Teori PPP ini sering dikatakan kontroversial dan tidak realistis karena menuntut beberapa asumsi yang sulit dipenuhi. Asumsi-asumsi tersebut antara lain, barang-barang di dua negara tersebut bebas diperdagangkan, tidak ada biaya transport , tidak ada pajak ekspor atau bea massuk, tidak ada quota. Apabila asumsi-asumsi diatas dihilangkan maka harga dua barang yang serupa antara dua negara tidak harus sama apabila diukur dengan common currency. Perbedaan tersebut mencerminkan pengaruh biaya transport, tarif bea masuk , pajak ekspor dls. Didalam perkembangannya kita mengetahui banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai tukar, seperti tingkat inflasi, tingkat bunga, permintaan dan penawaran, ekspektasi, campur tangan pemerintah dls. Walaupun teori PPP ini nampaknya tidak realistis namun bukan berarti tidak ada manfaatnya. Coba kita lihat beberapa ilustrasi berikut.
PPP dan tingkat kemakmuranSeorang lulusan MBA di
Majalah Asia Week (AW) secara berkala menghitung Gross National Product (GNP) atau penghasilan per capita masing-masing negara baik dalam nominal term (nilai nominal) maupun Gross Domestic Product (GDP) dalam PPP term (nilai PPP), dengan menggunakan Amerika Serikat sebagai acuan perbandingan paritas daya beli. GDP adalah nilai seluruh barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara dalam periode satu tahun, sedang GNP adalah GDP ditambah penerimaan dari hasil` investasi dan tenaga kerja di luar negri dikurangi pembayaran-pembayaran untuk tenaga asing.
Didalam majalah AW edisi 2 Maret, 2001, Indonesia dihitung mempunyai penghasilan per capita dalam nilai nominal U$ 617 dan GDP dalam nilai PPP U$2,685. Artinya apa ? Artinya, karena harga barang-barang dan biaya hidup di Indonesia relatif jauh lebih murah daripada AS, maka daya beli U$617 di Indonesia sama dengan daya belinya uang sebanyak U$2,685 di AS. Atau dengan perkataan lain rakyat Indonesia yang pendapatan per capita-nya U$617 tingkat kemakmurannya sepadan dengan rakyat Amerika yang penghasilannya U$2,685.Begitu pula Cina yang mempunyai GNP U$783 dalam nilai nominal, dalam nilai PPP sama dengan U$3,291. Sebaliknya Jepang yang GNP-nya sebesar U$34,725 dalam nilai nominal, dalam nilai PPP-nya hanya sebesar U$23,780. Sama halnya dengan Swiss yang berpenghasilan per capita U$37,748, dalam PPP-term hanya bernilai U$26,420. Ini membuktikan di ke dua negara tersebut (Jepang dan Swiss) biaya hidupnya jauh lebih tinggi apabila dibanding dengan Amerika Serikat. Mr. Matsusawa, pejabat Sanwa Bank setingkat general manager yang pernah diperbantukan di BRI, mengatakan dengan gajinya saat itu dia tidak mampu untuk tinggal di Tokyo. Eksekutif Amerika yang ditempatkan di Jepang umumnya akan menuntut semacam tunjangan kemahalan. Berikut kami cuplikkan daftar penghasilan per capita dari beberapa negara baik dalam nilai nominal maupun dalam nilai PPP.(Gambar 1)
Gambar 1.Negara | GDP per capita PPP | GNP per capita nominal |
Jerman | U$22,623 | U$25,488 |
Jepang | U$23,780 | U$34,715 |
Perancis | U$21,897 | U$24,018 |
Cina | U$3,291 | U$783 |
Korea Selatan | U$14,086 | U$8,581 |
Singapura | U$25,353 | U$22,710 |
Malaysia | U$8,513 | U$3,248 |
Muangthai | U$5,757 | U$1,949 |
Swiss | U$26,420 | U$37,748 |
Vietnam | U$1,755 | U$370 |
Indonesia | U$2,685 | U$617 |
Sumber : ASIAWEEK, 2 Maret 2001.
Trainee CS Sarjana di BRI pada waktu pertama kali masuk menerima uang saku dan tunjangan-tunjangan sebesar kurang lebih Rp1,3 juta perbulan. Untuk trainee yang ditempatkan di Jakarta mungkin menerima sedikit lebih banyak dibanding dengan trainee yang di daerah karena perbedaan besarnya sumbangan biaya pengangkutan. Kita asumsikan masing-masing trainee menerima remunerasi yang persis sama tidak perduli dimana dia melaksanakan job-training. Jadi Arman yang ditempatkan di DKI akan menerima penghasilan yang sama dengan Budi yang melaksanakan job-training di Wonosari. Bagi Arman uang Rp1.000,- nilainya tidak lebih sekedar ongkos sekali parkir, sedang bagi Budi uang tersebut bisa berarti satu kali sarapan pagi berupa nasi pecel atau nasi soto ditambah teh ginastel (legi-panas-kentel). Untuk sewa kamar Arman mungkin harus keluar Rp250.000 per bulan, sedang bagi Budi cukup Rp50.000. Karena adanya dis-paritas daya beli antara Wonosari dan Jakarta maka Budi akan jauh merasa lebih makmur daripada Arman walaupun penghasilan keduanya sama. Satu tahun setelah selesai job-training saya yakin tabungan Britama-nya Budi jauh lebih besar daripada Britama-nya Arman. Bagi Arman jangan buru-buru demo atau protes. Sabaar, kita lihat apakah setelah lulus training dan diangkat menjadi pegawai sistem kompensasinya masih sama atau berbeda.
Struktur gaji di BRI terdiri dari gaji pokok ditambah tunjangan konjungtur, tunjangan perusahaan dan beberapa tunjangan lainnya. Tunjangan konjungtur adalah suatu instrumen dalam sistem penggajian yang digunakan untuk meningkatkan daya beli dari penghasilan yang diterima karyawan sehubungan dengan peningkatan biaya hidup dan inflasi. Sepanjang keuangan perusahaan memungkinkan tunjangan konjungtur akan selalu ditinjau secara periodik. Disamping tunjangan konjungtur, di BRI juga dikenal adanya tunjangan khusus wilayah (TKW) sebagai upaya untuk mengurangi dis-paritas daya beli antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Daerah Batam mungkin biaya hidupnya lebih tinggi daripada Jakarta sehingga perlu diberi TKW lebih besar daripada TKW Jakarta, atau Jakarta lebih tinggi daripada DIY Yogyakarta, Jayapura lebih mahal daripada Jakarta dst. Mungkin saat ini perhitungannya belum pas benar, tetapi dengan pengkajian terus-menerus ke lapangan akan diperoleh perhitungan TKW yang mendekati realita.Jadi disamping ada mekanisme untuk meningkatkan daya beli juga ada upaya untuk menyamakan paritas daya belinya. Salut kepada Divisi SDM yang telah berfikir jauh, tidak hanya memikirkan purchasing power (PP) tetapi juga telah mempraktekkan PPP theory. Bagaimana dengan pensiunan ? Bagi pensiunan mungkin tidak terlalu muluk-muluk untuk mengharapkan penggunaan konsep PPP, cukup kalau PP-nya sering-sering ditinjau sehingga daya belinya tidak semakin merosot dari tahun ke tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar