Didalam politik tidak ada yang namanya hati nurani, harga diri, integritas, kawan sejati, atau musuh sejati. Yang ada adalah kepentingan, oportunitas dan pragmatisme. Yang mempunyai ideologi atau idealisme hanyalah konstituen yang setia saja. Di kalangan elite politik semuanya itu tidak ada. Karena ujung-ujungnya adalah perebutan kekuasaan. So, the name of the game is “Power”. Jadi dinamika politik bisa sangat cepat berubah, tergantung perubahan kepentingan dan oportunitas yang muncul.
Baru bulan lalu JK menyatakan akan maju sebagai Capres dari Golkar untuk melawan SBY. Langkah ini sebetulnya agak emosional, terprovokasi pernyataan Ahmad Mubarok, petinggi Partai Demokrat, yang memandang rendah kemampuan perolehan suara Golkar di pemilu 2009. Pada waktu itu Golkar juga sangat optimis masih bisa unggul dalam Pemilu 2009, seperti yang dialami dalam Pemilu 2004. Ternyata perolehan suara Golkar merosot drastis, sehingga tidak mungkin Golkar maju sendiri mengusung JK sebagai Capres. Disini Golkar harus realistis dan perlu menimbang lagi apa masih akan maju (baik sebagai Cawapres atau Capres) melawan SBY atau kembali berduet dengan SBY. Apapun pilihannya Golkar harus berkoalisi dengan partai-partai lain.
Pilihan pertama nampaknya jatuh ke PDIP. Namun JK harus bersedia sebagai Cawapres, karena Megawati sudah jelas akan maju sebagai Capres. Tapi disini Golkar juga harus pragmatis, pertama : kalau hanya ingin mengambil kursi Cawapres buat apa koalisi dengan PDIP. Kedua: kalau Mega kalah, posisi Wapres akan hilang. Dengan partai-partai lain nampaknya pilihan semakin sempit. PKS dan PKB jauh-jauh hari sudah mendekat ke Partai Demokrat, Hanura dan Gerindra juga sudah menyatakan satu poros dengan PDIP. Jadi tinggal PPP dan PBB.
Dari daerah-daerah, DPD-DPD Golkar menghendaki agar Golkar tetap maju sendiri dan tidak kembali “rujuk” dengan SBY. Tentunya ini lebih karena pertimbangan harga diri, serta menjaga kehormatan dan integritras partai. Golkar, sebagai partai besar, sekali menyatakan akan maju sebagai penantang SBY harus tetap maju apapun konsekekuensinya. Namun dikalangan elite Golkar tidak demikian pola pikirnya. Dari pertimbangan oportunitas kesempatan Golkar untuk menduduki kursi orang nomer 2 di RI ini hanya kalau bergabung dengan SBY. Dengan tetap berduet dengan SBY, kalau menang, akan banyak posisi di kabinet yang akan diberikan kepada kader Golkar. Di parlemen koalisi partai pemerintah juga akan berusaha supaya pimpinan DPR dan komisi-komisi strategis juga akan jatuh ditangan Golkar. Ini semua adalah masalah interest atau kepentingan.
PKS mengancam akan keluar koalisinya dengan PD kalau JK kembali berduet dengan SBY. Sekali lagi ini juga masalah kepentingan dan oportunitas. Kalau JK kembali berduet dengan SBY maka kans PKS untuk mengajukan kadernya sebagai Cawapres akan hilang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar