Minggu, 25 November 2007

Tidak dapat kakaknya, adiknya juga boleh



Saya datang di kanca BRI Tasikmalaya dengan status masih bujangan, belum punya pacar, umur sudah 27 tahun. Saya lihat teman-teman dari Sekapin/Suskapin umur 27 sudah punya 2 atau 3 anak. Jadi umur 27 belum belum kawin rasanya kok sudah tua sekali. Pangkat masih Tenaga Bulanan Lepas (TBL), gaji masih kecil, tetapi tidak ada salahnya kalau mulai memikirkan mencari calon istri. Siapa tahu nanti pas dapat istri, pas waktunya diangkat sebagai pegawai. BRI menjanjikan kalau lulus job training akan diberi pangkat E II. Wah hebat sekali ini, karena waktu itu kepala bagian kreditnya pak Endang Subarna (alm) dan KTU-nya hanya E I.



Job training di daerah mempunyai kenikmatan sendiri, khususnya dari segi status sosial. Apalagi waktu itu saya sudah diberi fasilitas oleh kakanca untuk sewaktu-waktu menggunakan mobil dinas. Kalau sore-sore jalan-jalan bawa mobil jeep Toyota kanvas, rasanya sudah hebat sekali. Masyarakat, juga nasabah, menganggap kita-kita ini sebentar lagi akan menjadi kepala bank. Kalau di daerah Tasik disebutnya juragan bank, dipanggilnya aden. Nasabah-nasabah yang punya anak gadis sering mengajak kita mampir main dirumahnya. (Wah tambah Ge Er saja nih.) Siapa tahu ada kecocokan dan tertarik untuk dijadikan istri. Situasi ini pula yang menambah optimisme saya untuk bisa mencari pasangan selama job training.



Observasi pencarian pertama-tama saya lakukan di kantor cabang. Di kantor memang cukup banyak karyawati yang masih muda-muda dan cantik-cantik. Salah satunya yang saya anggap paling sip namanya, kita sebut saja Neneng (bukan nama sebenarnya) petugas loket giro, saya dekati. Orang kantor bilang kalau Neneng ini memang kembangnya Kanca Tasik. Mula-mula tanya-tanya soal pekerjaan. Besoknya pura-pura lupa datang lagi untuk tanya lagi, pokoknya asal ada alasan untuk ngobrol.



Pada waktu itu yang OJT di Tasikmalaya disamping saya masih ada 2 orang lagi. Yang satu, pak Daddi Effendi, sudah kawin dengan 2 anak, jadi aman tidak akan ada gangguan. Yang lain, Pandapotan Pohan, analis kredit, tahun 74 keluar dari BRI pindah ke bank EXIM. Pohan masih bujangan tapi datang ke Tasik 6 bulan lebih belakangan, jadi lebih yunior. Sebagai yunior dia tahu diri, tidak mau kompetisi mempersilahkan seniornya maju duluan.



Hubungan dengan Neneng terus berlanjut walau hanya sebatas obrolan, belum sampai ke tahap main kerumahanya atau menanyakan apa sudah ada yang punya atau belum (untung saya belum sempat bertanya) Nampaknya Neneng mulai merasakan kalau saya menaruh hati padanya. Sampai suatu saat ketika kita hanya berdua dengan suara pelan sekali dia mengatakan : “Mas Roes, sebetulnya saya sudah menikah dan sudah punya anak satu.” Walaupun pelan, rasanya seperti mendengar geledek disiang hari. Tetapi saya tidak terlalu merasa kehilangan muka, toh saya juga belum pernah bilang apa-apa. Untuk beberapa saat saya kehabisan kata-kata untuk melanjutkan pembicaraan. Belum sempat saya tanggapi, dia melanjutkan : “tetapi saya masih punya adik perempuan, kalau mau main ke rumah nanti saya kenalkan.” Halo pembaca, cerita selanjutnya mudah ditebak. Saya dikenalkan adiknya, saya tertarik, pacaran terus menikah. Adiknya Neneng akhirnya jadi mamahnya anak-anak dan sampai sekarang sudah 33 tahun setia mendampingi saya dikala suka dan duka.



Sebagai orang Jawa saya selalu merasa untung. Tidak dapat kakaknya, adiknya juga boleh. Ibarat mobil masih satu type, satu merk.: sama-sama Toyota Kijang hanya beda tahunnya saja. (Roes Haryanto – Jakarta)

Tidak ada komentar: