberapa tahun lalu : Ibaratnya BRI sedang mengadakan pesta kebun dengan membakar sate, para pensiunan hanya terkena asap dan menghirup baunya.tetapi tidak ikut makan satenya (Soedjani, B, Info Agustus 2007). Tulisan singkat ini tidak bermaksud untuk menggugat kenaikan manfaat pensiun, tetapi mencoba membuat kajian secara sederhana tentang apakah Dana Pensiun BRI dan Pendiri secara finansial mampu memperbaiki kesejahateraan pensiunan BRI. `Analisis kami usahakan sepraktis dan sesederhana mungkin, dengan harapan mudah dicerna oleh para pensiunan yang awam tetang penegelolaan dana pensiun. Bagi fihak-fihak yang lebih kompeten diharapkan dapat menindak lanjuti dengan analisis yang lebih tajam dengan didukung data yang lebih akurat.
Konsep pendanaan
Dalam teori pembiayaan perusahaan tradisional yang selama ini kita kenal (financial management) dijelaskan bahwa kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya di masa yang akan datang akan sangat dipengaruhi oleh aliran kas yang akan diterima dimasa yang akan datang (future cash flow). Jadi, kalau teori ini diterapkan didalam pengelolaan dana pensiun, maka kemampuan sautu dana pensiun(DP) untuk menaikkan manfaat pensiun tergantung dari aliran kas yang akan diterima setiap tahunnya. Sebagai ilustrasi : kalau misalnya aliran kas masuk suatu DP setiap tahunnya Rp400 milyar, sedang manfaat pensiun(MP) yang dibayarkan kepada peserta setiap tahunnya Rp200 milyar, maka berarti DP ini bisa menaikkan MP dua kali lipat. Sebagian besar pensiunan umumnya masih mempunyai persepsi seperti ini.
Nah kalau begitu, kita naikkan saja MP dua kali lipat. Tunggu dulu, masalahnya tidak sesederhana ini. Sebab kalau seluruh uang Rp400 milyar tadi kita bayarkan semua untuk peserta pensiun saat ini, maka berarti untuk pegawai BRI yang masih aktif, yang nanti juga akan pensiun, tidak tersedia pendanaannya. Jadi didalam mengelola program pensiun kita tidak menggunakan manajemen keuangan yang tradisional` tetapi menggunakan manajemen aktuaria.
Secara aktuaria akan dihitung berapa kewajiban finansial yang harus dipenuhi DP kalau program pensiun ini akan diteruskan selamanya. Kewajiban finansial terdiri dari manfaaat(future benefits) yang akan diterima peserta pensiun saat ini dan pegawai yang masih aktif termasuk manfaat akan akan diterima para janda dan anak-anaknya kalau peserta pensiun nanti sudah meninggal dunia. Untuk dapat membayar kewajiban finansial ini harus disediakan harta kekayaan dengan nilai tertentu yang kalau dikelola dan dikembangkan akan cukup untuk memenuhi kewajiban finansial DP dimasa yang akan datang.
Sebelum membahas lebih lanjut, barangkali perlu sedikit dijelaskan tentang konsep nilai sekarang (present value). Kalau saya mempunyai kewajiban untuk membayar seseorang di tahun depan sebesar Rp110.000,-, dan apabila bunga bank yang berlaku saat ini 10%, maka sekarang saya cukup menyediakan Rp100.00,- agar dapat memenuhi kewajiban finansial saya. Jadi, Rp100.000,- adalah nilai sekarang dari kewajiban saya yang akan datang sebesar Rp110.000,-. Dalam terminologi manajemen dana pensiun nilai sekarang dari seluruh manfaat yang akan dibayarkan kepada peserta pensiun, baik yang aktif maupun belum, disebut kewajiban aktuaria (present value of future benefits). Sedang kekayaan DP, yang dapat terdiri dari uang kas, simpanan di bank, surat berharga, saham, penyertaan, properti, disebut kekayaan bersih.
Rasio atau kemampuan pendanaan dihitung dengan membandingkan antara kekayaan bersih dengan kewajiban aktuaria. Jadi kalau kekayaan bersih lebih kecil dari kewajiban aktuarianya maka dikatakan DP tsb dalam kondisi “unfunded” atau mengalami kekurangan pendanaan. Sedang kalau kekayaan bersih sama atau lebih besar dari kewajiban aktuarianya maka DP tsb. dikatakan dalam kondisi “funded”.
