Minggu, 25 November 2007

Orang tua lebih sensitif


Saya seecara resmi diterima di BRI pada tanggal 1 Desember 1972 sebagai Siswa SUSWAKAKANCA I dengan status Tenaga Bulanan Lepas(TBL). Saya masih ingat gaji pertama, atau tepatnya honor, sebesar Rp16.500,- (Gaji saya waktu di SGV-Utomo sudah Rp30.000,-). 1 bulan pertama saya harus mengikuti program orientasi di Pusdik Gatot Subroto. Beberapa pengajarnya yang saya masih ingat antara lain, Bp. Koento, Bp Subiyakto, Bp Abdurahman, Bp. Lukman Soemantri. Inti dari orientasi adalah memperkenalkan BRI kepada siswa dari segi tata kerja, sistem, sejarah, organisasi dan kegiatan operasional. Namun karena beliau-beliau ini nampaknya tidak dipersiapkan untuk mengajar, maka isi orientasi lebih banyak berupa cerita-cerita dan nostalgia pengalaman masa lalu. Pelajaran pertama yang saya ambil adalah, orang-orang tua umumnya sangat fanatik dan sensitif dengan pengalamannya.


Selesai orientasi saya ditempatkan di Kanca Tasikmalaya untuk melaksanakan program on the job training(OJT). Dari Diklat kita tidak diberi suatu panduan yang rinci tentang bagaimana cara melaksanakan OJT. Pokoknya kita disuruh mengerjakan seluruh kegiatan yang ada di cabang sebagai proses belajar untuk mengenali seluruh kegiatan operasioanl suatu bank. Beruntung, kakanca Tasikmalaya waktu itu pak Moegiono(alm) dari angkatan Tjalon Adjun Administratur(TAA), orangnya sangat terbuka dan membantu sekali.


Pada awal-awal OJT, saya perhatikan seluruh pegawai di kantor cabang tidak ada yang pendidikannya sampai sarjana, paling tinggi sarjana muda. Sebagai seorang sarjana yang masih baru timbul arogansi saya. Dari segi pendidikan, berarti di cabang ini saya yang paling pinter. Jadi, pada waktu-waktu luang sesudah tugas-tugas selesai, mereka sering saya ajak diskusi. Mengapa begini, mengapa begitu, mengapa tidak menggunakan cara yang ini, kan hasilnya lebih efisien, begitulah kira-kira pertanyaan yang sering saya lontarkan. Namun salah saya, saya membawakannya seolah-olah seperti diskusi akademis di bangku kuliah saja. Rupanya cara saya ini kurang disukai oleh para karyawan, bahkan menimbulkan rasa antipati terhadap saya. Saya lupa bahwa mereka ini orang-orang yang sangat berpengalaman dan ahli dibidangnya. Rasa tidak senang juga datang dari Kepala Tata Usaha(KTU)-nya, Bp. Syarif Hidayat (alm) yang sudah puluhan tahun berkerja di BRI. Ngapain ini, anak baru kemarin sore sudah mau ngajarin orang tua yang sudah kenyang makan garam di BRI.


Selama 2 – 3 bulan pertama saya merasa kehadiran saya di cabang kurang begitu diterima oleh staf dan karyawan. Mungkin kalau jaman sekarang sudah sudah di-demo, disuruh pulang. Saya mulai berfikir dan menyadari kesalahan saya dalam berkomunikasi dengan para karyawan. Ini harus diperbaiki dan tidak bisa dibiarkan terus. Saya masih lama di sini, mungkin 2 atau 3 tahun lagi saya baru meninggalkan cabang. Saya memerlukan mereka, saya harus belajar sebanyak-banyaknya dari mereka.


Akhirnya saya putuskan untuk menghadap ke pak Moegiono(Kakanca) untuk konsultasi dan mohon nasehat. Setelah mendengarkan seluruh permasalahannya, beliau memberikan nasehat yang sangat filosofis dan sampai sekarang tidak pernah saya lupakan, “Dik Roes (beliau selalu memanggil saya dik), kata beliau, kata orang kalau anak muda itu biasanya mudah tergoda oleh materi, tetapi kalau orang tua lebih sensitif terhadap masalah pride{harga diri). Jadi kalau mereka kita jadikan tempat bertanya, dan merasa dituakan atau dibutuhkan maka akan merasa sangat dihargai.”


Mulai saat itu saya merubah sikap. Sejak saat itu saya tanggalkan gelar kesarjanaan saya. Saya menempatkan diri saya sebagai seorang yang masih hijau, tidak tahu apa-apa soal bank, yang masih harus belajar dari bapak-bapak yang sudah lebih berpengalaman dari saya. Saya masih terus berdikusi, namun kali ini saya lebih banyak bertanya daripada memberi tahu. Saya lebih banyak menerima, mereka yang memberi. Begitu pula dengan pak KTU, kalau beliau sedang longgar saya selalu bertanya dan minta petunjuk tentang apa saja.


Sejak saat itu saya merasakan ada perubahan sikap dari para karyawan dan staf. Pelan-pelan saya merasa mulai dapat diterima lagi oleh para karyawan. Pak KTU nampaknya juga sudah dapat melupakan yang sudah-sudah dan mulai sayang sama saya, karena saya mulai sering diajak diskusi soal pekerjaan. Bahkan beliau sering minta tolong saya untuk menghadap bapak kakanca untuk mebicarakan masalah-masalah yang seharusnya dibicarakan sendiri antara KTU dan kakanca.


“Pak Roes, terus terang bapa teh rada sieun upami bade nyarios ka bapa Kakanca (bapak agak takut kalau mau bicara dengan bapak kakanca).” katanya campur-campur bahasa Sunda. Sungguh suatu pelajaran masalah komunikasi yang sangat berharga. (Roes Haryanto – Jakarta)


Tidak ada komentar: