Minggu, 15 Juni 2008

Wisata kuliner di Jogya (1)

Pendahuluan

Sejak Ari, anak saya yang paling kecil, kuliah di UGM , saya jadi sering ke Jogya. Paling tidak 2 bulan sekali saya ke sana sama nyonya. Disamping untuk menengok anak, juga untuk sejenak ganti suasana , melepaskan diri dari panas, kotor, bising dan macetnya kota Jakarta. Kalau ke Jogya sering bingung mau bawa pakaian apa. Soalnya merasa sudah ninggal beberapa pakaian disana tetapi selalu lupa yang mana. Maklum sudah kepala enam, jadi sering lupa. Jadi supaya tidak lupa dan kalau ke Jogya tidah usah banyak-banyak bawa ganti, sebaiknya saya catat dan saya masukkan ke blog. Bukan sok internetan, tapi kalau dicatat di tempat lagi nanti susah lagi nyarinya. Yang sudah ditinggal di tempat kost Arie antara lain :
3 Kaos golf panjang
2 T shirt
2 kaos oblong untuk tidur
1 celana training
1 handuk besar
1 baju lengan pendek
Kalau pas ada di Jogya sering diajak teman-teman main golf di Adisucipto. Nah saya juga nyimpan perlengkapan golf. Supaya tidak usah berat-berat bawa alat-alat golf, sebaiknya dicatat juga apa saja yang sudah saya simpan di sana.
Perlengkapan olah raga
1 set golf clubs tanpa putter
1 sepatu sepatu golf kulit + kaos kaki
1 sepatu jogging
1 tas ganti golf
1 tas bola + glove dan bola
2 topi golf
Tulisan diatas sebenarnya tidak ada hubungannya dengan wisata kuliner, tapi hanya untuk membantu ingatan saya soal bawa ganti baju.

Soto sapi pak Ngadiran

Hari Minggu pagi, tgl 15 Juni 2008, jam 7.30 pagi saya sudah mendarat di Adisucipto Airport. Dari rumah berangkat habis sholat Subuh, berarti belum sempat sarapan. Sampai di Sawit Sari, tempat kost Ari, pertanyaan pertama ; "Makan dimana Ri?". Ari langsung menyarankan ke soto daging sapi Pak Ngadiran. Dia tahu, kalau di Jogya saya selalu mencari makanan-makanan yang tradisional, yang enak tapi dengan harga yang realtif murah. Bukan mau ngirit, tetapi serasa ada kenikmatan tersendiri kalau bisa makan murah tapi rasanya masih mak nyuus.
Soto Pak Ngadiran terletak di daerah Klebengan, masuk dari Gading Mas, atau dari selokan Mataram. Agak susah kalau harus nyari sendiri, mungkin lupa lagi bisa nggak ketemu.
Resto ini nampaknya memang murah meriah. Pagi-pagi sudah penuh pengunjung, terutama dari kalangan mahasiswa. Menu andalan memang hanya soto sapi, tetapi dengan beberapa variasi : misalnya soto sapi campur (nasi), soto pisah, soto sapi daging dobel. Ada juga soto campur kuah (alias tanpa daging). Wah kalau yang ini namanya sudah ngirit banget. Mungkin untuk mahasiswa yang lagi telat kirimannya. Untuk sekedar informasi harga, soto daging campur Rp4.500, tempe goerng Rp300, es jeruk Rp1.500.

Tips untuk Anda, makan soto Pak Ngadiran tidak lengkap rasanya kalau tidak ditemani tempe goreng tepungnya yang berukuran mini dengan rasanya yang maxi. Kalau mau lebih nikmat lagi, pesanlah babat gorengnya yang bernuansa manis-gurih untuk melengkapi citarasa hidangan anda. Jangan lupa dengan krupuk kritingnya. Sambelnya enak, dicampur kecap bisa untuk teman makan tempe, hanya menurut saya agak terlalu pedas

Warung Makan Lombok ijo, sego abang
Saya makan disini untuk pertama kali dibawa Pak Bambang Setiari, pensiunan BRI yang berwiraswasta dengan usaha tanaman hias di jalan Kaliurang. Lokasinya agak jauh dari pusat kota, di daerah Pakem di pinggir jalan raya menuju Tempel. Tepatnya di Jl Pakem Turi Km 1, Sleman.
Sangat tradisional, bangunan dari bambu sederhana, suasana sangat rumahan sekali. Bisa duduk di kursi atau lesehan, ditemani gemericik air yang mengalir di sawah dan ditiup angin sejuk dan segar dari gunung Merapi. Makanannya sangat sehat, khas Gunung Kidul yang jarang ditemui lagi di kota-kota besar. Beras merahnya gurih dan pulen. Daging empal dan ayam gorengnya empuk sekali, dibumbu agak manis tetapi terasa pas di lidah. Sayur lodehnya hanya berisi tempe dan irisan cabe ijo. Sayur daun papayanya tidak terasa pahit sama sekali, malah agak sedikit manis. Dan jangan lupa pesan teh kenthel gula batu. Sambil menunggu pesanan, kita bisa ngemil rempeyek kedele hitam. Pelayanan cepat, walaupun banyak tamu tetapi tidak terlalu lama menunggu. Pemiliknya sangat ramah. Ketika kelihatan minuman sudah hampir habis, dia sendiri yang mengisi lagi. Begitu pula ketika kita selesai makan dan mau pulang, dia ikut mengantar sampai kedepan. Betul-betul keramahan Jogya yang sukar dilupakan.
Menu favorit ;

Nasi beras merah
Empal daging
Ayam goreng
Tahu/tempe bacem
Sayur lodeh lombok ijo
Sayur daun papaya
Bothok mlanding
Teh poci gula batu
Trancam
Menu diatas adalah sudah standar, artinya begitu kita duduk tidak usah pesan langsung disediakan. Sistemnya hampir kaya rumah makan Padang, tidak usah dihabiskan semua, kita hanya bayar yang kita makan. Praktis sekali.

Cowmad, tempatnya penggila sapi
Senin malam (16/6/08) Ari sama Ariana, pacarnya, ngajak makan malam di Cowmad, warung makan baru serba sapi, yang terletak Deresan, belakang Percetakan Kanisius, sebelah utara Happy Holy Kids.
Cowmad adalah warung makan untuk para penggila sapi, begitu kata si-empunya warung. Sajian utamanya memang daging sapi. Mulai dari sate, iga bakar, sup iga, sup buntut, sampai brongkos kikil. Tapi selain sapi-sapian, ada juga sayuran seperti brokoli bawang putih, kangkung hot plate dan tauge cah ikan asin. Minumannya juga beraneka ragam, mulai dari minuman tradisional seperti kunir asem dan jamu komplit sampai dengan aneka juice dan minuman dengan nama sapi-sapian seperti The Matador dan Sexy Cowmad. Untuk yang tidak ingin makan berat, Cowmad juga menyediakan cemilan berupa kentang goreng dan pisang goreng/bakar. Lengkap lah pokoknya!
Kami berempat memesan menu yang berbeda-beda, supaya bisa saling mencicipi menu masing-masing. Saya pesan Sapi bumbu mongolian, karena digambar kelihatan enak dan porsinya besar. Ternyata porsinya kecil sekali. Nyonya pesan sup buntut goreng, yang rupanya kurang begitu meresap bumbunya dan dagingnya agk keras. Ariana pesan iga bakar hoisan. Wah yang ini siip banget, mak nyuus. Ari pesan sup iga "selangit", ternyata tidak selangit rasanya. Kurang lebih sama dengan sup buntunya.
Tempatnya cukup nyaman. Tempat makan utama berada di rumah kayu dengan gaya joglo, meja sisanya ditata di taman sekeliling rumah. Di bagian belakang sekarang sedang dibangun meeting room, jadi bagi yang ingin rapat sambil makan daging sapi, langsung saja datang ke Cowmad (kalau meeting room-nya sudah jadi.. hehehe...)
Harga makanan dan minuman Cowmad tidak murah untuk ukuran Jogya, namun cukup terjangkau. Tamu yang naik motor juga berani mapir ke sini. Harga minuman sekitar 8000 rupiah dan makanan berkisar di 19.000 rupiah sampai 25.000.


Brongkos Bu Padmo
Brongkos adalah seperti sayur lodeh tetapi memakai kluwek, sehingga warnanya kehitam-hitaman. Berbeda dengan brongkos vegetarian yang isinya didominasi sayuran (labu siem dan kacang tolo), brongkosnya bu Padmo isinya hanya daging sapi. Orang Surabaya bilang ini rawonnya orang Jawa. Walaupun cukup banyak warung nasi brongkos di Jogya, tetapi kalau kita tanyakan ke penggemar brongkos pasti mereka akan me-rekomendasikan ke warungnya Bu Padmo, Namanya Warung Ijo Bu Padmo, tempatnya di Pasar Tempel, dibawah jembatan kali Krasak yang menghubungkan perbatasan Jateng - DIY. Warungnya yang berwarna hijau nyempil ditengah kios-kios pasar lainnya. Saking sempitnya, kalau ada tamu lain yang selesai makan duluan kira sering harus berdiri semua untuk memberi jalan lewat.
Sekarang dibawah tulisan warung ijo ditambahi kata-kata "mak nyuus". Mungkin ini gara-gara pernah dikunjungi Pak Bondan, pengasuh acara Wisata Kuliner dari Trans-TV. Jangan sampai keliru, karena disekitar lokasi tersebut sekarang bermunculan warung-warung makan lain yang juga menyajikan menu brongkos.
Disamping brongkos, disini kita juga bisa memesan nasi pecel, nasi terik daging, atau nasi koyor, tapi tetap menu andalannya brongkos. Memang beda dengan brongkos vegetarian, brongkos yang satu ini aromanya khas masakan daging dengan keharuman rempah yang menghanyutkan. Rasanya sangat gurih dengan gigitan rasa pedas yang membuat tidak enek. Dagingnya empuk sekali dan lumayan banyak, satu porsi cukup kenyang untuk orang-orang seusia saya. Secara keseluruhan brongkos daging ini enak banget, meskipun sepertinya lebih cocok untuk makan siang karena citarasanya yang lebih berat.
Harganya betul-betul bersahabat. Tujuh ribu satu porsi, ditambah minum, krupuk dan tempe goreng jadi sepuluh ribuan. Warung ijo ini ternyata sudah lumayan lama beroperasi, 50-an tahun. Dan yang lebih hebat lagi, Bu Padmo walaupun sudah sepuh, 80 tahun, masih ada dan masih sering mengecek keaslian rasa brongkos yang layak mendapat titel pusaka kuliner Jogya ini. Tapi harap diingat, meskipun sudah sangat beken warung yang satu ini tidak pernah buka cabang di tempat lain.

Bakmi Pak Mardi, Muntilan
Kalau ke Jogya biasanya tidak pernah saya lewatkan untuk makan bakmi Jawa. Dulu sewaktu masih dinas di BRI, setiap turne ke Joigya tiap malam selalu makan bakmi Jawa. Jadi kalau dinasnya tiga hari, ya tiga malam makan bakmi terus. Teman-teman turne sering kesel, karena tentunya bosen tiap malam kok makan bakmi terus. Hampir semua warung bakmi di Jogya sudah saya coba, ada Mundiyo, Kadin, Prawirotaman, Jombor, mbah Mo di Bantul sampai Pakem.
Kali ini saya diajak pak Bambang Setiari untuk mencoba bakmi Pak Mardi, yang katanya lain dari yang lain. Tempatnya di Tugu Besi, Lakar Santri, Muntilan. Untuk lebih tepatnya, kalau mau ke sana tanya saja sama BRI Muntilan. Di Muntilan ternyata terdapat suatu lokasi yang kalau malam hari penuh dengan warung-warung tenda yang berjualan segala jenis masakan, namun kebanyakan bakmi Jawa atau sate kambing.
Warung pak Mardi ini juga warung tenda yang kecil, diisi dua meja panjang dengan 10 kursi. Waktu saya datang kelihatan sepi, hanya ada dua orang yang sedang makan. Ternyata kami sudah tamu yang ke 15. Rupanya untuk pelanggan yang sudah tahu, karena tidak mau menunggu lama-lama, mereka pesan jauh-jauh sebelumnya. Jadi baru datang kira-kira kalau gilirannya sudah hampir tiba. Harap maklum, bakmi Jawa dimasak satu persatu, jadi harus sabar menanti. Kami beruntung karena memang sudah pesan sebelumnya, lewat salah satu pegawai BRI Muntilan, jadi tidak harus berlama-lama menunggu.
Bakmi pak Mardi sebetulnya tidak jauh berbeda dengan bakmi Jawa yang lain, hanya rasa bawang putihnya yang sangat menonjol. Juga berbeda dengan warung bakmi Jawa yang lain, bumbu-bumbu tidak disiapkan sebelumnya tetapi diracik secara mendadak setiap kali memasak pesanan. Akibatnya pada waktu dimasak aroma bawang putihnya terasa sangat keras dan betul-betul menggugah selera. Disini menawarkan menu bakmi godog, bakmi goreng, magelangan (bakmi goreng campur nasi) dan nasi goreng. Menurut saya yang paling mak nyuus adalah bakmi gorengnya.
Bagaiman dengan harganya ? Saya tidak tahu persis berapa per porsinya, tetapi untuk 8 orang dengan minum jeruk anget dan tambah uritan (telur muda) saya membayar Rp82 ribu. Saya kira cukup murah.
Sedikit sejarah, pak Mardi ini dulu sebelum jualan bakmi jadi kuli bangunan, tugasnya mengaduk semen. Sekarang tiap malam mengaduk bakmi dan nasi goreng. Bakmi pak Mardi memang lain dari yang lain, hanya sayang agak jauh dari Jogya. Ingat kalau ke sana sebaiknya pesan tempat dulu, supaya nunggunya tidak terlalu lama.

Selasa, 10 Juni 2008

Kekayaan bahasa Jawa


Di Indonesia ada kebiasaan, khususnya di kalangan pejabat, kalau berbicara didepan publik selalu dicampur-campur dengan bahasa asing (Inggris). Mungkin karena tidak ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang pas, tetapi bisa juga untuk gagah-gagahan supaya kelihatan modern dan pinter. Di lingkungan akademisi atau dalam pertemuan-pertemuan ilmiah, penggunaan kata-kata asing memang sulit dihindari. Mencari padanannya dalam bahasa Indonesia disamping susah juga dapat menimbulkan salah arti, atau sulit dimengerti dikalangan ilmuwan. Malaysia lebih maju dari kita. Di sana ada upaya yang serius untuk secara maksimal menggunakan bahasa Malaysia dalam dokumen-dokumen resmi, walaupun untuk komunikasi lisan dikalangan intelektual dan bisnis umumnya masih menggunakan bahasa Inggris.

Sampai sekarang kalau ngobrol dengan teman-teman, khususnya dengan yang berasal dari Jawa, saya masih suka campur-campur dengan bahasa Jawa. Saya merasa dengan berbahasa Indonesia tidak dapat sepenuhnya menyampaikan maksud yang ingin saya utarakan. Bahasa Jawa rasanya lebih mengena dan mempunyai istilah yang lebih tepat untuk situasi-situasi tertentu. Coba simak ungkapan berikut ini: “Anake mati konduran truk.” Maksudnya adalah, anaknya mati karena ketabrak truk yang bergerak mundur kebelakang. Kita tidak bisa menterjemahkan dengan “anaknya mati ketabrak truk”, karena ketabrak itu pengertiannya bisa dari depan atau dari belakang. Begitu pula dengan ungkapan: “Dalane gronjalan.” Yang ingin kita katakan adalah jalannya rusak, tidak rata dan mungkin berlubang-lubang, tetapi tidak ada satu kata Indonesia yang pas yang mewakili pengertian gronjalan. Kalau ada salah satu keluarga kita yang meninggal, apakah istri, anak atau orang tua, masyarakat Jawa mempumyai istilah khusus, yaitu kesripahan. Begitu pula pemberitahuan kalau ada yang meninggal, namanya “lelayu.” Kalau kita pergi ke undangan resepsi, bukan undangan rapat, disebutnya pergi jagong.

Untuk rasa yang berhubungan dengan sakit perut, bahasa Jawa mempunyai beberapa istilah, seperti : mlilit (rasa seperti kalau telat makan), senep (rasa seperti menusuk di perut), mules (kalau kita sedang diaree), dan sebah ( perut seperti penuh makanan dan terasa keras). Untuk baju atau kain yang robek ada beberapa istilah sesuai dengan tingkatan robeknya, dimulai dari yang paling rendah : suwek, bedhah dan yang paling parah amoh. Bahasa Indonesia hanya mengenal satu kata untuk “melempar”, tidak membedakan apakah alat yang digunakan untuk melempar itu batu kecil, sedang atau batu besar. Orang Jawa membedakan antara dipathak (dengan batu kecil), dibalang (sedang) atau dibandhem (dengan menggunakan batu besar). Miskram atau keguguran hanya untuk manusia, kalau untuk binatang istilahnya keluron. Kalau ada yang mendorong dari belakang sehingga kita jatuh tertelungkup, disebut kejongor atau kejlungup. Kalau sebaliknya, sehingga kita jatuh tertelentang, disebut kejengkang.

Menurut ahli sosiologi, orang Jawa yang dulunya mayoritas agraris, mempunyai banyak waktu luang untuk mengotak-atik apa yang terjadi disekelilingnya, termasuk budaya bahasa. Barangkali hanya di Jawa kita mempunyai nama-nama yang lengkap khusus untuk anak-anak binatang. Kita mengenal anak anjing disebut kirik, anak sapi pedhet, anak kerbau gudel, anak kuda belo, anak harimau gogor, anak kucing cemeng, anak burung piyik, anak ayam kuthuk dstnya. Bahasa Indonesia hanya mengenal satu kata “malu”, digunakan untuk ungkapan rasa bersalah karena telah berbuat tidak sepatutnya terhadap orang lain atau takut ditertawakan orang lain. Bahasa Jawa mengenal beberapa istilah : isin atau lingsem (takut ditertawakan orang lain), sungkan atau rikuh (takut merepotkan orang lain), klincutan (malu, misalnya karena datang terlambat), wirang (malu karena telah berbuat hal yang tidak senonoh).

Berikut beberapa kausa kata bahasa Jawa yang susah dicarikan penggantinya yang pas dalam satu kata bahasa Indonesia: Cotho, tidak bisa mengerjakan sesuatu karena ada peralatan yang hilang. Misalnya kita akan memperbaiki sepeda yang rusak, tetapi ada salah satu kunci pas yang hilang sehingga kita tidak bisa berbuat apa-apa. Bisa juga berarti repot. Sering kita mendengar orang mengeluh: Wah cotho, Iyah(pembantu RT) mudik nggak pulang-pulang. Prigel, mampu mengerjakan beberapa tugas sekaligus secara cepat dengan hasil yang baik. Prigel ini tingkatannya lebih tinggi dari terampil. Merak ati, ini berlaku untuk wanita yang dari segi penampilan menarik untuk dipandang. Merak ati tidak harus cantik, barangkali istilah Inggrisnya yang lebih tepat charming. Dalam sastra Jawa sering kita membaca: Merak ati eseme ngujiwat. Wah, yang ini lebih susah lagi mengalihkannya kedalam bahasa Indonesia. Gandhes, masih berhubungan dengan wanita yang dari tingkah laku serba luwes dan menarik. Cucuk, ini sebetulnya ada padanannya, yaitu “sepadan” antara hasil dengan pengorbanan. Namun diantara orang Jawa lebih senang menggunakan istilah cucuk.

Beberapa contoh lain : Ingah-ingih, penampilannya agak malu-malu seperti yang kurang percaya diri (PD). Clila-clili, hampir seperti ingah-ingih, tetapi ini karena kurang mengenal medannya. Seperti kalau kita datang sendirian ke undangan atau rapat dan ternyata disana tidak ada yang kita kenal, maka kita merasa clila-clili. Kapiran, tidak ada yang mengurusi sehingga menjadi terlantar. Sembada, kira-kira artinya tanggung jawab dan mampu mencukupi apa yang dibutuhkan. Misalnya kita mengundang teman main ke Jogya, lantas kita katakan :” Sudah jangan kawatir, nanti nginep dan makannya saya yang tanggung.” Gendulak-gendulik, orang yang ragu-ragu mengambil keputusan. Hari ini mengambil keputusan A, tidak lama berselang berubah B. Yang B belum dilaksanakan sudah ganti ke A lagi. Orang Jawa mengatakan: Gendulak-gendulik, apa sida apa ora. Cengengesan, sering ketawa sendiri tanpa alasan yang jelas. Dapat juga berkonotasi negatif, yaitu orang yang kalau diajak bicara tentang suatu hal memberi jawaban yang lain, dengan maksud untuk melucu tetapi tidak pada tempatnya.

Kalau ingin dilanjutkan masih ada beberapa contoh lagi : Jenggirat, tiba-tiba bangun, baik karena kaget atau takut. Awang-awangen, malas melakukan sesuatu karena takut tidak mampu melakukannya dengan baik. Mak jegagik, berhenti melakukan sesuatu karena tiba-tiba ada yang muncul didepan kita. Keblondrok, merasa tertipu, misalnya karena membeli barang tidak ditawar dengan baik sehingga kemahalan. Kemepyar, lepas-lepas, tidak lengket untuk nasi atau rasa segar dibadan sehabis meminum teh atau kopi panas. Kemrungsung, rasa cemas karena takut tidak bisa tepat waktu, misalnya karena mengejar pesawat. Grusa-grusu, berhubungan dengan tingkah laku yang serba buru-buru dan agak kasar. Kudu ngguyu, ingin ketawa sendiri karena ingat sesuatu pengalaman yang lucu.

Mungkin karena dirasa lebih mengena, banyak kata-kata bahasa Jawa yang sudah diadopsi dan diterima sebagai bahasa Inbdonesia. Antara lain : otak-atik, tetek-bengek, mumpung, ketimbang, risi(h), jajal, ampuh, bablas, bludag, brangus, wadhah, (m)entas, misalnya dalam pengentasan, gembar-gembor, gledhah, godhog, kemplang(ngemplang), kinclong. Mungkin kalau dicari di kamus bahasa Jawa, akan lebih banyak ditemukan contoh-contoh lagi. Yang kami uraikan diatas adalah bahasa Jawa versi Solo, untuk Jogya barangkali lain. Dospundi para sutresna basa Jawi? mBok menawi kagungan wawasan sanes? Sumonggo.