Setiap perubahan kebijakan dari Pendiri, baik yang menyangkut manfaat pensiun maupun pemberian remunerasi kepada pegawai aktif, akan mempengaruhi perhitungan aktuarianya. Pada gilirannya akan mempengaruhi kondisi pendanaan suatu DP. Apabila perubahan kebijakan tersebut akan mengakibatkan kondisi pendanaan menjadi “unfunded”, maka menurut undang-undang, Pendiri mempunyai kewajiban untuk mengisi kekurangannya dengan menyetor iuran tambahan. Iuran tambahan ini tidak harus disetor sekaligus, namun dapat diangsur sampai 10 tahun.
Gambar 1 menunjukkan perkembangan kekayaan bersih, kewajiban aktuaria dan rasio pendaanaan Dana Pensiun BRI dari tahun 2002-2007. Walaupun tidak ada kenaikkan manfaat pensiun, pertumbuhan kewajiban aktuarianya cukup tinggi dari tahun ke tahun. Hal ini terutama berasal dari perhitungan kewajiban aktuaria untuk pegawai BRI yang masih aktif, yang saat ini sudah mencapai lebih 40.000 orang.
Gambar 1 : Perkembangan kekayaan bersih dan kwajiban aktuaria DP BRI dari 2002-2007
Dalam jutaan rp | ||||
Tahun | Kekayaan | Kewajiban | Rasio | Pertumbuhan |
bersih | Aktuaria | Pendanaan | kekayaan | |
2002 | 3,184,410 | 3,634,481 | 87.62% | |
2003 | 3,691,172 | 4,174,631 | 88.42% | 506,762 |
2004 | 4,500,133 | 4,977,473 | 90.41% | 808,961 |
2005 | 5,089,650 | 5,386,872 | 94.48% | 589,517 |
2006 | 5,890,894 | 5,851,808 | 100.67% | 801,244 |
2007 | 6,544,904 | 6,466,174 | 101.22% | 654,010 |
Sumber : Dana Pensiun BRI |
Rasio pendanaan vs pertumbuhan kekayaan
Dari Gambar 1 diatas terlihat bahwa dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2005 kondisi pendanaan masih defisit atau “unfunded”, walaupun rasio pendanaannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Mulai tahun 2006 Dana Pensiun BRI sudah dalam kondisi surplus atau “funded”. Kita ucapkan selamat kepada Direksi Dana Pensiun BRI yang telah berhasil mengelola dan mengembankan kekayaan dana pensiun dengan baik.
Rasio pendanaan hanyalah salah satu kriteria keberhasilan pengelolaan suatu program pensiun. Kriteria lain adalah kemampuan untuk mengembangkan kekayaannya, karena dari pengembangan kekayaan inilah yang akan menentukan apakah suatu DP mampu menaikkan manfaat pensiun atau tidak. Banyak dana pensiun yang bertahun-tahun dalam kondisi “funded” tetapi tidak mampu menaikkan manfaat pensiun karena pertumbuhan kekayaannya kecil sekali.. Pertumbuhan kekayaan suatu DP berasal baik dari kenaikan aliran kas yang berasal penghasilan bunga, dividen dan iuran Pendiri maupun dari pertambahan nilai (capital gain) dari surat berharga, saham, serta revaluasi penyertaan dan properti.
Kekayaan Dana Pensiun BRI saat ini mencapai Rp6,5 trilyun, nomor 2 di Indonesia sesudah Dana Pensiun Telkom. Selama kurun waktu 5 tahun kekayaan telah bertumbuh dari lebih dari 200%, dengan pertumbuhan rata-rata mencapai Rp673 milyar per tahun. Jadi sebetulnya dari beberapa kriteria diatas, Dana Pensiun kita ini sudah sangat ideal sekali karena disamping sangat kaya, juga kondisi pendanaannya surplus, dan tingkat pertumbuhannya tinggi. Pertanyaannya : Mengapa Pendiri sampai saat ini masih belum berani menaikkan manfaat pensiun ?
Sebagaimana diuraikan diatas, setiap kenaikkan manfaat pensiun akan mempenguruhi perhitungan kewajiban aktuaria baik untuk peserta pensiun maupun untuk pegawai aktif, dengan konsekuensi Pendiri harus melakukan setoran iuran tambahan apabila terjadi kekurangan dalam pendanaan. Dalam kondisi jumlah pegawai BRI yang sangat besar dan struktur penggajian yang sudah tinggi, dapat dibayangkan kenaikkan kewajiban aktuaria sebagai akibat kenaikkan manfaat pensiun akan sangat besar sekali. Sedang kenaikan belanja pegawai BRI sebagai akibat naiknya iuran tambahan, untuk memenuhi naiknya kewajiban aktuaria, akan sangat mempengaruhi rugi laba BRI. Barangkali hal-hal inilah yang masih menjadi kekawatiran bagi Pendiri untuk menaikkan manfaat pensiun.
Namun kalau melihat pertumbuhann kekayaan Dana Pensiun BRI, kekawatiran tersebut seharusnya tidak perlu terjadi. Marilah kita berhandai-handai misalnya : tahun 2008 manfaat pensiun kita berikan tambahan kenaikkan antara 5-10%. Akibat dari kenaikan ini, akan terjadi defisit dalam pendanaan sebesar, katakan Rp3 trilyun. Konsekuensinya Pendiri harus mengisi defisit tersebut sebsar Rp3 trilyun, atau menyetor iuran tambahan sebesar Rp300 milyar per tahun selama 10 tahun. Dengan pertumbuhan kekayaan yang hampir mencapai Rp700 milyar per tahun, saya optimis bahwa dalam waktu 4 tahun defisit tersebut telah tertutup. Jadi Pendiri tidak akan terbebani terlalu lama didalam melakukan iuran tambahan, karena begitu defisit tersebut tertutup maka Pendiri tidak perlu lagi membayar iuran tambahan.
Disamping itu dari pengalaman kami pada waktu diperiksa Departemen Keuangan cq. Direktorat Dana Pensiun, mereka tidak terlalu konsern dengan masalah kekurangan pendanaan. Mereka menilai Dana Pensiun BRI memiliki dua kekuatan : pertama, pendirinya (BRI) adalah BUMN yang besar yang merupakan going concern yang akan eksis untuk selamanya. Kedua, pertumbuhan kekayaan Dana Pensiun BRI sangat besar.
Apa yang harus dilakukan?
Melihat kondisi dan perkembangan kekayaan Dana Pensiun BRI diatas saya berkeyakinan bahwa Dana Pensiun BRI mampu untuk manaikkan manfaat pensiun. Sudah barang tentu perlu analisis dan simulasi yang lebih tajam untuk mengkaji sampai sejauh mana Dana Pensiun dan pendiri mampu menaikkan manfaat pensiun. Masalahnya, kewenangan untuk menaikkan MP tidak berada ditangan DP BRI tetapi ditangan pendiri, Jadi perlu suatu forum untuk meyakinkan pendiri bahwa DP BRI sebenarnya mempunyai kemampuan finansial untuk memperbaiki kesejahteraan pensiunan.
Mengingat DP BRI sering tidak dalam posisi untuk mengajukan usulan-usulan yang menyangkut nasib pensiunan, maka Pengurus Besar (PB) harus mengambil alih tugas ini. Forum komunikasi antara pendiri, DP dan PB harus lebih intensif diadakan. PB juga harus menguasai seluk beluk dan masalah-masalah tehnis pengelolaan program pensiun, agar dapat berdikusi dengan pendiri dan DP dengan level pengetahuan yang seimbang. Kalau perlu, sebelum berdiskusi PB dengan bantuan aktuaris dapat melakukan simulasi alternatif kenaikan manfaat pensiun dengan berbagai konsekuensi aktuarianya.
Saya sering menyampaikan kepada Direksi BRI, bahwa memperbaiki kesejahteraan pensiunan itu ibaratnya mengisi bak kamar mandi. Jangan ditunggu sampai airnya kosong, karena untuk mengisinya sampai penuh akan sangat melelahkan. Begitu pula untuk memperbaiki nasib pensiunan, sebaiknya setiap 2 tahun sekali diusahakan ada tambahan kenaikan sekitar 5%-7%, jangan ditunda-tunda agar konsekuensi pendanaannya tidak terlalu memberatkan pendiri. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar