Rabu, 29 April 2009

Can you leave home without HP?

Telpon seluler, atau lebih sering disebut dengan HP, mulai masuk di Indonesia awal tahun 90-an. Saya mulai pakai tahun 92, ketika menjabat sebagai Pinwil BRI Surabaya. Itupun inventaris kantor, karena harganya masih mahal sekali, sampai Rp17 jutaan. Saya baru beli HP sendiri sekitar akhir tahun 95. Sekarang semua orang punya HP, termasuk tukang sayur, tukang ojek, sampai ke kuli bangunan. Dulu sebelum ada HP hidup sebetulnya lebih teratur dan terencana. Kalau kita misalnya, dari Surabaya akan ke Jakarta dan minta dijemput di Jakarta, maka sejak sebelum berangkat sudah harus memberi instruksi lengkap tentang jam berapa mendarat, diterminal mana, dengan pesawat apa dsbnya. Sesudah itu hampir tidak ada komunikasi lagi. Jadi, kalau ada keterlambatan pesawat atau perubahan jadwal, sering penjemput harus menunggu berjam-jam di terminal.
Sekarang dengan mudahnya berkomunikasi dengan HP, orang banyak yang menganut filsafat “gimana nanti” aja. Toh ada HP, nanti gampang sambil jalan bisa dihubungi. Misalnya, kita ada janji makan siang dengan relasi di restoran A. Ternyata karena suatu hal harus pindah ke restoran B, maka dengan mudah kita bisa merubahnya tanpa terlalu merepotkan partner makan siang kita. Nyonya rumah dalam perjalanan pulang ingin belanja dulu di Carrefour. Sesampai di supermarket baru nelpon si Iyem, sang PRT, untuk mengecek apa-apa saja persediaan di rumah yang sudah habis. Toh si Iyem juga punya HP. Di era tehnologi informasi ini keberadaan HP memang membuat hidup ini semakin nyaman dan mudah. Hampir tidak terbayang kita pergi keluar rumah tanpa membawa HP.
Sekarang tersedia berbagai macam HP, dari mulai yang sederhana sampai yang canggih sekali. Dari yang hanya bisa untuk telpon dan SMS saja, sampai yang bisa akses internet dan membuka facebook. Hargapun mengikuti tingkat kecanggihannya. Semakin banyak fitur yang tersedia semakin mahal harganya. Namun tidak semua orang bisa mencerna tehnologi telpon seluler. Teman saya ada yang sampai sekarang tidak bisa membalas SMS. Bahkan untuk menelponpun harus melihat ke buku kecil yang berisi daftar no telpon, walaupun di HP-nya tersedia fasilitas phonebook. Teman saya yang lain membeli Nokia Communicator, yang waktu itu lagi ngetren sekali. Suatu hari saya mengirim SMS tapi tidak ada respons, walaupun di menu report sudah ada pesan “delivered”. Ketika keesokan harinya saya tegor mengapa SMS saya tidak dibalas, denga tenang dia menjawab: “Wah saya tidak diberitahu, pembantu saya kan tidak ada dirumah kemarin.” Wah saya langsung nangkap kalau dia memang hanya bisa beli saja tetapi nggak tahu cara pakainya. Apa hubungannya SMS dengan pembantu rumah tangga.
Sekarang keluar HP merk BlackBerry (BB) yang bisa uuntuk mengakses internet, bahkan bisa untk komunikasi via Facebook atau Yahoo Messenger. Sebetulnya HP ini didesain untuk mereka yang sifat pekerjaaannya sangat mobil tetapi perlu secara terus menerus di update dengan info2 atau file-file dari kantornya. Bukan untuk sekedar bisa chating via facebook (FB). Tetapi nampaknya tidak sedikit yang membeli BB ini hanya sekedar untuk bisa main FB. Jadi agar tidak ketinggalan jaman. Kalau benar, ini suatu lifestyle yang mahal sekali. Ini adalah ciri masyarakat yang “snobist”.
Akhir-akhir ini saya sering lupa membawa HP. Mula-mula terasa ada yang kurang, tetapi lama-lama biasa juga. Mungkin karena saya sudah pensiun dan kegiatan saya tidak terlalu banyak. Sekarang kalau saya pergi main golf sengaja tidak membawa HP. Atau, kalau sudah terlanjur membawa, biasanya saya tinggal di locker supaya tidak mengganggu konsentrasi permainan saya. Bagaimana dengan anda? Pernah mencoba sekali-sekali pergi tanpa HP?

Senin, 27 April 2009

Tidak usah malu-malu, Golkar rujuk lagi saja dengan Demokrat

Partai Demokrat(PD) untuk saat ini resmi bercerai dengan Golkar, tapi belum sampai ke talak 3. Jadi masih mungkin sekali rujuk kembali, tanpa harus melalui perkawinan sela. Kesepakatan politik koalisi SBYdengan JK(Golkar) tidak mencapai titik temu. SBY mau dan membutuhkan Golkar untuk membentuk pemerintahan yang kuat, tapi tidak mau lagi berduet dengan JK. Sedang Golkar ngotot mengusung JK sebagai pendamping SBY untuk posisi RI 2. Setelah ditolak SBY, JK mencoba melakukan pendekatan ke PDIP untuk alternatif koalisi. Tapi sayang, langkah inipun juga tidak membuahkan hasil. Megawati nampaknya sudah semakin mesra dengan Prabowo dan sudah bulat niatnya untuk menggandeng Prabowo sebagai Cawapres. PDIP memang masih bersedia koalisi dengan Golkar, tetapi dalam kerangka membentuk pemerintahan yang kuat, bukan dalam masalah Capres-Cawapres. Prabowo sudah merupakan harga mati utnuk mendampingi Megawati. Jadi peluang JK untuk menjadi Cawapres-pun tidak ada.

Kalau pasangan Mega-Prabowo ini nanti jadi maju dalam Pilpres mendatang, akan merupakan lawan yang berat bagi SBY. Dalam waktu relatif singkat kepopuleran dan akseptabilitas Prabowo cukup tinggi. Mesin kampanyenya sangat kuat dan program-program kampanye digarap dengan baik dan terarah. Dikalangan pemilih muda Gerindra berhasil menciptakan “political awareness”. Tidak salah kalau Mega memilih mantan Danjen Kopassus ini.

JK maju sendiri?

Alternatif yang tersedia kalau JK ingin terus maju sebagai Capres, ya maju sendiri sebagai poros ke 3. Karena perolehan suaranya kurang dari 20 %, berarti Golkar harus koalisi dengan partai lain. Dengan siapa? Yang belum secara resmi menyatakan arah koalisinya tinggal PAN, PPP dan PBB. PAN sudah dapat dipastikan akan bergabung dengan kubu SBY, tinggal menunggu pernyataan resmi Sutrisno Bachir setelah bertemu dengan Amin Rais nanti. PPP masih diam saja, menunggu sampai koalisi yang terbentuk semakin mengkristal. Tapi saya kira PPP tidak akan mau bergabung dengan Golkar selama calon presidennya masih JK. Jadi kemungkinan besar PPP akan bergabung dengan PD. Apalagi PPP sudah menikmati hasil koalisi yang lalu, dengan cukup banyaknya kader-kader PPP yang mendapat posisis penting di pemerintahan SBY. Untuk PBB, perolehan suaranya kecil sekali, jadi bisalah diabaikan. Kasihan juga kalau melihat Golkar(JK) sebagai partai besar harus mengemis kesana-sini untuk mencari pasangan. Coba perhatikan, kalau Golkar ingin melakukan PDKT ke PDIP, JK sendiri yang harus datang ke Teuku Umar (Mega). Sebaliknya kalau PDIP ingin melakukan komunikasi politik dengan Golkar, hanya menyuruh Taufik Kiemas(TK) dengan Puan Maharani. Sebetulnya ketua PDIP itu Mega atau TK

Rujuk lagi dengan Demokrat ?

Melihat situasi diatas, nampaknya tidak ada jalan lain bagi Golkar kecuali kembali rujuk dengan Demokrat. Ini kalau masih mengincar kursi RI 2. Tidak usah malu-malu. Ingat, dunia politik itu tidak mengenal rasa malu, gengsi, harga diri atau integritas. Yang ada hanya kepentingan, kesempatan dan pragmatisme. PD dan Golkar saling membutuhkan. Petinggi-petinggi kedua partai perlu bicara lagi dengan kepala dingin dan tidak emosional. Tapi yang jelas Golkar jangan coba-coba mengajukan JK sebagai Cawapres. Masih ada 2 nama yang potensial, Akbar Tanjung(AT) dan Sultan X. Kedua-duanya bersedia menjadi Wapres. Kalau harus memilih saya lebih condong ke AT. AT pengalaman politik dan birokrasinya sangat kaya. Disampaing itu duet Jawa-Non-Jawa kayanya lebih bisa diterima oleh seluruh rakyat Indonesia. Masih ada waktu sampai 9 Mei nanti. Politik itu cair sekali, segalamya masih bisa berubah.

Jumat, 24 April 2009

Sesudah SBY-JK bercerai

Tanda-tanda SBY tidak mau berduet lagi dengan JK terlihat ketika SBY mengumumkan kriteria untuk menjadi Cawapres. Disitu disebutkan bahwa Wapres mendatang harus bukan Ketua Umum suatu partai. Ketika tim perunding Golkar tetap mengajukan JK sebagai calon tunggal Wapres, Parta Demokrta menrespons dengan meminta agar Golkar mengajukan lebih dari 1 nama. Nah ini tambah jelas lagi kalau SBY sudah tidak mau lagi dengan JK.
Mengapa SBY tidak mau lagi dengan JK, ini menarik untuk dikaji. Rupanya selama hampir 5 tahun ini SBY ibaratnya memelihara anak macan, setelah besar tetap saja menggigit tuannya. JK dinilai sering mengambil langkah-langkah yang melampaui kapasitasnya sebagai Wapres. Rakyat menilai JK buakan saja tidak dapat bekerja sama dengan SBy, tetapi juga terkesan tidak loyal dan tidak tulus, Kata pepatah, bagaikan api dalam sekam atau sering menggunting dalam lipatan.
Setelah ditolak SBY, nampaknya JK tersinggung sehingga dia memutuskan untuk maju sendiri sebagai Capres. Kelihatannya ini sebagai keputusan partai, tetapi sebetulnya bukan. Ini lebih banyak didiorong reaksi emosional JK yang didukung sebgian kecil pimpinan Golkar. Sebagian petinggi Golkar yang lain tetap menghendaki Golkar berkoalisi dengan PD. Kalau Jk tidak dapat diterima SBY, ya ajukan calon lain. Menurut saya sebetulnya masa keemasan JK sudah beralhir, baik sebagai Wapres maupun sebagai Ketua Umum Golkar. Ada tuntutan untuk menyelenggarkan Munaslub, dengan salah satu agenda meminta pertanggungan jawab JK mengenai kekalahan Golkar dalam Pemilu 2009.
Untuk maju sebagai Capres Jk jelas harus berkoalisi dengan partai lain. Golkar merapat lagi dengan PDIP. Tetapi Golkar juga harus realistis, kalau menggandeng PDIP apa tetap ngotot mau jadi Presiden, karena Mega sudah jauh-jauh hari menyatakan mau maju sebagai Capres. Lantas, kalau menerima posisi sebagai wapres terus Prabowo dikemanakan. Kalau Mega akan mengambil JK sebagai Wapres, sudah hampir pasti Prabowo akan keluar dari kubu PDIP. Jadi, Mega harus memilih antara JK dengan Prabowo. Suatu pilihan yang tidak mudah. Untuk membentuk pemerintahan yang kuat , baik disisi eksekuitf maupun legislatif, Mega memerlukan Golkar. Tetapi untuk memenangkan Pilpres figur JK kurang menjual. Prabowo akseptabilitasnya lebih tinggi. Disampihg itu Prabowo mesin kampanyenya kuat sekali. Harus saya akui selama Pemilu ini kampanya yang saya nilai paling terarah dan efektif adalah dari Gerindra, khususnya yang menggunakan media masa.
Jadi, kalau Mega tetap akan mengambil JK sebagai pendamping, maka slkenarionnya kira-kira Prabowo akan maju sendiri sebagai Capres menggandeng Hanura, PBB dan partai-partai kecil lainnya. Jadi kira-kira akan ada 3 pasang Capres-Cawapres. Pemilu ini terlalu mahal dan melelahkan, Kita berharap Pilpres nanti cukup satu putaran saja.

Jumat, 17 April 2009

Tidak ada nurani, harga diri, dan integritas dalam politik

Didalam politik tidak ada yang namanya hati nurani, harga diri, integritas, kawan sejati, atau musuh sejati. Yang ada adalah kepentingan, oportunitas dan pragmatisme. Yang mempunyai ideologi atau idealisme hanyalah konstituen yang setia saja. Di kalangan elite politik semuanya itu tidak ada. Karena ujung-ujungnya adalah perebutan kekuasaan. So, the name of the game is “Power”. Jadi dinamika politik bisa sangat cepat berubah, tergantung perubahan kepentingan dan oportunitas yang muncul.
Baru bulan lalu JK menyatakan akan maju sebagai Capres dari Golkar untuk melawan SBY. Langkah ini sebetulnya agak emosional, terprovokasi pernyataan Ahmad Mubarok, petinggi Partai Demokrat, yang memandang rendah kemampuan perolehan suara Golkar di pemilu 2009. Pada waktu itu Golkar juga sangat optimis masih bisa unggul dalam Pemilu 2009, seperti yang dialami dalam Pemilu 2004. Ternyata perolehan suara Golkar merosot drastis, sehingga tidak mungkin Golkar maju sendiri mengusung JK sebagai Capres. Disini Golkar harus realistis dan perlu menimbang lagi apa masih akan maju (baik sebagai Cawapres atau Capres) melawan SBY atau kembali berduet dengan SBY. Apapun pilihannya Golkar harus berkoalisi dengan partai-partai lain.
Pilihan pertama nampaknya jatuh ke PDIP. Namun JK harus bersedia sebagai Cawapres, karena Megawati sudah jelas akan maju sebagai Capres. Tapi disini Golkar juga harus pragmatis, pertama : kalau hanya ingin mengambil kursi Cawapres buat apa koalisi dengan PDIP. Kedua: kalau Mega kalah, posisi Wapres akan hilang. Dengan partai-partai lain nampaknya pilihan semakin sempit. PKS dan PKB jauh-jauh hari sudah mendekat ke Partai Demokrat, Hanura dan Gerindra juga sudah menyatakan satu poros dengan PDIP. Jadi tinggal PPP dan PBB.
Dari daerah-daerah, DPD-DPD Golkar menghendaki agar Golkar tetap maju sendiri dan tidak kembali “rujuk” dengan SBY. Tentunya ini lebih karena pertimbangan harga diri, serta menjaga kehormatan dan integritras partai. Golkar, sebagai partai besar, sekali menyatakan akan maju sebagai penantang SBY harus tetap maju apapun konsekekuensinya. Namun dikalangan elite Golkar tidak demikian pola pikirnya. Dari pertimbangan oportunitas kesempatan Golkar untuk menduduki kursi orang nomer 2 di RI ini hanya kalau bergabung dengan SBY. Dengan tetap berduet dengan SBY, kalau menang, akan banyak posisi di kabinet yang akan diberikan kepada kader Golkar. Di parlemen koalisi partai pemerintah juga akan berusaha supaya pimpinan DPR dan komisi-komisi strategis juga akan jatuh ditangan Golkar. Ini semua adalah masalah interest atau kepentingan.
PKS mengancam akan keluar koalisinya dengan PD kalau JK kembali berduet dengan SBY. Sekali lagi ini juga masalah kepentingan dan oportunitas. Kalau JK kembali berduet dengan SBY maka kans PKS untuk mengajukan kadernya sebagai Cawapres akan hilang.

