Salah satu isu yang masih mangganjal dalam pembahasan RUU
Keistimewaan Yogyakarta adalah masalah pengisian jabatan kepala daerah
Yogyakarta. Masyarakat Yogya (mungkin juga Sultan X) menghendaki
gubernur ditetapkan, sedang pemerintah menginginkan gubernur dipilih
secara demokratis. Bagi rakyat Yogya masalah “penetapan” nampaknya
sudah merupakan harga mati. Secara historis memang gubernur DIY
selalu dijabat oleh Sultan yang sedang berkuasa tanpa melalui proses
pemilihan. Sampai dengan reformasi masalah pengisian jabatan Gubernur
DIY tidak pernah dipersoalkan. Di era reformasi, terlebih setelah
keluar UU bahwa setiap kepala daerah harus dipilih secara langsung,
masalah gubernur/kepala daerah DIY mulai menjadi polemik. Tulisan
singkat ini mencoba mengkaji beberapa masalah yang mungkin timbul dan
perlu direnungkan seandainya pengisian jabatan kepala daerah Yogyakarta
dilakukan dengan sistem penetapan.
Dengan sistem penetapan berarti siapa saja yang diangkat menjadi
Sultan otomatis menjadi Gubernur, dan siapa yang menjabat sebagai
Pakualam otomatis menajdi Wakil Gubernur. Jadi tanpa melihat apakah
Sultan tsb mempunyai kemampuan, keahlian, kompetensi, kesehatan mental
atau phisik, yang diperlukan untuk menduduki jabatan kepala daerah.
Sistem ini jelas mengabaikan asas -asas profesionalisme, yang
mensyaratkan setiap jabatan harus didisi oleh orang yang betul-betul “fit and proper”
untuk posisi tsb. Kebetulan Sultan-sultan yang pernah menjabat
Gubernur, Sulatan HB ke IX dan X, dinilai mampu dan mumpuni untuk
mengelola pemerintahan daerah. Tetapi tidak ada jaminan bahwa
Sultan-sultan yang akan datang juga akan mempunyai kemampuan yang sama.
Masalah lain adalah mengenai masa jabatan gubernur/kepala daerah.
Sampai kapan? Raja atau Sultan tidak mengenal masa jabatan. Raja baru
mengakhiri jabatannya kalau meninggal atau digulingkan dari tahtanya.
Jadi selama masih menjabat sebagai Sultan maka selama itupula beliau
akan menjabat sebagai kepala daerah. Bagaimana kalau karena faktor usia
kesehatannya semakin munurun, yang berakibat kemampuannya juga semakin
menurun untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai kepala daerah. Kita
lihat Ratu Elizabeth dari Inggris yang sekarang usianya sudah 86 tahun.
Beliau akan terus menjabat sebagai ratu Inggris. tetapi bukan sebagai
kepala pemerintahan.
Menurut hemat saya pengisian jabatan kepala daerah Yogyakarta
sebaiknya dilakukan dengan sistem pemilihan. Sultan tetap raja Jogya
tetapi bukan kepala pemerintahan. Sultan akan tetap menjadi figur yang
sakral dan dijauhkan dari hal-hal yang dapat menurunkan martabatnya
sebagai seorang sultan/raja. Sebagai kepala dearah Sultan bisa berbuat
salah atau terlibat masalah yang mengakibatkan beliau dituntut secara
pidana. Sebagai kepala daerah beliau bisa didemo atau dihujat oleh
rakyatnya kalau dinilai menyimpang. Padahal sebagai seorang raja beliau “can do no wrong”.
Senin, 11 Juni 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar