Minggu, 25 November 2007

Istri membantu membongkar kasus

Pada bulan Agustus 79 saya menerima SK penugasan pertama sebagai Kakanca di Cibadak, sebuah kota kawedanaan yang terletak antara Bogor dengan Sukabumi. Semula Cibadak hanya ranting yang menginduk ke kanca Sukabumi. Pada akhir tahun 60-an ditingkatkan menjadi cabang penuh. Pada waktu saya menjabat disana, dinas-dinas tehnis dan pemerintah daerah(pemda) masih menganggap Cibadak bawahannya Sukabumi. Bagi saya tidak ada masalah, bahkan ada untungnya dari situasi ini. Pada waktu itu masih ramai-ramainya masalah Bimas dan kredit-kredit program lainnya. Untuk rapat-rapat koordinasi kanca Cibadak jarang diundang, karena pemda menganggap sudah terwakili oleh kanca Sukabumi. Kanca juga sedikit terbebas dari permintaaan sumbangan-sumbangan, disamping itu waktu saya juga tidak terlalu banyak tersita untuk mengurusi kredit program.

Sebagai kota kawedanaan, Cibadak relatif kecil dan sepi sekali. Untuk rekreasi dan mencari hiburan kita harus ke Sukabumi atau sekalian ke Bogor. Cabang Cibadak, yang semula ranting, dibentuk karena adanya kebutuhan bisnis diwilayah itu, bukan karena keharusan untuk membuka cabang. Biasanya cabang-cabang seperti ini bisa bertahan lama dan terus berkembang. Bank BNI sempat membuka cabang pembantu, namun hanya bertahan 5 tahun. Mereka hanya bisa menjaring nasabah yang di kota, yang jumlahnya relatif sedikit, sedang nasabah di pedesaan semua nge-bank-nya ke BRI.

Sesuai dengan perkembangan usaha dan kegiatan kanca, saya mendapat ijin dari kantor daerah untuk menambah formasi mantri(sekarang AO) menjadi 6 orang dari semula 4 orang. Saya mulai mencari-cari siapa kira-kira pegawai yang cocok untuk saya jadikan mantri. Salah satu pegawai yang menarik perhatian saya adalah Sdr. Tata (bukan nama sebenarnya) , pegawai bagian pengawasan tunggakan. Sdr. Tata ini kerjanya rapih, produktif, disiplin waktu. Penampilannya selalu necis, bajunya cukup bagus untuk ukuran waktu itu. Pokoknya dari penampilan luarnya saya sudah terlanjur jatuh hati untuk memilih Tata sebagai calon mantri.

Barangkali perlu saya jelaskan bahwa pada waktu itu di Cibadak sistem administrasi dan pembukuannya masih menggunakan sistem tulis tangan atau istilah tehnisnya non-mechanized system (NMS). Ketika cabang yang besar-besar mulai mengganti mesin NCR-nya dengan mesin Burroughs, Cibadak justru kembali ke administrasi tulis tangan. Khusus untuk administrasi pinjaman, kartu-kartu pinjaman yang lancar disimpan di petugas loket di depan, sedang untuk nasabah-nasabah yang sudah menunggak kartunya dikelola oleh petugas pengawasan tunggakan (Sdr Tata). Nasabah-nasabah penunggak apabila akan menyelesaikan kewajibannya langsung berhubungan dengan Sdr Tata.

Suatu hari Sdr Tata saya panggil ke kamar saya. “Ta, bagaimana kalau kamu saya jadikan mantri BRI?” demikian saya memulai pembicaraan.

“ Terimakasih pak, tetapi kalau boleh saya mohon waktu untuk mempertimbangkannya.” jawabnya. Saya mulai agak heran, ditawari jadi mantri kok malah minta waktu. Keesokan harinya Tata minta waktu untuk menghadap.

“Pertama-tama saya mengucapakan terima kasih atas kepercayaan bapak, tetapi mohon maaf kalau boleh saya tidak usah jadi mantri saja.” kata Tata.

“Mengapa?”, jawab saya semakin penasaran.

“Maaf pak, ini menyangkut masalah kesehatan saya. Terus terang saya tidak kuat naik motor” jawab Tata menlanjutkan. Di Jawa Barat ini, menjadi mantri BRI adalah jabatan paling diidam-idamkan oleh semua orang. Orang rebutan pengin jadi manatri, bahkan kalau perlu, mereka bersedia membayar untuk bisa jadi mantri. Katanya menjadi mantri jam kerjanya longgar, kalau memeriksa ke lapangan sering mendapat oleh-oleh dan hatur lumayan dari nasabah Yang satu ini, ditawari malah menolak.

Saya mulai curiga, mungkin Tata sudah merasa enak sebagai petugas pengawasan tunggakan. Jangan-jangan disana dia memperoleh penghasilan tambahan, sehingga tidak tertarik lagi untuk menjadi mantri. Terbesit fikiran nakal untuk menyelidiki keadaan rumah tangganya. Suatu hari pulang dari kantor saya bicara dengan istri saya : “Mah, sekali-sekali mbok coba ditengok rumahnya Bu Tata”.

“Memangnya ada apa pah ?” istri saya bertanya.

“Tidak ada apa-apa,” kata saya, “hanya sekedar kunjungan silaturahmi saja sama bawahan.” Selesai kunjungan, istri saya membuat laporan : “Rumahnya besar dan bagus, perabot rumah tangganya bagus-bagus, pokoknya kehidupannya kelihatannya enak.”

Keesokan harinya, sebelum pulang kantor saya panggil Sdr Tata untuk menyerahkan seluruh kartu-kartu yang berada dalam pengelolaannya untuk ditaruh di meja saya. Kemudian saya panggil OO (pak Achyar) dan CO(pak Aruman Hidayat) keruangan saya. “Pak Achyar, pak Aruman,” kata saya,” ini kartu akan saya bagi tiga, mari kita periksa sama-sama. Saya hanya ingin tahu apakah Sdr. Tata sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.”

Dari hasil pemeriksaan tersebut terungkap pelanggaran-pelanggaran yang merugikan bank. Modusnya : tidak memungut denda, bunga yang seharusnya dipungut 6 bulan hanya dihitung 2 bulan, menyatakan lunas padahal seharusnya belum. Pokoknya memberi keringanan dan kemudahan kepada nasabah dengan cara yang merugikan bank. Akhirnya, bukan saja jabatan mantri yang hilang pangkatpun harus turun dan pindah ke bagian lain.

Mengapa saya menyuruh istri saya berkunjung ke rumah Sdr Tata ? Untuk lebih meyakinkan bahwa gaya hidupnya melebihi kemampuannya, yang nampaknya tidak mungkin dibiayai dari gajinya sebagai seorang pelaksana. Seandainya waktu saya tawari untuk menjadi mantri dia bersedia, mungkin dia akan terus jadi mantri dan kasus ini akan lama terbongkar. Pelajaran bagi pimpinan : Kalau seorang pegawai ditawari pekerjaan yang enak menolak, mungkin ada sesuatu. (Roes Haryanto – Jakarta)

1 komentar:

komputertips.com mengatakan...

mantap mantap mantap