Minggu, 25 November 2007

Wajah perbankan Indonesia sesudah SPP



Issue yang cukup ramai menjadi bahan pembicaran dikalangan perbankan saat ini adalah rencana Bank Indonesia(BI) untuk mengeluarkan aturan single presence policy (SPP) atau kebijakan kepemilikan tunggal dalam rangka mendorong percepatam konsolidasi perbankan nasional sesuai Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Kebijakan serupa seperti yang telah diterapkan dibeberapa negara Asia, seperti Thailand, Malaysia dan India, diyakini akan bermanfaat bagi perkembangan industri perbankan dan perekonomian nasional.

Dengan diberlakukannya SPP ini, nantinya di Indonesia pemegang saham mayoritas atau pemegang saham pengendali hanya diijinkan memiliki satu bank saja. Pengertian pemegang saham pengendali adalah memiliki saham 25 % dari total saham, mempunyai hak opsi, menjalankan manajemen, dan mempengaruhi kebijakan bank. Secara detail kita belum mengetahui bagaimana bentuk aturan baru tersebut, namun BI mengindikasikan bahwa kepada mereka yang sekarang ini memiliki lebih dari 1 bank diberikan 3 opsi. Pertama, melepas sahamnya di salah satu bank kepada investor lain sehingga tinggal menyisakan kepemilikan pada satu bank saja (divestasi). Kedua, melakukan penggabungan bank-banknya (merger). Ketiga, menempatkan bank-banknya dalam satu perusahaan induk (holding company).

Kebijakan kepemilikan tunggal ini belum secara resmi dikeluarkan BI. Masih banyak silang pendapat di masyarakat. Wakil rakyat di DPR juga memberikan sinyal keberatan, khususnya kalau harus juga diterapkan untuk bank-bank BUMN. BI masih menunggu masukan-masukan, khususnya dari kalangan perbankan sebelum secara final mengumumkan kebijakan ini.

Kalau kita berhandai-handai aturan baru benar-benar dilaksanakan, dan para pemilik bank memilih opsi yang kedua, yaitu merger, maka kedepannya wajah perbankan Indonesia menjadi kurang lebih sebagai berikut : Pertama: hanya ada satu bank pemerintah, karena Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BRI, BTN, Bank Expor Indonesia akan digabung menjadi satu. Bank baru ini, misalnya kita namakan Bank Indonesia Jaya, akan memiliki total kekayaan sekitar Rp600 trilyun, dengan kurang lebih 5700 jaringan kantor sampai ke pelosok-pelosok desa dan menguasai 40 % pangsa pasar perbankan Indonesia.

Untuk bank-bank swasta penerapan SPP ini tidak akan berpengaruh banyak dalam mengurangi jumlah bank. Dari 100-an lebih bank swasta nasional, secara formal hanya Bank Haga dan bank Hagakita yang benar-benar dimiliki oleh pemegang saham yang sama. Selebihnya kepemilikannya masih terpisah, sehingga tetap dapat hidup tanpa tersentuh oleh SPP. Jadi harapan BI untuk dapat menurunkan jumlah bank swasta dari 132 menjadi hanya 35-50 bank saja, tidak akan tercapai.

Untuk bank asing, Standard Charter harus bergabung dengan Bank Permata karena saat ini sudah memiliki 31 % saham bank Permata. United Overseas Bank (UOB) juga harus merger dengan Bank Buana yang baru-baru ini 53 % sahamnya telah dibeli UOB, sekaligus digabung UOB-Indonesia karena bank patungan ini 99 % milik UOB. Temasek, perusahaan investasi milik pemerintah Singapura, sekarang ini baik secara langsung maupun tidak langsung sudah memiliki 3 bank di Indonesia, yatitu Danamon (melalui Asia Financial Holdings), BII (melalui Sorak Financial, patungan dengan South Korean Kookmin Bank) dan DBS-Indonesia. Bank NISP mungkin juga akan hilang keberadaannya karena saat ini 70 % sahamnya telah dibeli Overseas Chinese Banking Corporation (OCBC). Khazanah Berhad Malaysia tidak mau ketinggalan dalam proses penggabungan ini, karena saat ini telah menguasai 52 % saham bank LIPPO melalui Santubong Investment dan Bank Niaga melalui Commerce Asset Berhad dimana Khazanah memiliki 25 % kepemilikan.

Dari skenario sederhana diatas, maka nanti akan tinggal satu Bank Indonesia Jaya yang sangat besar, walaupun tidak berarti menjadi lebih sehat dan lebih lincah. Kemudian ditambah puluhan bank-bank swasta lokal yang tetap kecil dan lemah. Mereka ini akan bersaing dengan bank-bank swasta nasional (yang sudah dimiliki asing) yang semakin besar, kuat dan sehat. Bayangkan bank-bank hasil merger seperti : Danamon-BII-DBS, Standard Chartered-Permata, UOB-Buana, OCBC-NISP, dan Lippo-Niaga. Alhasil, SPP ini justru akan lebih mengkosolidasikan bank swasta milik asing daripada bank BUMN maupun bank swasta lokal.

Kendala

Untuk bank-bank pelat merah, opsi pertama yaitu divestasi, pasti bukan merupakan pilihan pemerintah. Meneg BUMN dalam beberapa kesempatan menyampaikan bahwa pemerintah tidak berniat untuk mengurangi lagi kepemilikannya pada bank-bank BUMN. Wakil-wakil rakyat di DPR juga akan menentang keras opsi ini, mengingat bank swasta yang besar-besar, kecuali Bank Mega, sudah dimiliki oleh asing semua.

Dari pengalaman menggabung Bank Bumi Daya, BDN, Exim dan Bapindo menjadi Bank Mandiri, nampaknya opsi untuk menggabung lima bank BUMN menjadi satu juga bukan merupakan opsi yang terbaik. Lima tahun lebih sesudah merger dan rekapitalisasi(rekap), Bank Mandiri belum menunjukkan tanda-tanda bahwa bank ini menjadi semakin sehat, efisien dan menguntungkan. Bahkan angka non performing loan (NPL) meningkat terus. Bukan tindak mungkin dalam waktu 2 – 3 tahun rasio NPL-nya akan mencapai level seperti sebelum di-rekap

Resistensi yang tinggi dari bank BTN sewaktu akan digabung dengan Bank BNI juga menunjukkan bahwa menggabung bank BUMN bukan hal yang mudah. Masing-masing bank BUMN memiliki kekhususan, budaya kerja dan tugas atau misi yang berbeda. Walaupun tidak secara eksplisit ditegaskan, namun secara implisit tersirat bahwa bank-bank BUMN masih mengemban fungsi sebagai agen pembangunan.

Nampaknya untuk bank-bank BUMN, opsi yang ke tiga, yaitu menempatkan dibawah satu perusahaan induk, lebih masuk akal. Jadi Bank BUMN tidak lagi langsung dibawah Meneg BUMN, tetapi dibawah satu perusahaan yang khusus didirikan untuk mengelola bank-bank BUMN. Secara tehnis memang memungkinkan, namun secara legal tidak gampang karena berarti pemerintah (dhi Meneg BUMN) harus mengalihkan kepemilikannya kepada perusahaan baru tersebut.

Untuk bank-bank swasta besar seperti Bank Permata, penggabungan dengan Standard Chartered mungkin tidak mudah karena saat ini Astra International juga menguasai 31 % saham Bank Permata. Dengan pengagbungan ini maka Astra akan menjadi pemegang saham minoritas. Saya kira ini bukan tujuan Astra sewaktu dulu memustuskan untuk ikut membeli Permata. Penggabungan BII dengan Danamon juga akan menemui sedikit kendala karena konsorsium pemilik kedua bank tersebut berbeda. Sebagaimana diketahui, pemegang saham BII adalah konsorsium Temasek dengan South Korean Kookmin Bank sedangkan pemegang saham Danamon adalah konsorsium Temasek dengan Deutsche Bank.

Kendala lain adalah masalah hukum. Bank-bank di Indonesai sebagai perusahaan tunduk pada Undang-undang No 1 th 1995 tentang Perseroan Terbatas, dimana kekuasaan tertinggi terletak pada rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Pertanyaannya : Mungkinkah BI sebagai regulator sektor perbankan mengarahkan RUPS suatu bank untuk melakukan divestasi atau merger atas dasar aturan SPP ini ? Apabila mayoritas pemegang saham dalam RUPS tidak bersedia untuk melaksanakan ketentuan SPP, apakah BI mempunyai kekuatan memaksa (enforce)? Belum lagi untuk bank-bank yang sudah go public, tentu juga harus memperhatikan aturan-aturan pasar modal

Alternatif solusi

SPP bukan tidak bisa dilaksanakan, Bisa dan perlu dilaksanakan. Di masa lalu cukup banyak manipulasi bank yang dilakukan oleh pemilik yang mempunyai lebih dari satu bank. Transaksi manipulasi dana masyarakat dibuku di satu bank, kemudian hasilnya ditempatkan di bank lain yang sebetulnya masih miliknya juga.

Harapan BI untuk mempercepat konsolidasi bank-bank swasta lokal mungkin tidak banyak membuahkan hasil kalau hanya dengan mengandalkan SPP ini. Tahap-tahap implementasi API , khususnya yang menyangkut persyaratan modal minimum, perlu ditinjau lagi. Kalau semula untuk bank-bank yang sudah beroperasi hanya dipersyaratkan menaikkan modalnya menjadi Rp100 milyar pada tahun 2010, mungkin perlu dinaikkan menjadi minimal Rp500 milyar atau Rp1 trilyun. Kalau secara legal BI tidak bisa memaksa pemilik-pemilik bank untuk melaksanakan SPP, sebagai regulator perbankan BI mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur persyaratan modal minimum.

Pada saat ini bank-bank masih menghadapi masalah tingginya NPL, lesunya permintaan pinjaman, bunga simpanan yang tinggi dibarengi dengan kondisi ekonomi makro yang masih dihantui inflasi dan membubungnya harga minyak, Terlebih lagi nanti pada akhir 2007, dimana simpanan masyarakat yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan hanya tinggal Rp100 juta. Kesemuanya ini jelas akan sangat mempengaruhi operasi perbankan nasional, khususnya bank lokal yang kecil-kecil. Dalam situasi ini sebetulnya BI memiliki posisi tawar yang lebih baik untuk memaksa percepatan konsolidasi bank-bank rangka implementasi API.

Tidak ada komentar: