Salah satu hobi saya adalah nonton film. Hobi ini sudah saya lakukan sejak kecil dulu sampai sekarang. Kalau dulu setiap kali nonton harus pergi ke gedung bioskop, sekarang cukup di rumah saja dengan menonton di TV. TV kabel menawarkan saluran yang khusus memutar film non-stop 24 jam. Sampai tahun 60-an, sebelum ada TV, hiburan yang ada hanya radio dan film. Memang ada pertunjukan wayang orang atau ketoprak, tapi daya tariknya masih kalah dibanding film. Program favorit radio adalah pilihan pendengar dan siaran radio tonil wayang orang atau ketoprak. RRI, satu-satunya stasiun radio pada waktu itu, memang menyiarkan juga lagu-lagu barat, tapi untuk mendengarkan lagu-lagu yang terbaru harus menyetel ke Radio
Lakon ketoprak yang pernah meledak adalah serial Djoko Sudiro yang disiarkan RRI Jogyakarta dan diperankan oleh pemain yang sangat legendaris, Tjokrodjio. Setiap Rabu malam jam 9.00 orang-orang tidak mau beranjak dari depan radio, sudah tidak sabar menunggu serial selanjutnya. RRI Surakarta tidak pernah menyiarkan ketoprak, tetapi siaran wayang orang. Pemain primadonanya Listiorini, yang memerankan Arjuna, salah satu putra Pendawa. Sebelum masuk
Nontom bioskop jaman dulu
Gedung bioskop jaman dulu besar-besar, bisa memuat sampai seribu penonton. Bioskop Sriwedari, Solo, bahkan bisa menampung lebih seribu orang. Berbeda dengan Cineplex sekarang, dimana satu gedung terdiri dari beberapa ruangan kecil yang bisa memutar sampai
Walaupun gedungnya besar-besar, tetapi kalau pas lagi film bagus sering tidak kebagian karcis. Untuk film yang diputar jam 5 kita harus mulai antri jam 3. Kita sering baru nonton setelah film diputar beberapa hari, cari yang lebih longgar antri karcisnya. Hanya saja sering keduluan sama teman-teman, jadi bikin tambah penasaran saja. Yang seangkatan dengan saya tentu masih ingat film-film western seperti : Last train from from Gun Hill (Kirk Douglas), Gun fight at OK Corral (Burt Lancaster), Shane (Alan Ladd), High noon (Gary Cooper), Giant (Rock Hudson dan James Dean), Rio Bravo (John Wayne, Dean Martin dan Ricky Nelson). Untuk film-film detektif : Vertigo (James Stewart), North by the northwest (Gary Grant), The man who knew too much (James Stewart). Untuk film-film musikal : April Love (Pat Boone), Love me tender, King Creole, Blue Hawai, GI Blues yang semuanya dibintangi Elvis Presley.
Pembatasan usia penonton juga ketat. Film dibagi menjadi 3 kategori: segala umur, 13 tahun dan 17 tahun keatas. Anak-anak yang masih dibawah umur jangan harap bisa nonton film 17 tahun keatas. Saking kepenginnya nonton film 17 tahun, begitu masuk SMA saya langsung membuat kartu pelajar dengan usia dituakan 2 tahun. Sekarang nampaknya sangat longgar, anak-anak SMP kelihatan bebas nonton film orang dewasa.
Film favorit yang lain adalah Ben Hur (1959) yang dibintangi Charlton Heston dan Stephen Boyd. Film yang juga berbasis kisah Injil ini, bercerita tentang seorang pangeran Yahudi, Yudah Ben-Hur dari Yudea, (dimainkan oleh Charlton Heston) yang dihianati oleh teman mainnya sejak kecil, Messala (dimainkan oleh Stephen Boyd), yang belakangan menjadi penguasa Romawi dan diangkat sebagi Gubernur Yudea.. Karena kesalahan kecil, Ben Hur dihukum, dijadikan budak dan dibuang oleh Messala. Ben Hur akhirnya bisa membebaskan diri dan kembali ke negrinya untuk membalas dendam. Adegan yang menarik adalah balap kereta kuda (chariot) yang diikuti oleh Ben Hur dan Messala.
Namun diantara film-film yang saya gemari, yang saya tidak pernah bosan adalah Godfather part 2(1974), yang dibintangi Al Pacino dan Robert de Niro. Film ini,yang dibuast atas dasar novel Mario Puso, mengisahkan tentang kehidupan mafia Italia di Amerika. Khusus di bagian ke 2 ini ada flashback dari Vito Corleone kecil, remaja , sampai menjadi Don atau Godfather. Setting, property, kostum sampai make-up dibuat dengan sangat detil. Kita seolah-olah benar-benar dibawa ke alam Sisilia atau suasana
Film dan visualisasi sejarah
Saya selalu kagum dengan mereka yang terlibat dalam pembuatan film. Bukan hanya artisnya, utamanya pada mereka yang terlibat dalam desain produksi, penulis naskah, property, perancang kostum, pembuat efek khusus dls. Mereka dapat menghadirkan suasana ribuan tahun yang lalu dihadapan kita. Mereka membantu kita mem-visualisaikan peristiwa-peristiwa sejarah dengan sangat nyata. Tokoh-tokoh perfilman, seperti George Lucas atau Steven Spielberg, seharusnya mendapat hadiah Nobel untuk karya-karya filmnya. Dari kisah di kitab suci kita hanya membaca bahwa Nabi Musa mendapat wahyu pertama di gunung Sinai. Dari film kita bisa membayangkan bagaimana kira-kira peristiwa turunnya wahyu tersebut terjadi. Di agama Islam orang yang mengumandangkan adzan disebut muadzin atau bilal. Dari film The Message, kisah tenatng Nabi Muhammad, kita bisa melihat ternyata bilal (nama aslinya Bilal ibn Rabah atau Bilal al-Habeshi) adalah nama budak kulit hitam asal Etiopia sebagai orang yang pertama diangkat sebagai muadzin resmi oleh Nabi Muhammad saw. Setiap kali waktu sholat tiba dia harus berlari-lari mencari tempat yang tinggi untuk melantunkan adzannya. Dari film How the west was won kita bisa membayangkan betapa beratnya dan kejamnya perjuangan para penetap (settlers) yang akan mencari daerah baru di Amerka barat. Kita juga dapat lebih memahami mengapa Napolean, yang tentaranya dan perlengkapannya lebih kuat, sampai kalah dari Rusia setelah melihat film War and Peace(Leo Tolstoy, 1956).
Sayang tidak banyak dibuat film
Dimana melihat film-film lama?
Waktu saya sekolah di Amerika, disana terdapat stasiun TV yang khusus memutar film-film lama. Saya sempat menonton film-film cowboy dengan bintang-bintang seperti Roy Rogers, Ronald Reagan, John Wayne ketika masih muda. Di Indonesia sekarang semakin jarang melihat TV yang memutar film-film lama. Kalau adapun kondisi film sudah mulai rusak, sehingga kurang bisa dinikmati. Banyak film-film tahun 50-60an yang bagus-bagus. Generasi saya tentu masih ingat film-film seperti : 8 Penjuru angin dan Pejuang (Bambang Hermanto), Krisis, Lewat jam malam, 3 dara (Indriati Iskak, MiekeWijaya, Chitra Dewi), Pulang (Turino Junaedi), Hari libur (Bing Slamet). Saya kawatir anak-anak dan cucu-cucu kita tidak pernah tahu bahwa bangsa ini pernah memproduksi film-film besar dan bagus. Sayang.