Selasa, 10 Juni 2008

Kekayaan bahasa Jawa


Di Indonesia ada kebiasaan, khususnya di kalangan pejabat, kalau berbicara didepan publik selalu dicampur-campur dengan bahasa asing (Inggris). Mungkin karena tidak ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang pas, tetapi bisa juga untuk gagah-gagahan supaya kelihatan modern dan pinter. Di lingkungan akademisi atau dalam pertemuan-pertemuan ilmiah, penggunaan kata-kata asing memang sulit dihindari. Mencari padanannya dalam bahasa Indonesia disamping susah juga dapat menimbulkan salah arti, atau sulit dimengerti dikalangan ilmuwan. Malaysia lebih maju dari kita. Di sana ada upaya yang serius untuk secara maksimal menggunakan bahasa Malaysia dalam dokumen-dokumen resmi, walaupun untuk komunikasi lisan dikalangan intelektual dan bisnis umumnya masih menggunakan bahasa Inggris.

Sampai sekarang kalau ngobrol dengan teman-teman, khususnya dengan yang berasal dari Jawa, saya masih suka campur-campur dengan bahasa Jawa. Saya merasa dengan berbahasa Indonesia tidak dapat sepenuhnya menyampaikan maksud yang ingin saya utarakan. Bahasa Jawa rasanya lebih mengena dan mempunyai istilah yang lebih tepat untuk situasi-situasi tertentu. Coba simak ungkapan berikut ini: “Anake mati konduran truk.” Maksudnya adalah, anaknya mati karena ketabrak truk yang bergerak mundur kebelakang. Kita tidak bisa menterjemahkan dengan “anaknya mati ketabrak truk”, karena ketabrak itu pengertiannya bisa dari depan atau dari belakang. Begitu pula dengan ungkapan: “Dalane gronjalan.” Yang ingin kita katakan adalah jalannya rusak, tidak rata dan mungkin berlubang-lubang, tetapi tidak ada satu kata Indonesia yang pas yang mewakili pengertian gronjalan. Kalau ada salah satu keluarga kita yang meninggal, apakah istri, anak atau orang tua, masyarakat Jawa mempumyai istilah khusus, yaitu kesripahan. Begitu pula pemberitahuan kalau ada yang meninggal, namanya “lelayu.” Kalau kita pergi ke undangan resepsi, bukan undangan rapat, disebutnya pergi jagong.

Untuk rasa yang berhubungan dengan sakit perut, bahasa Jawa mempunyai beberapa istilah, seperti : mlilit (rasa seperti kalau telat makan), senep (rasa seperti menusuk di perut), mules (kalau kita sedang diaree), dan sebah ( perut seperti penuh makanan dan terasa keras). Untuk baju atau kain yang robek ada beberapa istilah sesuai dengan tingkatan robeknya, dimulai dari yang paling rendah : suwek, bedhah dan yang paling parah amoh. Bahasa Indonesia hanya mengenal satu kata untuk “melempar”, tidak membedakan apakah alat yang digunakan untuk melempar itu batu kecil, sedang atau batu besar. Orang Jawa membedakan antara dipathak (dengan batu kecil), dibalang (sedang) atau dibandhem (dengan menggunakan batu besar). Miskram atau keguguran hanya untuk manusia, kalau untuk binatang istilahnya keluron. Kalau ada yang mendorong dari belakang sehingga kita jatuh tertelungkup, disebut kejongor atau kejlungup. Kalau sebaliknya, sehingga kita jatuh tertelentang, disebut kejengkang.

Menurut ahli sosiologi, orang Jawa yang dulunya mayoritas agraris, mempunyai banyak waktu luang untuk mengotak-atik apa yang terjadi disekelilingnya, termasuk budaya bahasa. Barangkali hanya di Jawa kita mempunyai nama-nama yang lengkap khusus untuk anak-anak binatang. Kita mengenal anak anjing disebut kirik, anak sapi pedhet, anak kerbau gudel, anak kuda belo, anak harimau gogor, anak kucing cemeng, anak burung piyik, anak ayam kuthuk dstnya. Bahasa Indonesia hanya mengenal satu kata “malu”, digunakan untuk ungkapan rasa bersalah karena telah berbuat tidak sepatutnya terhadap orang lain atau takut ditertawakan orang lain. Bahasa Jawa mengenal beberapa istilah : isin atau lingsem (takut ditertawakan orang lain), sungkan atau rikuh (takut merepotkan orang lain), klincutan (malu, misalnya karena datang terlambat), wirang (malu karena telah berbuat hal yang tidak senonoh).

Berikut beberapa kausa kata bahasa Jawa yang susah dicarikan penggantinya yang pas dalam satu kata bahasa Indonesia: Cotho, tidak bisa mengerjakan sesuatu karena ada peralatan yang hilang. Misalnya kita akan memperbaiki sepeda yang rusak, tetapi ada salah satu kunci pas yang hilang sehingga kita tidak bisa berbuat apa-apa. Bisa juga berarti repot. Sering kita mendengar orang mengeluh: Wah cotho, Iyah(pembantu RT) mudik nggak pulang-pulang. Prigel, mampu mengerjakan beberapa tugas sekaligus secara cepat dengan hasil yang baik. Prigel ini tingkatannya lebih tinggi dari terampil. Merak ati, ini berlaku untuk wanita yang dari segi penampilan menarik untuk dipandang. Merak ati tidak harus cantik, barangkali istilah Inggrisnya yang lebih tepat charming. Dalam sastra Jawa sering kita membaca: Merak ati eseme ngujiwat. Wah, yang ini lebih susah lagi mengalihkannya kedalam bahasa Indonesia. Gandhes, masih berhubungan dengan wanita yang dari tingkah laku serba luwes dan menarik. Cucuk, ini sebetulnya ada padanannya, yaitu “sepadan” antara hasil dengan pengorbanan. Namun diantara orang Jawa lebih senang menggunakan istilah cucuk.

Beberapa contoh lain : Ingah-ingih, penampilannya agak malu-malu seperti yang kurang percaya diri (PD). Clila-clili, hampir seperti ingah-ingih, tetapi ini karena kurang mengenal medannya. Seperti kalau kita datang sendirian ke undangan atau rapat dan ternyata disana tidak ada yang kita kenal, maka kita merasa clila-clili. Kapiran, tidak ada yang mengurusi sehingga menjadi terlantar. Sembada, kira-kira artinya tanggung jawab dan mampu mencukupi apa yang dibutuhkan. Misalnya kita mengundang teman main ke Jogya, lantas kita katakan :” Sudah jangan kawatir, nanti nginep dan makannya saya yang tanggung.” Gendulak-gendulik, orang yang ragu-ragu mengambil keputusan. Hari ini mengambil keputusan A, tidak lama berselang berubah B. Yang B belum dilaksanakan sudah ganti ke A lagi. Orang Jawa mengatakan: Gendulak-gendulik, apa sida apa ora. Cengengesan, sering ketawa sendiri tanpa alasan yang jelas. Dapat juga berkonotasi negatif, yaitu orang yang kalau diajak bicara tentang suatu hal memberi jawaban yang lain, dengan maksud untuk melucu tetapi tidak pada tempatnya.

Kalau ingin dilanjutkan masih ada beberapa contoh lagi : Jenggirat, tiba-tiba bangun, baik karena kaget atau takut. Awang-awangen, malas melakukan sesuatu karena takut tidak mampu melakukannya dengan baik. Mak jegagik, berhenti melakukan sesuatu karena tiba-tiba ada yang muncul didepan kita. Keblondrok, merasa tertipu, misalnya karena membeli barang tidak ditawar dengan baik sehingga kemahalan. Kemepyar, lepas-lepas, tidak lengket untuk nasi atau rasa segar dibadan sehabis meminum teh atau kopi panas. Kemrungsung, rasa cemas karena takut tidak bisa tepat waktu, misalnya karena mengejar pesawat. Grusa-grusu, berhubungan dengan tingkah laku yang serba buru-buru dan agak kasar. Kudu ngguyu, ingin ketawa sendiri karena ingat sesuatu pengalaman yang lucu.

Mungkin karena dirasa lebih mengena, banyak kata-kata bahasa Jawa yang sudah diadopsi dan diterima sebagai bahasa Inbdonesia. Antara lain : otak-atik, tetek-bengek, mumpung, ketimbang, risi(h), jajal, ampuh, bablas, bludag, brangus, wadhah, (m)entas, misalnya dalam pengentasan, gembar-gembor, gledhah, godhog, kemplang(ngemplang), kinclong. Mungkin kalau dicari di kamus bahasa Jawa, akan lebih banyak ditemukan contoh-contoh lagi. Yang kami uraikan diatas adalah bahasa Jawa versi Solo, untuk Jogya barangkali lain. Dospundi para sutresna basa Jawi? mBok menawi kagungan wawasan sanes? Sumonggo.

3 komentar:

Bambang Setiari mengatakan...

Saya respek dengan tulisan bapak dan ikut “urun rembug”, padanan kata “urun” lebih mendekati kata partisipasi daripada sumbangan. sebab partisipasi mempunyai konotasi dalam jumlah kecil sedangkan sumbangan dalam jumlah besar. Sedangkan rembug ada tradisi dipedesan Jawa yang secara berkala mengadakan rembug desa yang membicarakan rumor dilingkungannya disana ada “sender” ada “receiver” dan ada pula “opini” walaupun secara sederhana tetapi sifatnya tidak menggurui demi tercapainya harmonisasi yaitu serasi, selaras dan seimbang, mohon maaf ini bukan mengulang penataran P4 dan bukan pula nada gamelan/gendingan yang harus memenuhi S3 diatas, tapi itulah budaya dan demokrasi jawa, tetapi sayang sekarang terkikis oleh arus reformasi yang tidak ketemu ujungnya. Sejak pensiun dan tinggal di Yogyakarta saya memperdalam budaya Jawa, sebagai orang jawa kelahiran Jombang – Jawa Timur yang dialek jawanya campur madura dimana pada waktu kraton Mataram masih eksis termasuk orang manca negara sehingga diklasifikasikan warga negara asing.
Bahasa Jawa itu kaya akan arti dan memiliki makna yang dalam karena pandangan hidup orang jawa atau kejawen yang dinamakan ilmu kesempurnaan jiwa dipengaruhi oleh filsafat Hindu dan filsafat Islam atau sufisme. Saya pernah membaca tulisan / skripsi Budiono Herusatoto dengan judul “Simbolisme dalam budaya Jawa” mengatakan bahwa bahasa jawa penuh dengan kembang, lambang dan sinamuning samudra atau yang tersembunyi didalam kiasan harus dibahas dengan perasaan yang dalam serta tanggap ing sasmita ( dapat menangkap maksud yang sebenarnya yang tersembunyi ) akan hal ini sudah bapak sudah menulis dengan gamblang dengan judul Javanese courtesy. Selanjutnya ada pepatah yang berbunyi “ Wong Jawa nggone rasa, pada gulange ning kalbu, ing sasmito amrih lantip, kuwono nahan hawa, kinemat mamoting driyo” (orang Jawa itu tempatnya diperasaan, mereka itu selalu bergulat dengan kalbu atau suara hati, agar pintar dalam menangkap maksud yang tersembunyi, dengan menahan hawa nafsu sehingga akal dapat menangkap maksud yang sebenarnya atau rasa, karsa dan cipta.
Saya kutip lagi dari penulis diatas bahwa dalam bahasa sastra orang Jawa selalu memakai pepatah, sengkalan dan jarwodosok. Pepatah seperti jagad ora mung sak godong kelor dudu sank godong gelombang cinta, sadumuk batuk sabumi nyari dsbnya, sedangkan sengkalan atau sengkala menunjukkan waktu, sang atau si merupakan kata sandang yang dipakai untuk personifikasi sesuatu misalkan sang waktu contohnya Tangan Yakso Satataning Jalmo merupakan sengkalan bagi buto Cakil, yang artinya ia mempunyai dua buah tangan seperti manusia. Sengkalan ini menunjukkan saat pembauatan wayang Buto Cakil, yaitu tahun 1552 Caka atau 1630 M.
Sedangkan jarwodosok yaitu penyatuan dua kata menjadi satu kata baru, seperti garwa, dari sigaraning nyawa (belahan jiwa), cangkir dari nancang (menguatkan) pikir, dongeng dari dipaido ora mengeng (dicerca tidak diam) dan ada lagi tetapi mohon maaf agak porno, katok = kanggo nutupi sing ketok, kutang = sikute diutang, sewek = kanggo nutupi sing suwek, sarung = kanggo nutupi sing nyurung dan sebagainya.
Tulisan bapak menarik dan istilah – istilah yang bapak sampaikan menurut saya itu istilah jarwadosok maka perlu sinamuning samudra. Matur numun, nyuwun gunging pangaksoma, mugi dadoso renaning penggalih

Papah Doni mengatakan...

Terima kasih Pak Bambang atas masukannya. Mungkin nanti perlu tulisan lanjutan dengan bahan dan referensi yang lebih lengkap. Saya berharap para pencinta bahasa Jawa seperti Pak Wondo tergelitik dan bisa memberi wawasan yang lebih lengkap. Atau komentar pak Bambang yang sangat berisi ini bisa untuk bahan blog Bp, sambil jalan nanti bisa dilengkapi

kang sugeng mengatakan...

njih leres sanget meniko, kulo njih setuju kaliyan menopo ingkang kasebat teng nginggil, boso jawi meniko langkung luas maknanipun, salam kenal njih...