Rabu, 13 Mei 2009

Boediono sebagai Wapres; siapa takut?

Teka-teki siapa yang akan mendampingi SBY sebagai Cawapres dalam pilpres Juli mendatang sudah mulai terjawab. Walaupun belum secara resmi diumumkan, namun sudah dapat dipastikan bahwa Boediono akan berduet dengan SBY. Mengapa mengambil calon wapres yang non-partisan? Pasti ini telah melalui pertimbangan yang matang. SBY pasti tidak akan bertindak sendiri tanpa mendengar dari analis dan penasihat politiknya. Pada waktu SBY mengumumkan 5 kriteria Wapres beberapa waktu yang lalu, sebetulnya sudah tersirat bahwa SBY nampaknya tidak mau lagi Wapres yang berasal dari parpol. Jadi intinya, SBY sudah trauma punya wapres yang dari parpol. Hal ini didasari pengalaman selama 5 tahun menggandeng JK sebagai Wapres. JK terkesan kurang loyal, tidak tulus, sering jalan sendiri dan bahkan bak “buah semangka berdaun sirih, aku begini engkau begitu”. Saya sering kasihan sama SBY, dalam beberapa situasi sering kehilangan control terhadap JK.

Ungkapan bahwa “ my loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins” tidak berlaku di Indonesia. Wapres yang berasal dari parpol pasti punya agenda sendiri untuk partainya. Apalagi kalau dia ketua umum dari partai yang besar. Jadi sebetulnya negara ini rugi membayar gaji JK , karena sebagian waktunya dicurahkan untuk Golkar. Bahkan banyak sekali fasilitas negara seperti : transportasi, akomodasi, dan pengawalan yang dinikmati dalam rangka membina partai Golkar.

Mengapa harus Boediono? Kalau saya harus memilih pembantu tentu saya akan memilih orang yang betul-betul dapat bekerja sama dan mendukung program-program saya. Istilah kerennya mempunyai “chemistry” yang sama. Dari segi personality SBY-JK memang tipe yang berbeda. SBY terlalu banyak pertimbangan, JK ingin serba cepat saja. SBY negarawan, JK pedagang. Penunjukkan Boediono yang ekonom handal juga memberi sinyal bahwa SBY, kalau nanti terpilih lagi, akan lebih banyak memberikan perhatian pada masalah-masalah ekonomi. Walaupun sebagian orang mengatakan Wapres adalah jabatan politis, nampaknya SBY ingin nanti Wapresnya tidak terlalu banyak diganggu masalah-masalah politik, tetapi hanya fokus pada soal ekonomi. Dan ini hanya mungin kalau wapresnya dari non-partai.

Yang menarik untuk disimak, mengapa nama Boediono baru mengkristal setelah komunikasi politik antara Demokrat dengan PDIP semakin menguat. Apakah ini bagian dari deal politik dengan SBY kalau PDIP jadi bergabung dengan Demokrat? Jadi PDIP mau berkoalisi dengan Demokrat dengan syarat Wapresnya bukan dari parpol. Karena sebetulnya, dari angka perolehan suara, PDIP yang lebih berhak untuk mendapat kursi Wapres. Tapi Megawati kan nggak mungkin jadi wapresnya SBY, sedang kandidat lain PDIP tidak punya.

Untuk kebaikan bangsa dan negara, pasangan SBY-Boediono saat ini adalah pasangan yang terbaik. Namun bukan berarti tanpa kritik. Kedua-duanya mempunyai leadership style yang kurang lebih sama, lamban dalam mengambil keputusan. SBY terlalu banyak pertimbangan, Boediono terlalu low profile. Negara kita ini masih belum keluar benar dari krisis. Masalah kemiskinan, kesempatan kerja, utang luar negri masih merupakan problem utama negara kita. Diperlukan pemimpin yang berani dan cepat dalam mengambil keputusan. Diperlukan kepemimpinan yang lebih mak joss.