Jumat, 10 April 2009

Pemilu Legislatif usai, menuju Pilpres 2009

Pemilu Legislatif telah selesai dilaksanakan. Tanpa menunggu hasil perhitungan final KPU, dari berbagai quick count sudah dapat diketahui bahwa Partai Demokrat menduduki nomer 1 dalam perolehan suara. Apa arti kemenangan Partai Demokrat ini? Ini adalah pesan yang sangat jelas bahwa rakyat menghendaki agar Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tetap diberi kepercayaan sebagai presiden untuk 5 tahun lagi. Logikanya sederhana, supaya SBY bisa maju lagi dalam Pilpres mendatang kita berikan suara sebanyak-banyaknya ke Partai Demokrat.

Dengan perolehan suara sebesar 20 % lebih, SBY sebetulnya bisa maju sendiri sebagai Capres tanpa dukungan partai-partai lain. Tetapi untuk kestabilan politik dimasa mendatang SBY perlu berkoalisi dengan partai lain. Koalisi bukan hanya sekedar untuk mencari Cawapres, tetapi juga untuk membentuk pemerintahan yang kuat mengingat sangat dominannya peran DPR di stelsel ketatanegaraan kita sekarang ini. Artinya, hasil koalisi ini nantinya juga akan membuat pemerintah kuat di DPR.

Koalisi dengan siapa?

Untuk membentuk pemerintahan yang kuat ada dua partai besar yang sangat efektif untuk digandeng, yaitu : PDIP dan Golkar. PDIP jelas tidak mungkin karena kubu Megawati nampaknya sudah patah arang dan menyatakan SAY NO TO SBY, dan memilih lebih baik jadi oposisi daripada berkoalisi dengan SBY. Jadi, pilihan tinggal pada Golkar. Golkar adalah partai yang sangat berpangalaman dan mempunyai infrastruktur politik dan birokrasi yang kuat sampai ke daerah-daerah. Jelas SBY membutuhkan Golkar, walaupun tidak harus Jusuf Kalla (JK). Perolehan suara Golkar yang berada dibawah PDIP menunjukkan bahwa figur JK ternyata tidak mampu menggaet suara rakyat. Berbeda dengan PDIP yang tidak mempunyai kader-kader pemimpin yang kuat, Golkar kaderisasinya termasuk bagus. Banyak tokoh-tokoh Golkar yang layak memimpin partai yang besar ini maupun layak maju sebagai pemimpin negara ini. Ada Akbar Tanjung, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Sri Sultan X, Agung Laksonso, untuk menyebut beberapa diantaranya. Dari beberapa nama diatas saya pribadi menilai hanya Sri Sultan yang paling pas mendampingi SBY. Tapi Sri Sultan kan juga ingin jadi Presiden. Masalah lain, mungkinkah salah satu figur ini maju sebagai Cawapres mewakili Golkar mengingat JK sudah menyatakan maju sebagai Capres dari partai yang sama.

Kalau Golkar tidak mungkin, maka masih ada PKS, PAN, PPP atau PKB yang bisa diajak koalisi. Tetapi menurut saya tidak Gerindra atau Hanura.

Bagaimana nasib JK?

Sebagaimana SBY, JK-pun perlu berkoalisi dengan partai lain untuk bisa maju sebagai Capres. Apalagi perolehan suara Golkar dibawah 20 %. Beberapa waktu yang lalu, sebelum Pemilu, nampak tanda-tanda pendekatan Golkar-PDIP. Kalau betul-betul JK akan berkoalisi dengan Megawati, sekarang posisi tawar JK tidak kuat lagi mengingat perolehan suara Golkar dibawah PDIP. Jadi JK harus bersedia maju sebagai Cawapres. Kalau hanya sebagai Wapres, mengapa dulu harus pisah dari SBY. Kans untuk tetap jadi Wapres masih tetap besar dengan terus berduet dengan SBY dibanding kalau maju sendiri dengan Megawati. Rakyat sudah merasakan bagaimana Mega memimpin negara ini selama 3 tahun. Menurut saya enough is enough.

Dengan tetap menjadi Wapres-nya SBY kesempatan untuk maju sebagai Capres di tahun 2014 cukup besar(kalau tidak dianggap terlalu tua), mengingat dia tidak harus bersaing dengan incumbent.