“Jangan lupa mampir ke warung kopi Aceh…”, itu pesan dari teman-teman ketika mendengar saya akan ke Aceh. Akhir tahun lalu sampai Maret 2009 saya sempat tinggal, atau lebih tepatnya bekerja, di Banda Aceh. Saya dikontrak Asian Development Bank (ADB) selama 4 bulan, sebagai konsultan menggarap proyek pengembangan Bank BPD Aceh. Saya sudah beberapa kali ke Aceh, baik waktu masih di BRI maupun ketika bertugas di Dana Pensiun BRI. Terakhir saya ke Aceh tahun 2005, bersama-sama Pak Sardjono (Ketua Umum PB PP-BRI waktu itu), Pak Sudarmanoe, Pak Petrus Sarwoko (alm), dalam rangka memberikan bantuan dan santunan kepada pensiunan BRI yang menjadi korban tsunami. Pada waktu itu Banda Aceh masih porak poranda, belum banyak bangunan yang direhabilitasi. Sudah banyak LSM, NGO, dan Lembaga Donor Internasional yang berdatangan di Aceh, namun mereka baru pada tahap penelitian, belum mulai membangun.
Sekarang Banda Aceh sudah jauh berbeda, semakin cantik dan kegiatan ekonominya semakin menggeliat. Hampir tidak terlihat sisa-sisa bekas tsunami. Mobil-mobil baru berseliweran di jalan-jalan yang mulus. Toko-toko lama sudah direhabilitasi dan ratusan ruko-ruko baru dibangun. Dulu agak kesulitan kalau mau makan, karena hanya satu dua restoran saja yang buka. Sekarang cari makanan apa saja ada. Masakan Cina, Barat, Padang, Ayam Bakar Wong Solo, Pondok Raja Kuring, Ayam Penyet Surabaya, dan tentu saja puluhan restoran spesifik Aceh. Namun yang paling mencolok adalah banyaknya warung-warung kopi baru bermunculan disetiap sudut
Warung atau restoran?
Warung kopi Aceh tidak sama dengan warung kopi ditempat-tempat lain. Jika diajak minum kopi di Aceh, jangan membayangkan warung kopi seperti Starbucks, Espresso, atau the Coffee Bean. Warung kopi di Aceh lebih tepat disebut sebagai warung makan. Hidangan utama memang kopi dan berbagai jenis makanan ringan khas Aceh. Namun bagi yang memang lapar bisa juga memesan makanan berat seperti : nasi gurih, nasi goreng, mi Aceh, mi bakso, sate, martabak. Untuk makanan berat ini umumnya tidak dimasak oleh pemilik warung, tapi disediakan oleh padagang dorongan yang bergabung dengan warung kopi tsb. dengan sistim bagi hasil.
Kios-kios dan toko-toko, juga warung kopi, di Aceh umumnya dibangun tidak persis dipinggir jalan, tetapi agak masuk kedalam. Jadi rata-rata mempunyai halaman depan yang cukup luas untuk menaruh puluhan meja dan kursi. Mejanya kecil dan pendek, dengan empat kursi plastik yang juga pendek dengan posisi agak menyandar kebelakang. Pada awalnya saya agak heran, dimana enaknya duduk dikursi pendek sambil minum atau makan. Namun setelah saya coba, memang ini kursi yang paling cocok untuk minum kopi. Ibaratnya sekali duduk minum kopi lupa berdiri. Sambil menikmati kopi, dimeja disuguhi berbagai jenis kudapan khas Aceh yang mayoritas rasanya manis.
Rasa kopi yang khas
Saya sendiri, untuk alasan kesehatan, sebetulnya sedang dalam proses mengurangi konsumsi kopi, malah kalau bisa berhenti sama sekali. Di rumah saya minum decafinated instant coffee (kopi tanpa cafein). Tetapi setelah mencicipi kopi Aceh nampaknya susah mau berhenti. Kopi Aceh umumnya dari jenis Arabica, dan menurut orang-orang
Fungsi warung kopi
Di NAD, telah menjadi tradisi bagi kaum prianya untuk menikmati kopi di warung-warung. Bahkan di jam-jam kantor pun, banyak juga para pekerja melewatkan waktunya di sini. Bagi kaum lelaki Aceh, warung kopi tidak hanya sekedar tempat untuk menikmati secangkir kopi dan beberapa makanan khas Aceh lainnya, namun telah berkembang dengan fungsinya yang lebih luas, seperti fungsi sosial, yaitu sebagai tempat memperkuat silaturahim antar kelompok atau antar sahabat; fungsi politik, sebagai tempat diskusi isu-isu politik dan pemerintahan baik tingkat lokal, nasional maupun internasional; fungsi ekonomi, yaitu sebagai tempat pertemuan untuk melakukan lobi-lobi bisnis.
Ngopi juga sudah menjadi sarana hiburan dan bagian dari life style masyarakat Aceh. Nongkrong berlama-lama sambil ngobrol kesana lemari walaupun hanya membeli secangkir kopi sudah menjadi pemandangan umum. Mehreka gemar berkumpul bersama dan aktivitas yang dilakuk.an adalah ngopi. Yah, maklum saja, provinsi ini menerapkan hukum syariat Islam, jadi tempat hiburan malam pun tak banyak di
Kopi, rokok dan wanita.
Prosentase orang yang merokok di Aceh barangkali yang paling tinggi dibanding dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Dimana-mana orang merokok, tidak terkecuali di warung kopi. Mungkin agak susah bagi Pemda untuk mengeluarkan “qanun” (peraturan daerah) tentang larangan merokok ditempat-tempat tertentu. Apalagi melarang merokok di warung kopi, karena kopi dan rokok hampir tidak dapat dipisahkan. Salah satu faktor yang membuat saya tidak terlalu sering ke warung kopi ialah karena saya paling tidak tahan bau asap rokok. Biasanya saya mencari tempat duduk yang diluar agak dipinggir, sehingga bau rokok ternetralisir oleh tiupan angin.
Kalau rokok sudah identik dengan warung kopi, sebaliknya, wanita hampir tidak pernah ditemukan nongkrong di warung kopi. Saya pernah menanyakan ke beberapa wanita Aceh kenapa tidak ada wanita mampir ke warung kopi. Mereka menjawab : “Tidak ada larangan sih pak, cuman rasanya kurang elok dipandang karena warung kopi
Ngopi dimana?
Walaupun begitu banyak warung kopi di Banda Aceh, tetapi rasanya belum afdol kalau belum nyoba di kopi Ulee Kareng di warung kopi “Jasa Ayah” yang terletak di Jl. T Iskandar no 13-14a, Kec Ulee Kareng, Banda Aceh. Jangan membayangkan sebuah restoran yang bersih dan serba mewah. Tempatnya sangat sederhana, malahan terkesan sedikit kumuh. Warung ini sangat popular dan selalu dipenuhi pengunjung dari pagi hingga malam hari. Warung kopi yang sudah ada sejak tahun 1958 ini tidak hanya popular di Aceh tetapi juga keseluruh
Warung kopi lain yang tidak kalah populernya adalah warung kopi SMEA, yang terletak di Jl . P Nyak Makam. Warung yang awalnya Kantin milik SMEA I ini sekarang telah menjadi warung publik dan dikelola secara professional. Saya sendiri lebih suka di SMEA, karena disamping kopinya tidak terlalu berat juga pilihan makanan kecilnya banyak dan lebih bervariasi. Favorit saya dadar gulung