Courtesy dalam Webster Dictionary berarti : good manners, politeness, civility, courteousness, consideration. Jadi javanese courtesy secara harfiah berarti sopan santunnya orang Jawa. Namun secara agak sinis sering diterjemahkan sebagai “basa basinya” orang Jawa. Agak susah memang mendefinisikan secara pas apa yang dimaksud dengan javanese courtesy , namun ilustrasi berikut barangkali dapat sedikit membantu. Pada suatu hari saya bersama istri berkunjung ke seorang teman(orang Jawa). Pada waktu pamitan mau pulang, tuan rumah menawari makan siang. “Kok kesesa, mboten dhahar rumiyin?.” (Kok tergesa-gesa, tidak makan dulu) Sebagai orang Jawa saya langsung tahu kalau tuan rumah tidak benar-benar ingin menawari makan, karena dari tadi selalu menemani kita ngobrol dan tidak kelihatan sibuk menyiapkan makanan. Jadi saya akan menjawab halus: “Matur nuwun, taksih wonten keperluan sanes, badhe methuk lare-lare.” (Terima kasih, masih ada keperluan lain, mau jemput anak-anak)Jadi sebagai orang Jawa yang sopan, tuan rumah akan menawari makan karena sudah waktunya makan siang. Tawaran makan justru disampaikan saat mau pulang, karena tahu bahwa tamunya (yang juga orang Jawa) pasti akan menolak.
Sebaliknya, masih dengan contoh diatas, kalau kita ingin menerima tawarannya, kita juga tidak boleh langsung bilang : “Wah matur nuwun sanget, keleresan kala wau enjing dereng sarapan.” (Wah, terima kasih sekali. Kebetulan tadi pagi belum sarapan) Ini dianggap tidak sopan. Kita harus pura-pura nolak dulu. Baru kalau tuan rumahnya memaksa, kita bisa mengatakan : “Wah ngepotin njih mbakyu.” (Wah ngrepotin ya mbakyu)
Cara-cara berkomunikasi seperti diatas tidak mudah bagi orang non-Jawa atau bagi orang asing yang ingin mempelajari budaya Jawa. Bagaimana membedakan antara tawaran yang tulus dan tawaran yang sekedar basa-basi? Pada suatu waktu saya ditraktir makan malam oleh teman lama saya di Solo, sebut saja namanya Mardi. Sehabis makan Mardi menawarkan jasanya :”Ayo nek arep muter-muter, golek oleh-oleh khas Solo, tak terke. Aku nggawa mobil kok.” (Ayo kalau mau keliling-keliling, cari oleh-oleh khas Solo, saya anter. Saya bawa mobil kok) Saya tahu diri, tidak mau merepotkan, menjawab : “Ora susah pak, matur nuwun. Matur nuwun lho makan malame.” (tidak usah pak terima kasih)
Sampai di rumah, istri saya, yang bukan orang Jawa, berkomentar : “Pah, pak Mardi baik sekali ya. Sudah traktir makan masih mau nganter cari oleh-oleh.” “Ah mamah bukan orang Jawa sih. Itu tadi kan basa-basinya orang Jawa yang baik.” jawab saya. “Lantas gimana tahunya kalau dia tidak sekedar basa-basi?” tanya lebih lanjut. “Ya kalau dia nawarin sampai dua atau tiga kali, berarti benar-benar serius mau ngajak puter-puter” jawab saya. Jadi rumus umumnya, kalau baru satu kali masih sekedar courtesy. Kalau dua kali sudah tulus, sedang kalau sampai tiga kali memang memaksa. Perlu diingat kalau sudah sampai tiga kali sebaiknya dipenuhi permintaannya, karena kalau tidak, mungkin tuan rumah kecewa.
Ada gaya orang Jawa yang lain, yang juga agak susah dimengerti oleh orang luar Jawa. Orang Jawa, khususnya orang Solo dan Yogya, kalau punya maksud tidak mau menyampaikannya secara langsung, jadi harus muter-muter atau tidak straight to the point. Berbeda dengan orang Surabaya atau orang luar Jawa yang lebih lugas dan straightforward. Untuk yang tidak mengerti memang benar, agak muter-muter. Untuk orang Jawa sendiri sebetulnya ini merupakan tehnik diplomasi yang tinggi.
Kalau misalnya saya mau pinjam mobil ke Pak Koyo, yang sama-sama orang Jawa, saya akan datang kerumahnya, dan setelah ngobrol basa-basi saya akan bilang : “ Pak Koyo, sebetulnya besok itu saya ada rencana mau ke Semarang, ada undangan manten, tetapi mobil saya masih di bengkel”. Pak Koyo sebagai orang Jawa, tanggap ing sasmito langsung bisa menangkap : Wah Pak Roes ini pasti mau pinjam mobil. Kalau Pak Koyo berkenan meminjamkan mobilnya beliau akan mengatakan : “Lha monggo, pakai mobil saya saja, kebetulan saya juga tidak kemana-mana.” Kalau Pak Koyo tidak berkenan, beliau akan mengatakan : “ Wah kebetulan saya sendiri besok mau ke Sragen, nengok besan sakit.” Dalam konteks ini, Javanese courtesy berfungsi secara efektif sekali. Saya tidak akan merasa sakit hati ditolak, karena toh saya tidak pernah mengatakan mau pinjam. Sebaliknya Pak Koyo juga tidak perlu merasa bersalah, toh tidak pernah mengatakan menolak. Pas dengan filsafat Jawa, menang tanpo ngasorake. Jadi komunikasi bisa berjalan lancar tanpa harus menyinggung perasaan orang lain..
Bagimana caranya orang Jawa minta tambah minum? Waktu bulan kemarin saya ke Yogya nengok anak saya yang kuliah di UGM, saya sempat mampir kerumahnya pak Purwanto di Kricak kidul. Tidak lama setelah duduk, suguhan keluar. Teh panas manis kenthel, pisang goreng sama kacang rebus. Ngobrolnya kesana kemari asyik sekali, tau-tau teh di gelas sudah habis, tapi ditunggu-tunggu kok nggak diisi lagi. Wah ini harus pakai tehnik memutar lagi. Saya akan pura-pura bertanya : “ Pak dalan ngarep ngomah kuwi joge nang endi.?” (Pak jalan depan rumah itu nyampainya ke mana ?) Tetapi dalam kosakata bahasa Jawa, jog juga bisa berarti tambah. Pak Pur segera tahu kalau saya minta tambah teh lagi.
Sedikit berbeda ketika saya berhubungan dengan pak Purwanto, Dirut Dana Pensiun, yang asli Ponorogo. Sampai sekarang saya masih sering diajak main golf. Biasanya hari Kamis atau Jum’at dia akan menelpon:”Pak, besok Minggu bisa main nggak di Bogor?” Saya akan segera menjawab:”Bisa pak, tapi saya nebeng ya, karena saya nggak ada sopir.” Kalau bisa, pak Pur akan membalas” Baik pak, nanti saya jemput jam 5.30.” Atau kalau tidak bisa, dia akan mengatakan” Maaf pak, habis golf saya mau ke Pamulang dulu.” Saya tidak perlu terlalu mengikuti Javanese courtesy, tetapi bisa lebih langsung.
Begitu pula ketika berkomunikasi dengan orang asing. Kalau misalnya teman saya yang dari Amerika mengatakan :”Roes, if you happen to be in New York, please stay with us. We have a big house”, (Kalau kebetulan sedang di New York, nginap di tempat saya saja. Rumah saya besar) ini artinya dia betul-betul menawari saya untuk menginap di rumahnya.
Orang Jawa sekarang sudah berubah. Javanese courtesy mungkin hanya berlaku untuk orang-orang tuanya, tidak untuk generasi mudanya. Selepas sekolah anak-anak meninggalkan kampung halaman untuk mencari kehidupan ditempat lain. Di tempat yang baru mereka berinteraksi dengan orang-orang non-Jawa dan menyerap nilai-nilai baru. Generasi tua sudah banyak yang tiada, tanpa sempat mewariskan nilai-nilai luhur budaya Jawa. Yogya sendiri menjadi semacam melting pot, dimana orang dari segala macam suku datang ke Yogya untuk menuntut ilmu. Mereka berakulturasi dengan budaya lokal. Orang Yogya menjadi lebih bebas, demokratis dan pragmatis. (Sebagian isi artikel ini pernah kami tulis di Warta BRI Edisi no 06 ThXXVI, 2002)
Senin, 03 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar