Minggu, 25 November 2007

Persepsi dan perilaku manusia

Di Indonesia, sampai dengan tahun 90-an belum banyak orang naik matic (mobil dengan transmisi otomatis). Saya sendiri baru memakai mobil matic tahun 1997. Itupun karena disediakan BRI sebagai mobil dinas, kalau untuk membeli sendiri mungkin masih mikir-mikir. Orang beranggapan bahwa persnelling otomatis susah perawatannya, kalau mogok tidak bisa didorong, tidak bisa lari, kalau dijual lagi susah dls. Padahal kenyataannya tidak demikian. Tehnologi transmisi otomatis hampir sama usianya dengan tehnologi mobil itu sendiri. Di Amerika Serikat (AS) cukup banyak mobil matic produk tahun 60-an yang sampai sekarang masih jalan bagus. Sekarang, trend-nya justru ke mobil matic, terutama di Jakarta sudah merupakan kebutuhan karena jalanannya selalu macet. Orang merasa lebih bergengsi naik mobil matic. Bahkan untuk merk-merk seperti Nissan Sentra atau X-Trail seri terbaru tidak mengeluarkan model manual.

Kalau ditanyakan mana yang lebih aman naik pesawat dibanding dengan naik kereta api atau naik bus, orang akan langsung menjawab naik pesawat resikonya lebih tinggi . Alasannya sederhana saja. Kalau ada pesawat jatuh, hampir tidak ada yang selamat, sedang kalau ada tabrakan kereta atau bus paling hanya beberapa puluh saja yang tewas. Disamping itu kalau ada pesawat jatuh, liputan medianya besar-besaran, gaungnya kemana-mana. Agak berbeda dengan kalau ada bus masuk jurang atau kereta anjlog. Realistasnya, statistik membuktikan bahwa lebih banyak orang meninggal karena kecelakaan didarat dibanding dengan kecelakaan udara.

Kalau kita ke resepsi naik mobil Mercy, walaupun itu Baby-Benz tua tahun 90-an, pasti kita mendapat layanan VIP dari Satpam, sehingga bisa parkir di dekat lobby. Sebaliknya kalau kita naik Toyota New Camry atau Nissan Cefiro, atau bahkan Audi A-6 walaupun itu mungkin keluaran tahun 2004, tetap saja disuruh parkir di basement. Jadi Satpam taunya Mercy itu mobil paling mahal, yang naik Mercy pasti orang kaya, atau paling tidak yang punya Mercy pernah kaya. Merebaknya penyakit flu burung menyebabkan orang takut makan ayam. Penjelasan dari otoritas medis bahwa ayam tetap aman untuk dikonsumsi, tidak serta merta menghilangkan rasa takut masyarakat untuk mengkonsumsi daging ayam.

Pandangan atau anggapan bahwa mobil matic sulit perawatannya, naik pesawat lebih ber-resiko daripada naik bus, yang punya Mercy pasti orang kaya, atau makan ayam pada saat ada wabah flu burung berbahaya disebut “persepsi”. Jadi, persepsi adalah suatu proses dimana seseorang meng-interprestasikan dan memberi arti kesan-kesan yang diperoleh dari pengamatannya terhadap sesuatu peristiwa, benda, orang atau situasi. Persepsi tidak selalu benar dan tidak harus sama dengan kenyataan. Dua orang bisa mempunyai persepsi yang berbeda atas obyek yang sama. Masyarakat mempunyai persepsi sendiri tentang pegawai negri, polisi, jaksa, artis, bank pemerintah, bank swasta, atau anggota DPR.

Persepsi dan perilaku manusia

Mengapa kita konsern dengan persepsi, walaupun kita tahu perepsi tidak selalu sama dengan realita. Karena perilaku manusia lebih banyak didasarkan atas persepsi atas suatu realita bukan atas dasar realita itu sendiri. Mengapa demikian ? Hal ini lebih banyak berhubungan dengan fungsi otak. Kita mengenal fungsi otak sadar dan fungsi otak bawah sadar. Otak sadar berfungsi me-respon masa kini, segala sesuatu yang sedang kita hadapi saat ini. Kita haus ingin minum, kita lapar cari makanan, bermain golf, mengerjakan soal ujian, semuanya ini fungsi dari otak sadar. Logika, akal dan analisa sangat berperan dalam proses otak sadar.

Otak bawah sadar sangat dipengaruhi masa lalu, seperti : kesan-kesan, pengalaman, cerita, kata orang, mitos, legenda, trauma dan persepsi. Tindakan manusia dibawah pengaruh otak bawah sadar adalah melakukan pilihan atas dasar pengalaman, kesan, dan cerita masa lalu serta persepsi yang berkembang waktu itu. Logika dan akal pikiran tidak berperan lagi dalam proses bawah sadar. Pertanyaannya : mana yang lebih dominan antara otak sadar dan otak bawah sadar didalam mempengaruhi perilaku manusia ? Sedikit mengejutkan, berdasarkan penelitian tingkah laku manusia 12 % dipengaruhi oleh fungsi otak sadar dan 88 % dipengaruhi oleh fungsi otak bawah sadar. Jadi mudah dimengerti kalau perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh persepsi.

Di AS pemuda-pemuda kulit hitam (Afro-American) menganggap menjadi pemain basket, baseball atau football lebih mudah daripada harus meneruskan kuliah ke college untuk menjadi Medical Doctors. Harus diakui di ketiga cabang olah raga tersebut memang didominasi oleh atlit-atlit hitam. Jadi persepsi yang berkembang adalah menjadi pemain basket lebih mudah daripada meneruskan kuliah. Bahwa banyak atlit kulit hitam yang sukses dan kaya raya mungkin benar, tetapi bahwa menjadi pemain basket dan bisa masuk ke National Basket Associationd(NBA) lebih mudah daripada sekolah di college belum tentu benar. Banyaknya Insinyur Pertanian yang kerja di bank mungkin juga karena persepsi bahwa kalau kerja di bank lebih cepat jadi “orang” ketimbang kerja di Departemen Pertanian.

Di Jakarta, taksi Blue Bird cukup lama menikmati reputasinya sebagai taksi yang paling dapat diandalkan , aman dan bagus pelayanannya. Belum pernah diadakan survey khusus untuk meneliti hal ini, tetapi inilah persepsi yang berkembang di masyarakat. Jadi, kalau harus menggunakan taksi saya akan berusaha mencari Blue Bird. Kalau tidak ada baru cari taksi yang lain. Sebaliknya, Presiden Taksi (sekarang namanya diganti Prestasi dan dicat biru) termasuk taksi yang kalau bisa, maaf, dihindari.

Kalau sekarang anda harus mengirim undangan, misalnya undangan perkawinan, saya berani bertaruh anda akan menggunakan jasa pengiriman (courier service) bukan menggunakan jasa PT Posindo. Karena apa ? Karena anda tidak yakin dengan menggunakan PT Posindo undangan bisa sampai ke alamat yang dituju tepat waktu. Mungkin sekarang kualitas layanan PT Posindo sudah jauh lebih baik, tetapi siapa yang berani ambil resiko.

Implikasi terhadap organisasi

Salah satu kegiatan manajemen sumber daya manusia (SDM) adalah melakukan penilaian terhadap orang lain, apakah itu dalam rangka seleksi penerimaan pegawai atau penilaian karya (performance appraisal). Penilaian karya tidak semuanya didasarkan pada kriteria yang dapat diukur secara kuantitatif. Sebagian adalah atas dasar personal judgment. Idealnya penilaian ini dapat dilakukan dengan pelan-pelan, cermat, sistematik, dan melalui proses pengamatan yang cukup. Didalam kenyataannya hal ini sering tidak dapat kita lakukan karena keterbatasan waktu, kemampuan atau informasi. Penilai atau pewawancara sering juga tidak dibekali dengan assessment skill yang memadai. BRI sudah cukup bagus dengan secara teratur mengirim pejabat-pejabatnya untuk mengikuti pelatihan assessor.

Dapat terjadi seorang Pinwil atau Pinca mendapat kiriman staf baru dari Kantor Pusat. Baru berjalan satu atau dua bulan sudah ditanya: “Bagaimana si Fulan, kerjanya bagus nggak.?” Pak Pinwil atau Pinca tidak akan menjawab ;”Maaf pak belum bisa menilai karena baru sebentar.” Biasanya akan menjawab : ya bagus atau ya lumayan, walaupun belum sempat melakukan assessment dengan baik. Jadi yang dilakukan pak Pinwil atau Pinca adalah jalan pintas didalam menilai seseorang, dengan konsekuensi timbulnya distorsi atau kurang tepatnya penilaian. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan distorsi penilaian :

· Selective perception

Penilai menafsirkan apa yang dia amati atas dasar minat, latar belakang, dan pengalamannya sendiri. Orang dengan latar belakang ilmu, profesi atau hobi yang berbeda akan melihat hal yang sama dengan kacamata yang berbeda. Begitu pula dalam menilai orang. Orang yang sama akan dinilai dari sudut pandang yang berbeda. Kalau profesi saya seorang penata rambut, kalau ketemu orang pertama-tama yang saya amati pasti tatanan rambutnya dulu sebelum melihat aspek-aspek yang lain. Begitu pula kalau profesi saya seorang perancang pakaian, maka penilaian saya akan banyak dipengaruhi oleh cara orang tersebut berpakaian. Pewawancara yang akuntan akan lebih banyak menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan akutansi. Sebaliknya pewawancara yang latar belakangnya hukum lebih tertarik membahas masalah-masalah hukum.

Hobi saya berenang. Agak susah sekarang ini mencari teman yang hobinya berenang. Lebih mudah ngajak teman untuk main golf. Jadi kalau ketemu orang yang hobinya sama maka saya langsung merasa dekat. Kalau pak Pinwil hobinya mancing, maka Pinca yang mempunyai hobi mancing akan memperoleh nilai plus karena kalau ngobrol langsung “gatuk.” (cocok) Jadi hobi, minat, profesi, pengalaman yang sama dapat menguntungkan penilaian atau bias.

· Hallo effect

Saya masuk kerja di BRI tahun 1972 dalam program Calon Wakil Kepala Kantor Cabang (Wakakanca). Tahap-tahap test seleksi yang harus saya ikuti meliputi analisa kredit, bahasa Inggris, psikotes dan terakhir wawancara. Salah satu rekan saya ketika sudah sampai tahap wawancara dinyatakan tidak cocok untuk calon pimpinan hanya karena bicaranya agak sedikit gagap, walaupun hasil test-test lainnya bagus. Walaupun tidak dapat mengikuti program Wakakanca, tetapi oleh BRI masih dapat diterima untuk program Analis Kredit. Belakangan, didalam perjalanan karirnya dia sempat 2 kali diberi kesempatan untuk memimpin kantor cabang, dan ternyata prestasinya sangat bagus tidak kalah dengan Pinca-pinca lainnya yang tidak gagap. Jabatan terakhir beliau di BRI sebagai Regional Bussines Manager(RBM). Seandainya sejak awal dia diikutkan program Wakakanca, mungkin posisi Pemimpin Wilayah (Pinwil) atau Kepala Divisi bisa dicapai.

Pada waktu bertugas di sebagai Pinwil Surabaya saya mempunyai seorang Kasendik yang sebut saja namanya si Kasep. Sesuai dengan dengan namanya dia penampilannya menarik, pakaian necis, rambut selalu tersisir rapi dan gaya bicaranya halus sekali. Lebih-lebih dengan saya, karena sama-sama orang Jawa, dia selalu berkomunikasi dengan bahasa Jawa halus. Secara obyektif harus saya akui prestasi kerjanya tidak terlalu bagus, lambat dan sering agak telmi. Tetapi harus saya akui pula bahwa saya tidak sampai hati untuk menilai secara obyektif, mungkin karena factor penampilannya yang sangat prima itu.

Jadi hallo effect berperan apabila didalam menilai seseorang kita mengambil kesimpulan umum atas dasar salah satu aspek saja yang menonjol seperti: intelegensia, penampilan, cara berkomunikasi, keluwesan yang memberi kesan positif. Atau salah satu aspek yang negative saja, misalnya dingin, pemalu, pendiam, gagap, lantas dianggap semua aspek lainnya jelek.

· Contrast effect

Contrast effect umumnya terjadi dalam wawancara seleksi penerimaan pegawai. Kita tidak menilai orang satu persatu dalam isolasi, tetapi sering bersamaan dalam jumlah banyak sehingga terjadi proses pembandingan antar calon. Calon yang kurang bagus akan kelihatan bagus karena calon-calon lain jauh lebih jelek. Sebaliknya calon yang bagus akan kelihatan kurang bagus karena pesaing lainnya jauh lebih bagus. Jadi yang terjadi adalah kita memilih “the best among the worst” atau menggugurkan “the worst among the best”. Oleh karena itu didalam proses seleksi urutan dalam jadwal wawancara akan sangat mempengaruhi penilaian. Apakah seorang calon akan ditempatkan dalam grup kuat atau grup lemah. Seseorang yang terpilih atau lolos di grup lemah mungkin lebih jelek daripada yang gugur di grup kuat.

· Projection

Apabila dalam menilai orang lain kita mengharapkan dia mempunyai kualifikasi, kemampuan, semangat atau etos kerja seperti kita, maka kita telah memproyeksikan orang lain seperti kita. Jadi kalau kita seorang work-alcoholic, pekerja keras, suka lembur, pulang bawa kerjaan ke rumah, maka kita mengharapkan staf kita juga harus mau pulang malam, kerja ekstra keras seperti kita. Kalau harapan tadi tidak terpenuhi maka penilaian menjadi berkurang.

Kalau kita termasuk orang yang senang membaca laporan, mengotak-atik angka atau type-type disiplin, selalu tepat waktu, rapi, maka kita mengharapkan staf-staf kita berbuat yang sama. Kalau tidak, bawahan dianggap jelek. Jadi prioritas penilaian pada aspek apakah staf atau bawahan kita sesuai dengan proyeksi atau tidak, sebelum menilai aspek-aspek kemampuan yang lain.

· Stereotyping

Dulu waktu masih berdinas di BRI, kalau saya berkata atau berperilaku agak sedikit kasar , suka dirasani bos saya : Orang Solo kok begitu. Jadi stereotype-nya kalau orang Solo harus selalu halus, sopan, lemah lembut. Kalu sedikit kasar saja sudah dianggap jelek. Sebaliknya, waktu mejadi Pinwil Semarang dulu saya pernah punya RBM yang berasal dari daerah Tapanuli, yang sangat halus baik tutur kata maupun tingkah lakunya. Mungkin sudah menyesuaikan karena cukup lama berdinas di Jawa. Para pegawai di Kanwil menilai Pak RBM ini sebagai atasan yang baik sekali. Jadi ekpektasi pegawai kalau orang Tapanuli harus tampil keras dan kasar, begitu ada yang tampil halus dianggap baik sekali. Realitanya, orang Solo yang kasar juga banyak, sebaliknya tidak sedikit orang Tapanuli yang halus.

Stereotyping adalah meng-generalisasi penilaian atas dasar karakteristik dari kelompok darimana orang yang bersangkutan berasal. Asal usul bisa kelompok, suku, bangsa, profesi atau sekolah. Orang Madura pasti begini, bangsa Jepang umumnya begitu, artis-artis biasanya begini dls.

Kesimpulan

Jadi kesimpulannya, pertama : persepsi sangat mempengaruhi perilaku kita sehari-hari. Banyak sekali pilihan-pilihan yang kita lakukan didalam hidup ini, apakah itu restoran, mobil, penjahit, sekolah, bank, naik haji, dipengaruhi oleh “katanya” orang-orang. Katanya bagus, katanya murah, katanya cepat, katanya baik. Kedua : persepsi yang berkembang di masyarakat sulit dirubah, walaupun kenyataan menunjukkan hal yang sebaliknya.

Persepsi dan personal judgment dengan segala kelebihan dan kekurangan dipakai dalam proses wawancara untuk penerimaan pegawai. Penilaian karya tidak semuanya didasarkan pada ukuran-ukuran obyektif. Sebagian menggunakan penilaian subyektif. Penilaian subyektif sangat dipengaruhi persepsi, dan persepsi mengandung banyak distorsi.

Tidak ada komentar: