Senin, 17 Desember 2007

Catatan Lebaran

Saya termasuk pengikut berat tadisi mudik untuk merayakan lebaran. Untuk tahun ini sebagaimana tahun-tahun yang lalu, kami sekeluarga mudik ke kampung mertua di Tasikmalaya. Selama hampir 30 tahun bekerja di BRI, kami hampir selalu merayakan lebaran di rumah mertua. Hal ini dimungkinkan karena selama bertugas di BRI, kecuali pada waktu studi di luar negri, saya belum pernah ditempatkan di luar Jawa, jadi selalu bisa mudik ke kampung dengan biaya murah. Sebagaimana biasanya kami selalu memilih beberapa Pahe (paket hemat) : Pahe 1 cukup pakai Isuzu Panther, pulang pergi tidak sampai Rp44.000,-. Pahe 2, sopirnya anak sendiri dan Pahe 3, nginapnya di mertua Inn.

Kalau selalu berlebaran di rumah mertua tidak berarti bahwa mertua lebih penting daripada orang tua sendiri. Sudah terbiasa begini karena alasan praktis saja, karena rumah mertua lebih dekat. Disamping itu orang tua sendiri juga tidak terlalu mengharapkan kedatangan anak-anaknya di hari Lebaran. Untuk Ibu saya (ayah sudah tidak ada) ada atau tidak ada anak-anak yang datang pada hari Lebaran is not a big deal, yang penting asal mendengar anak-anaknya pada sehat sudah cukup. Betul-betul sifat sumarahnya orang Jawa.

Mengindari macet

Perjalanan mudik umumnya identik dengan kemacetan. Pengalaman berkali-kali mudik membuat kami menguasai tehnik-tehnik untuk menghindari kemacetan. Seminggu sebelum hari H kami selalu pasang telinga untuk mencari info, baik dari media cetak maupun elektronik, untuk mengetahui daerah-daerah mana dan jam-jam berapa yang rawan macet. Seperti tahun ini, kami mendapat info bahwa untuk jurusan Tasikmalaya apabila kita bisa mencapai pintu tol Cileunyi sebelum jam 7.00 pagi maka akan terhindar dari kemacetan. Jadi, kita putuskan berangkat Kamis tanggal 29 Januari jam 3.00 pagi, sekalian membawa bekal untuk sahur dan sholat subuh di jalan. Sesuai rencana, kami bisa mencapai Cileunyi pukul 6.30 pagi, jalanan masih relatif kosong, dan sampai di Tasik pukul 9.30 pagi. Seluruhnya makan waktu 6 ½ jam perjalanan, kurang lebih sama dengan waktu yang diperlukan pada hari-hari non-lebaran.

Orang Sunda berani makan Bugis

Cara merayakan lebaran di kampung dari tahun ke tahun hampir tidak pernah berubah. Menjelang hari H ibu-ibu biasanya sibuk menyiapkan makanan untuk lebaran. Menunya sudah menjadi pakem, yaitu ketupat, opor ayam, sambel goreng kentang dan ati, telur pindang, dan kerupuk udang. Makanan kecilnya manisan cangkaleng, peuyeum ketan, wajid, opak, bugis dan lain sebaginya. Hati-hati orang Sunda berani makan Bugis, tidak mau kalah dengan orang Jakarta yang suka makan ketoprak atau sama orang Palembang yang suka melalap kapal selam.

Kita biasanya memasak lebih banyak dari yang diperlukan karena sebagian akan kita kirimkan ke sanak keluarga atau tetangga dekat. Di kampung masih ada tradisi silih anter, yaitu saling mengirim makanan ke tetangga menjelang lebaran, walaupun kebiasaan ini sekarang sudah semakin berkurang. Dari segi kuantitas jumlah makanan kita akan relatif sama, karena disini berlaku azas reciprocal, yaitu yang mendapat kiriman merasa berkewajiban untuk membalas.

Sambil menunggu buka puasa saya dengan anak-anak biasanya keliling-keliling kota sambil bernostalgia. Tasikmalaya selalu memberi kenangan sendiri, karena di kota inilah saya memulai karir saya di BRI sebagai trainee (tepatnya bulan Desember 1972), dan di kota ini pula saya ketemu dengan mamahnya anak-anak. Saya selalu mengulang-ulang cerita yang sama tentang pengalaman masa lalu selama 3 tahun bertugas di Tasikmalaya. Saya tidak tahu apakah anak-anak masih tertarik mendengar cerita saya. Saya juga tidak tahu apkah sebenarnya saya bercerita untuk anak-anak atau lebih banyak untuk diri saya sendiri.

Lebaran dan baju baru.

Lebaran nampaknya tidak bisa dipisahkan dengan baju baru. Di Tasik, barangkali juga di daerah-daerah lain, berlebaran dengan baju baru sudah merupakan suatu keharusan. Sebetulnya tidak terlalu salah, karena untuk sholat Ied kita disunahkan untuk memakai baju yang terbaik. Tidak hanya anak kecil, yang dewasa bahkan sampai yang tuapun harus berbaju baru ria. Menyiapkan baju baru antara tiga sampai empat stel bukan hal yang aneh. Satu stel khusus untuk sholat Ied, satu untuk silaturahmi, satu untuk lebaran hari ke dua dan seterusnya.

Dulu waktu anak-anak masih kecil-kecil saya termasuk yang terbawa arus baju baru ini. Untuk beberapa malam, sholat tarawih terpaksa ditinggalkan hanya untuk mencari baju baru anak-anak (dan bapaknya). Sekarang setelah anak-anak besar-besar hampir tidak pernah membeli baju baru khusus untuk merayakan lebaran. Dulupun sebenarnya anak-anak juga tidak pernah menuntut untuk dibelikan baju baru, tetapi orang tuanya (terutama ibunya) yang memaksa anak-anaknya untuk tampil dengan baju baru.

Acara rutin ke makam

Hari pertama lebaran acara dimulai dengan sholat Ied oleh seluruh keluarga. Sholat Ied di daerah dimulai jam 6.00 tepat. Seperti tahun-tahun yang lalu, selalu ada saja yang terlambat, yaitu datang setelah khotib mulai berkotbah. Pulang dari sholat dilanjutkan makan bersama. Sehabis makan biasanya kita sediakan waktu barang 1 jam untuk memberi kesempatan kepada para tetangga untuk bersilaturahmi ke rumah. Mertua termasuk figur yang dituakan, baik karena usia maupun karena perannya dalam kegiatan sosial, sehingga banyak tetangga atau handai taulan yang berkunjung ke rumah untuk salam-salaman.

Acara rutin berikutnya adalah ziarah ke makam keluarga. Karena sebagian besar orang melakukan pola ziarah ke makam pada hari pertama lebaran, maka untuk TPU-TPU yang besar pada hari pertama lebaran selalu penuh sesak dengan pengunjung. Situasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh para pedagang untuk mengais rejeki di hari lebaran, apakah itu pedagang makanan, mainan nak-anak, bahkan sampai ke petasan. Makam berubah total menjadi bazaar dadakan. Yang berdoa khusuk berdoa, yang makan mie bakso atau kupat tahu cuek saja, yang menyulut petasan jalan terus, masing-masing melakukan kegiatan sesuai kepentingannya tanpa merasa ada yang tertanggu.

Dari tahun-tahun acara lebaran di rumah mertua begitu-begitu saja. Namun justru disinilah betul-betul saya merasakan klimaksnya setelah satu bulan penuh berpuasa. Sesuatu yang setiap tahun selalu ditunggu-tunggu oleh seluruh anggota keluarga. Ketika takbir bergema dan suara bedug bertalu-talu, saat-saat datangnya kemenangan benar-benar terasa. Kesibukan ibu-ibu di dapur menyiapkan hidangan lebaran, masyarakat berbondong-bondong ke lapangan untuk sholat sunah, keramaian di makam-makam, suasana silaturahmi antar saudara dan handai taulan yang tulus, semuanya memberikan kenangan mendalam yang khas yang tidak pernah saya temui di Jakarta.

Lebaran di Jakarta sepi.

Pernah kami mencoba sekali berlebaran di Jakarta, ternyata rasanya hampa sekali. Gema takbiran hanya sayup-sayup terdengar, tertelan hiruk pikuknya deru lalu lintas yang macet dan riuh rendahnya suara siaran televise. Di hari lebaran, selesai sholat makan ketupat hanya diikuti oleh keluarga sendiri. Sanak keluarga tidak ada yang berkunjung karena kita termasuk yang yunior. Pegawai dan rekan sekantor jelas tidak ada yang datang, karena mereka tentunya bersilaturahmi dengan keluarga masing-masing (dan lagi belum ada ceritanya kepala urusan kok “open house’).

Lebaran adalah masalah pribadi, hablum mina orang tua lebih penting daripada hablum mina atasan. Jadi saya tidak terlalu mengharapkan bawahan sowan di hari lebaran. Menunggu saat untuk berlebaran ke atasan yang open house masih terlalu lama. Anak-anak sudah bingung dan rewel karena tidak ada lagi kegiatan yang dilakukan. Walhasil berlebaran di Jakarta terasa sepi sekali.

Lebaran tahun ini dirayakan dalam suasana krisis moneter. Terasa tidak seramai seperti tahun-tahun yang lalu. Tetangga-tetangga mengatakan sebagian anak-anaknya tidak pulang. Mungkin karena kesulitan biaya atau bahkan sudah terkena PHK sehingga malu untuk pulang mudik. Cihideung, downtown-nya Tasikmalaya, biasanya penuh sesak dengan orang-orang belanja kebutuhan lebaran sekarang terasa agak longgar. Orang tua juga jauh-jauh hari sudah diingatkan untuk tidak terlalu banyak membikin kue-kue, karena minyak, gula, terigu, telur susah didapat dan mahal. Perhitungannya, kita yang dari Jakarta toh bias membawa kue-kue ex-parcel ke kampong. Ee, ternyata di Jakarta-pun parcel lagi sepi.

Menyadari pentingnya peran PRT

Lebaran juga merupakan momentum yang baik untuk merenungkan betapa vitalnya peran pembantu rumah tangga (PRT). Paling tidak untuk waktu seminggu dua minggu kita harus memikirkan bagaimana aktivitas rumah tangga tetap jalan tanpa pembantu. Disinilah saatnya seluruh anggota keluarga perlu menjalin kesatuan dan persatuan untuk masak, cuci pakaian dan membersihkan rumah. Dalam situasi tidak ada pembantu saya berfungsi sebagai Dirut, tukang komando. Doa kami mudah-mudahan tidak banyak tamu, karena tamu berarti tambah cucian gelas dan piring.

Melarang pembantu mudik is almost impossible, meskipun dengan iming-iming bonus dua bulan gaji. Sekali setahun PRT, dan juga buruh atau pekerja kasar lainnya merasa benar-benar “diwongke” dan dihargai martabatnya secara utuh sebagai manusia hanya pada waktu pulang lebaran di kampung. Setahun sekali mereka betul-betul menikmati kehidupan yang lepas bebas. Selama ini di Jakarta mereka merasa tidak lebih dari sekedar bahan suruhan, tumpuan kesalahan atau bahkan kadang-kadang sasaran siksa majikan.

Segala bentuk keberhasilannya, apakah dalam bentuk uang, baju bagus atau barang-barang lain yang bisa dibeli, hanya dipandang sebelah mata oleh orang lain. Di kampung semuanya ini dapat dipamerkan ke tetangga dan sanak saudara. Membagi sedikit oleh-oleh dan rejeki ke saudara barang seribu dua ribu rupiah sudah bisa membuat kita menjadi orang penting dan terhormat. Istilah kerennya, di kampung mereka mendapatkan “apresiasi manusiawi” dari lingkungannya. Pengalaman di Jakarta yang modern selalu menjadi bahan cerita yang tiada habis-habisnya untuk teman-teman di kampung.

Kebahagiaan terbesar di hari lebaran.

Kembali ke rumah sesudah lebaran salah satu kegiatan rutin keluarga adalah menghitung hari dengan harap-harap cemas apakah pembantu akan balik lagi atau tidak. Sudah lebih seminggu mereka pulang mudik Namun kali ini kita agak optimis mereka akan kembali. Dalam situasi ekonomi normalpun kehidupan di desa sudah cukup sulit. Apalagi dalam keadaan serba susah seperti sekarang ini, kemarau panjang, sulitnya dan mahalnya sembako, akan membuat mereka semakin susah untuk mencari makan.

Tiba-tiba terdengar suara bajaj berkenti di depan rumah. Tak berapa lamapun bel berdering. Segera anak-anak berlarian ke depan untuk melihat siapa gerangan yang datang. Ternyata Paijem. Yoyok dan Iyat yang dating. Bagaikan dikomando serentak anak-anak koor : Horee Paijem datang, horee Yoyok datang, horee Iyat datang. Sebenarnya saya dan mamahnya anak-anak juga ingin berteriak kegirangan, tetapi malu, gengsi. Yang terucap hanya syukur alhamdulillah, telah datang dewa penolong. Ujung-ujungnya, ternyata kebahagiaan terbesar yang diperoleh di hari lebaran ini adalah melihat para pembantu kembali lagi bersama kita. (Jakarta, 1998)

Tidak ada komentar: