Telpon seluler, atau lebih sering disebut dengan HP, mulai masuk di Indonesia awal tahun 90-an. Saya mulai pakai tahun 92, ketika menjabat sebagai Pinwil BRI Surabaya. Itupun inventaris kantor, karena harganya masih mahal sekali, sampai Rp17 jutaan. Saya baru beli HP sendiri sekitar akhir tahun 95. Sekarang semua orang punya HP, termasuk tukang sayur, tukang ojek, sampai ke kuli bangunan. Dulu sebelum ada HP hidup sebetulnya lebih teratur dan terencana. Kalau kita misalnya, dari Surabaya akan ke Jakarta dan minta dijemput di Jakarta, maka sejak sebelum berangkat sudah harus memberi instruksi lengkap tentang jam berapa mendarat, diterminal mana, dengan pesawat apa dsbnya. Sesudah itu hampir tidak ada komunikasi lagi. Jadi, kalau ada keterlambatan pesawat atau perubahan jadwal, sering penjemput harus menunggu berjam-jam di terminal.
Sekarang dengan mudahnya berkomunikasi dengan HP, orang banyak yang menganut filsafat “gimana nanti” aja. Toh ada HP, nanti gampang sambil jalan bisa dihubungi. Misalnya, kita ada janji makan siang dengan relasi di restoran A. Ternyata karena suatu hal harus pindah ke restoran B, maka dengan mudah kita bisa merubahnya tanpa terlalu merepotkan partner makan siang kita. Nyonya rumah dalam perjalanan pulang ingin belanja dulu di Carrefour. Sesampai di supermarket baru nelpon si Iyem, sang PRT, untuk mengecek apa-apa saja persediaan di rumah yang sudah habis. Toh si Iyem juga punya HP. Di era tehnologi informasi ini keberadaan HP memang membuat hidup ini semakin nyaman dan mudah. Hampir tidak terbayang kita pergi keluar rumah tanpa membawa HP.
Sekarang tersedia berbagai macam HP, dari mulai yang sederhana sampai yang canggih sekali. Dari yang hanya bisa untuk telpon dan SMS saja, sampai yang bisa akses internet dan membuka facebook. Hargapun mengikuti tingkat kecanggihannya. Semakin banyak fitur yang tersedia semakin mahal harganya. Namun tidak semua orang bisa mencerna tehnologi telpon seluler. Teman saya ada yang sampai sekarang tidak bisa membalas SMS. Bahkan untuk menelponpun harus melihat ke buku kecil yang berisi daftar no telpon, walaupun di HP-nya tersedia fasilitas phonebook. Teman saya yang lain membeli Nokia Communicator, yang waktu itu lagi ngetren sekali. Suatu hari saya mengirim SMS tapi tidak ada respons, walaupun di menu report sudah ada pesan “delivered”. Ketika keesokan harinya saya tegor mengapa SMS saya tidak dibalas, denga tenang dia menjawab: “Wah saya tidak diberitahu, pembantu saya kan tidak ada dirumah kemarin.” Wah saya langsung nangkap kalau dia memang hanya bisa beli saja tetapi nggak tahu cara pakainya. Apa hubungannya SMS dengan pembantu rumah tangga.
Sekarang keluar HP merk BlackBerry (BB) yang bisa uuntuk mengakses internet, bahkan bisa untk komunikasi via Facebook atau Yahoo Messenger. Sebetulnya HP ini didesain untuk mereka yang sifat pekerjaaannya sangat mobil tetapi perlu secara terus menerus di update dengan info2 atau file-file dari kantornya. Bukan untuk sekedar bisa chating via facebook (FB). Tetapi nampaknya tidak sedikit yang membeli BB ini hanya sekedar untuk bisa main FB. Jadi agar tidak ketinggalan jaman. Kalau benar, ini suatu lifestyle yang mahal sekali. Ini adalah ciri masyarakat yang “snobist”.
Akhir-akhir ini saya sering lupa membawa HP. Mula-mula terasa ada yang kurang, tetapi lama-lama biasa juga. Mungkin karena saya sudah pensiun dan kegiatan saya tidak terlalu banyak. Sekarang kalau saya pergi main golf sengaja tidak membawa HP. Atau, kalau sudah terlanjur membawa, biasanya saya tinggal di locker supaya tidak mengganggu konsentrasi permainan saya. Bagaimana dengan anda? Pernah mencoba sekali-sekali pergi tanpa HP?
Rabu, 29 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar