Walaupun mereka mungkin masih berasal dari satu bangsa, tapi masing-masing membawa nilai-nilai, tatanan, adat-istiadat dan kebiasaan keluarga yang berbeda. Orang Sunda ketemu orang Jawa, orang Solo yang serba halus dipersunting orang Batak, orang Bali kawin dengan orang Padang. Belum lagi perkawinan dari pasangan yang berbeda agama, atau beda bangsa.
Jadi dari kacamata psikologi, yang lebih wajar sebetulnya ikatan perkawinan ini akan putus ditengah jalan, karena adanya berbagai perbedaan diatas. Satistisk perceraian di Amerika menunjukkan bahwa pasangan yang usia perkawinannya bisa mencapai tahun ke 5, 10, dan 15 masing-masing adalah: 82%, 65% dan 52%. Artinya, satu dari setiap lima perkawinan berakhir dengan perceraian sebelum melewati tahun ke lima. Kemudian satu dari setiap tiga perkawinan bisa mencapai tahun ke 10, dan hanya satu dari dua perkawinan yang dapat sampai berusia 15 tahun. Di Indonesia belum ada angka-angkanya, namun nampaknya tren-nya semakin meningkat, khususnya dikalangan artis atau pasangan yang bekerja (working couples).
Menurut Dirjen Bimas Islam Departemen Agama, Nazarudin Umar, Indonesia berada diperingkat tertinggi yang memiliki angka perceraian paling banyak dalam setiap tahunnya, dibandingkan negara Islam didunia lainnya. Tulisan singkat ini berusaha membahas: Apa yang dapat membuat suatu perkawina berlangsung lama, langgeng dan tetap harmonis?
Pertunangan: perlu atau tidak?
Ada silang pendapat mengenai perlu atau tidaknya pertunangan. “Tunangan itu perlu. Buat penjajakan sebelum nikah. Kalo nggak cocok ya putus saja. Lebih mudah putus tunangan daripada cerai setelah menikah,” kata seorang wanita. “Nggak usah pakai tunangan. Biar kata udah nikah, ada anak segala, kalo emang udah nggak bisa diselamatkan ya divorce,” kata wanita lainnya lagi. “Mau pakai engagement atau langsung married, masalahnya ada nggak niat untuk me-manage hubungan? Masa sih nikah buat bercerai? Lantas buat apa kita pacaran serius?” wanita lainnya menimpali.
Sebelum memasuki gerbang perkawinan, umumnya prosesnya adalah perkenalan, saling tertarik, pacaran dan dilanjutkan ke pertunangan. Masa pertunangan sebetulnya dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada kedua belah fihak untuk saling mengenal pribadi masing-masing dan menyesuaikan atau memperkecil (fine-tuning) perbedaan-perbedaan yang ada diantara mereka. Bahkan di negara-negara Barat yang nilai-nilai moralnya sangat longgar, pada masa pertunangan kedua pasangan sudah hidup bersama satu rumah, sebagaimana layaknya suami istri. Kalau demikian tujuan petunangan, maka logikanya semakin lama masa pertunangan tentunya akan semakin berhasil suatu perkawinan. Gejolak dan kejutan-kejutan yang muncul sebagai akibat perbedaan nilai, kebiasaan, kepribadian, diharapkan sudah tidak ada lagi. Nampaknya tidak selalu demikian.
Dalam masa pertunangan, walaupun kedua belah fihak telah berusaha untuk saling terbuka, namun tetap ada sisi-sisi pribadinya yang tidak seluruhnya terungkap kepada pasangannya. Menurut teori Joharry window, tidak semua jendela pribadi kita dapat dilihat oleh pasangan kita. Masing-masing berusaha menyenangkan pasangannya dengan menutupi kekurangannya. Kalau ceweknya penggemar berat lagu dangdut, padahal cowoknya tidak suka, maka si cowok masih berpura-pura menyenangi lagu dangdut. Kalau cowoknya suka makan pete, padahal ceweknya paling nggak tahan bau pete, maka si cewek masih berpura-pura bilang "ah nggak apa-apa". Dalam masa pertunangan semua yang dilakukan pasangannya tampak indah. Lagu yang selalu dinyanyikan adalah "disini senang disana senang".
Jadi walaupun pertunangan memang diperlukan untuk saling menyesuaikan diri, namun lamanya masa pertungan tidak menjamin langgengnya suatu perkawinan. Setelah memasuki dunia perkawinan perbedaan-perbedaan yang selama ini tidak kelihatan, muncul semua. Kepribadian aslinya keluar semua. Lagunya akan berubah menjadi : "Buah semangka berdaun sirih, aku begini engkau begitu."
Apa peran cinta?
Untuk generasi kita, umumnya perkawinan dilandasi oleh cinta. Ada juga beberapa kasus dimana perkawnan tidak didasari cinta, misalnya karena dijodohkan, atau terpaksa karena sudah terlanjur tua daripada tidak kawin. Pertanyaannya: Perlukah cinta dalam menjalin hubungan suami istri dan membina rumah tangga ? Jawaban yang diterima biasanya adalah “perlu, bahkan mutlak!”. Tetapi sebagian antropolog berpendapat “penelitian terhadap sekian banyak masyarakat primitive membuktikan masyarakat tersebut tidak mengenal apa yang kita namakan cinta”. Tidak usah jauh-jauh, orang-orang tua kita dari generasi sebelum tahun 50-an banyak yang perkawinannya dijodohkan, jadi tanpa melalui proses cinta. Perkawinan ini langgeng, jarang sekali ada perceraian terjadi di perkawinan-perkawinan lama. Barangkali falsafahnya : lebih baik mencintai orang yang dinikahi daripada menikahi orang yang kita cintai."
Dikelompok etnis tertentu, seperti warga keturunan Arab, perkawinan diusahakan terjadi didalam kelompoknya. Laki-laki Arab masih bisa kawin dengan perempuan non-Arab, tetapi untuk perempuannya harus kawin dengan sesama Arab. Jadi, disini tidak ada kebebasan untuk memilih jodohnya atas dasar cinta.
Apakah perkawinan yang dilandasai cinta lebih awet dibanding dengan perkawinan tanpa cinta? Belum ada penelitiannya. Mungkin ya, tetapi sekali lagi, cinta saja tidak menjamin langgengnya suatu perkawinan. Dari pasangan-pasangan yang berakhir dengan perceraian, sering terdengar ungkapan: "sebetulnya saya masih cinta, tapi nampaknya perbedaan diantara kita sudah tidak dapat dikompromikan lagi". Jadi, cinta yang begitu kuat dan mendalam tidak bisa menghilangkan adanya perbedaan.
Daya tarik fisik.
Tidak bisa dipungkiri bahwa cinta diawali dengan ketertarikan fisik. Semua orang senang melihat dan memiliki sesautu yang indah dan cantik. Setiap orang ingin mempunyai istri/suami yang cantik/cakap, walaupun kecantikan itu relatif untuk masing-masing orang. Pepatah mengatakan "beauty is in the eyes of the beholder", atau kecantikan itu tergantung dari siapa yang melihatnya. Salah satu kebutuhan dasar wanita adalah ingin tampil cantik. Wanita, dalam situasi apapun, ingin selalu tampak cantik dan menarik. Segala macam cara tersedia untuk membuat wanita tampil cantik. Mulai dari bedah plastik, vermaak hidung, sedot lemak, pasang susuk semuanya ada, asal kuat bayarnya. Di Amerika pernah ada suatu penelitian, pada masa resesi ekonomi salah satu industri yang tidak terpengaruh adalah industri kosmestik. Artinya, walaupun dalam keadaan ekonomi sulit wanita berusaha untuk tetap tampil menarik.
Wanita juga ingin kelihatan cantik dimata suaminya. Tentu harapannya agar suami tetap sayang, betah dirumah dan tidak melirik wanita lain. Memang ada benarnya. Suami mana yang betah dirumah kalau setiap hari lihat istrinya awut-awutan, nggak menjaga badannya, nggak pernah dandan. Tetapi kecantikan saja tidak menjamin sang suami tetap setia dengan satu istri. Banyak suami-suami yang istrinya cantik-cantik tetap saja selingkuh. Ada ibu-ibu yang tiap tahun operasi plastik suapaya tetap cantik, masih saja ditinggal suaminya pacaran. Tamara Brezenky, Sofia Lajuba, Dewi Sandara, Halimah, kurang apa cantiknya. Toh perkawinannya juga kandas ditengah jalan. Mungkin diperlukan lebih dari sekedar kecantikan fisik untuk mempertahankan langgengnya perkawinan. Istilahnya sekarang "inner beauty" atau kecantikan yang memancar dari dalam.
Bagaimana dengan anak-anak?
Kehadiran anak sangat diantikan oleh semua pasangan. Saya kira ini sangat universal dan manusiawi, walaupun di negara-negara Barat ada juga aliran yang mau kawin tapi tidak mau punya anak. Suami istri mulai gelisah dan cemas, (termasuk kedua orang tua) setelah perkawinan berlangsung empat atau lima tahun tetapi belum juga dikarunia anak. Banyak pasangan yang harus bercerai dengan alasan tidak punya anak. Suami kawin lagi karena ingin punya keturunan. Biasanya yang selalu disalahkan fihak wanita, yang dianggap tidak bisa memberi keturunan. Sebetulnya kalau yang diinginkan adanya kehadiran anak-anak, masih ada jalan keluarnya. Misalnya dengan mengambil anak angkat.
Lantas, kalau sudah punya anak banyak tentunya tidak akan bercerai, kalau anak merupakan salah satu tujuan perkawinan. Banyak perceraian tetap saja terjadi walaupun sudah dikaruniai anak banyak. Memang faktor adanya anak menjadi salah satu pertimbangan yang paling berat sebelum memutuskan untuk bercerai. Tetapi adanya anak-anak tidak menjamin bahwa perceraian tidak akan terjadi. Adanya anak tidak menghilangkan perbedaan yang ada diantara suami istri.
Sumber konflik
Adanya perbedaan-perbedaan diatas apabila tidak dikelola dengan baik akan menjadi sumber konflik dan dapat memicu perselisihan antar suami istri. Ketidaksepahaman dapat terjadi untuk masalah-masalah :
- Masalah keuangan, termasuk cara memperoleh dan membelanjakan penghasilan keluarga.
- Lingkungan pergaulan dan pertemanan suami atau istri. Suami yang dididik dengan aturan moral dan agama yang ketat, tidak bisa menerima pergaulan istri yang terlalu bebas diluar.
- Pendidikan anak-anak, misalnya dalam pemilihan sekolah ataupun cara medisiplinkan anak-anak.
- Persoalan hubungan dengan keluarga besar istri atau suami, seperti mertua yang terlalu ikut campur, saudara-saudara atau ipar yang terlalu sering minta bantuan dls.
- Persoalan pemilihan kegiatan rekreatif, minat terhadap kegiatan diluar rumah antar suami dan istri.
- Persoalan pembagian tigas domestik dan non-domestik antar pasangan.
- Aktivitas tertentu atau hobi dari salah satu pasangan yang tidak disukai oleh suami/istri. (minuman keras, judi, narkoba)
Mengelola perbedaan
Jadi, dapat disimpulkan masa pertunangan, rasa cinta yang mendalam, daya tarik fidik, dan kehadiran anak-anak tidak akan menghilangkan adanya perbedaan antar pasangan. Perbedaan bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk dikelola dengan seksama. Perbedaan itu indah karena membentuk berbagai corak dan warna dalam suatu sinergi yang serasi. Cara mengelola perbedaan ialah dengan mencoba menghargai dan memahami cara berfikit fihak lain. Kita harus sadar bahwa istri atau suami adalah orang lain, dan akan tetap menjadi orang lain sampai kapanpun. Dalam berkomunikasi kita harus selalu mencoba menempatkan diri kita sebagai istri/suami kita untuk memahami mengapa dia berpendapat demikian atau mengambil tindakan tersebut. (put on someone else's shoes) Komunikasi harus dilandasi kesetaraan, kejujuran, saling percaya dan menganggap istri/suami kita sebagai bagian dari team work. Dengan berjalannya perkawinan, diantara kedua belah fihak akan timbul rasa saling toleransi dan menghargai. Kunci dari kekalnya perkawinan adalah saling toleransi, saling menghargai dan memahami satu sama lain.