Rabu, 26 Desember 2007

Bagaimana kalau petugas KUA tidak datang?

Hari itu Minggu, tanggal 23 Desember 2007, pagi-pagi pukul 7.00 saya dengan nyonya sudah sampai di Jl Permana 27, Cimahi, tempat kediaman calon pengantin wanita (CPW) dimana akan dilangsungkan akad nikah dan resepsi perkawinan keponakan saya, Ramadhoni Cahyoadi. Sebagaimana biasa, saya mendapat tugas mewakili orang tua untuk menyerahkan calon pengantin pria (CPP) dan sekaligus sabagai saksi. Setelah pensiun, saya sering mendapat tugas kalau tidak menyerahkan CPP ya menerima CPW. Menurut jadwal akad nikah akan dilaksanakan pukul 8.00, jadi saya merasa cukup tenang telah datang lebih awal mengingat saya langsung dari Jakarta. Terima kasih kepada tol Cipularang yang membuat waktu tempuh Jakarta-Bandung menjadi semakin pendek. Pukul 7.50 rombongan CPP tiba di tempat kediaman CPW. Namun mengingat petugas dari Kantor Urusan Agama (KUA) belum datang, maka kami seluruh rombongan dipersilahkan untuk menunggu dirumah tetangga sebelah.

Sampai dengan pukul 8.30 belum ada tanda-tanda petugas KUA akan datang. Oleh pengatur acara dari tuan rumah diputuskan untuk memulai saja acara akad nikah. Prosesi diawali dengan upacara penyerahan dan penerimaan CPP. Kemudian seluruh rombongan dipersilahkan menuju ke ruang tengah tempat pelaksanaan acara upacara ijab-kobul. Setelah semua fihak mengambil tempat yang sudah disediakan dilanjutkan dengan pembacaan kalam ilahi dan sari tilawah. Selesai sari tilawah, seorang ustadz melanjutkan dengan dengan kotbah nikah. Prosesi ini keseluruhannya diperhitungkan memakan waktu antara 20-30 menit, jadi cukup untuk mengisi waktu sambil menunggu kedatangan petugas KUA.

Walaupun uraian kotbah nikah sudah dipanjang-panjangkan, namun sampai dengan pukul 9.00 belum juga ada tanda-tanda petugas KUA akan muncul. Oleh pembawa acara kemudian diusulkan untuk melanjutkan saja acara akad nikah walaupun petugas KUA belum datang. Alasannya, menurut pembawa acara, toh syarat-syarat sahnya perkawinan menurut ketentuan agama sudah terpenuhi. Sedang fungsi petugas KUA sebetulnya hanya mencatat adanya akad nikah ini, agar perkawinan ini diakui keberadaannya secara hukum. Terjadi negosiasi antara para saksi dan wali nikah apakah harus menunggu KUA lebih lama lagi. Akhirnya disepakati untuk melangsungkan acara ijab-kobul tanpa menunggu lagi petugas dari KUA. Nanti, sesudah akad nikah akan dibuatkan berita acara secara lengkap untuk didaftarkan di KUA. Alhamdulillah, pukul 9.15 yang ditunggu-tunggu, petugas KUA datang, jadi acara akad nikah dapat berlangsung sesuai ketentuan agama maupun undang-undang sebagaimana biasanya.

Menurut Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974, pasal 2 tentang sahnya suatu perkawinan diatur sebagai berikut :

Ayat 1 : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Ayat 2 : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut agama Islam syarat sahnya suatu perkawinan adalah: Pertama, adanya calon mempelai pria dan wanita yang sudah dewasa. Kedua, adanya dua orang saksi, dan ketiga, adanya wali nikah. Jadi, kalau ketiga syarat tersebut telah dipenuhi maka perkawinan dapat dilangsungkan dan sah menurut ketentuan agama. Hanya saja sepanjang belum dicatatkan di KUA maka perkawinan tersebut tidak mempunyai konsekuensi hukumnya. Artinya, kalau suatu waktu nanti terjadi perceraian maka hak-hak istri seperti pembagian harta gono-gini, atau hak untuk mengasuh anak tidak diakui secara hukum. Begitu pula kalau suami meninggal dunia, maka hak-hak waris dari anak yang ditinggalkan tidak diakui undang-undang.

Atas dasar uraian diatas, saya termasuk golongan yang mendukung usul pembawa acara agar acara akad nikah tetap dilangsungkan walaupun petugas KUA belum ada. Bagaimana kalau masalahnya bukan hanya keterlambatan datangnya petugas KUA tetapi sudah darurat. Misalnya terjadi kemalangan yang menimpa petugas KUA sehingga mengakibatkan ybs tidak bisa menghadiri acara akad nikah. Apakah perkawinan harus dibatalkan, dan dijadwal ulang? Padahal disisi lain undangan sudah disebar dan tamu-tamu sudah mulai berdatangan.

Belakangan ini sering terjadi pasangan yang berbeda agama, khususnya artis, yang melakukan pernikahan di luar negri. Alasannya, mereka tidak bisa melakukan di Indonesia karena UU Perkawinan di Indonesia tidak memungkinkan perkawinan pasangan yang berbeda agama. Apabila ini dilakukan ada kemungkinan dua syarat sahnya perkawinan yang diminta UU Perkawinan tidak dipenuhi semua. Ketentuan hukum agama tidak dipenuhi dan tidak ada pencatatan oleh pejabat yang berwenang. Dari segi agama perkawinan ini tidak sah, sedang dari kacamata hukum perkawinan ini dianggap tidak pernah ada.

Di masyarakat banyak juga terjadi kawin “siri”, pernikahan yang secara agama sudah sah tetapi tidak pernah didaftarkan di KUA. Perkawinan semacam ini banyak terjadi di kalangan masyarakat yang tidak mampu, mereka tidak kuat membayar biaya nikah di KUA. Kalau situasinya seperti ini masih dapat dimengerti dan dimaafkan. Namun banyak pula yang melakukannya karena alasan-alasan lain, seperti untuk me-legalkan perselingkuhannya, kawin kedua kalinya tanpa persetujuan istri pertama, atau agar istri tidak kehilangan pensiunnya karena telah kawin lagi.

Tugas dari petugas KUA sebetulnya tidak hanya mencatat, tetapi memeriksa kelengkapan admisnistrasi dan dipenuhinya syarat-syarat oleh fihak-fihak yang akan melakukan pernikahan. Pemeriksaan syarat-syarat sahnya calon mempelai pria dan wanita, sahnya saksi dan syarat-syarat wali nikah merupakan kompentensi dari petugas KUA. Jadi, walaupun saya sependapat dengan pemikiran untuk menikah secara agama dulu tanpa harus menunggu petugas KUA, namun hal ini sebaiknya hanya dilakukan dalam situasi darurat atau dalam keadaan sangat terpaksa. (Cimahi, 2007)

Tidak ada komentar: