Rabu, 26 Desember 2007

Bagaimana kalau petugas KUA tidak datang?

Hari itu Minggu, tanggal 23 Desember 2007, pagi-pagi pukul 7.00 saya dengan nyonya sudah sampai di Jl Permana 27, Cimahi, tempat kediaman calon pengantin wanita (CPW) dimana akan dilangsungkan akad nikah dan resepsi perkawinan keponakan saya, Ramadhoni Cahyoadi. Sebagaimana biasa, saya mendapat tugas mewakili orang tua untuk menyerahkan calon pengantin pria (CPP) dan sekaligus sabagai saksi. Setelah pensiun, saya sering mendapat tugas kalau tidak menyerahkan CPP ya menerima CPW. Menurut jadwal akad nikah akan dilaksanakan pukul 8.00, jadi saya merasa cukup tenang telah datang lebih awal mengingat saya langsung dari Jakarta. Terima kasih kepada tol Cipularang yang membuat waktu tempuh Jakarta-Bandung menjadi semakin pendek. Pukul 7.50 rombongan CPP tiba di tempat kediaman CPW. Namun mengingat petugas dari Kantor Urusan Agama (KUA) belum datang, maka kami seluruh rombongan dipersilahkan untuk menunggu dirumah tetangga sebelah.

Sampai dengan pukul 8.30 belum ada tanda-tanda petugas KUA akan datang. Oleh pengatur acara dari tuan rumah diputuskan untuk memulai saja acara akad nikah. Prosesi diawali dengan upacara penyerahan dan penerimaan CPP. Kemudian seluruh rombongan dipersilahkan menuju ke ruang tengah tempat pelaksanaan acara upacara ijab-kobul. Setelah semua fihak mengambil tempat yang sudah disediakan dilanjutkan dengan pembacaan kalam ilahi dan sari tilawah. Selesai sari tilawah, seorang ustadz melanjutkan dengan dengan kotbah nikah. Prosesi ini keseluruhannya diperhitungkan memakan waktu antara 20-30 menit, jadi cukup untuk mengisi waktu sambil menunggu kedatangan petugas KUA.

Walaupun uraian kotbah nikah sudah dipanjang-panjangkan, namun sampai dengan pukul 9.00 belum juga ada tanda-tanda petugas KUA akan muncul. Oleh pembawa acara kemudian diusulkan untuk melanjutkan saja acara akad nikah walaupun petugas KUA belum datang. Alasannya, menurut pembawa acara, toh syarat-syarat sahnya perkawinan menurut ketentuan agama sudah terpenuhi. Sedang fungsi petugas KUA sebetulnya hanya mencatat adanya akad nikah ini, agar perkawinan ini diakui keberadaannya secara hukum. Terjadi negosiasi antara para saksi dan wali nikah apakah harus menunggu KUA lebih lama lagi. Akhirnya disepakati untuk melangsungkan acara ijab-kobul tanpa menunggu lagi petugas dari KUA. Nanti, sesudah akad nikah akan dibuatkan berita acara secara lengkap untuk didaftarkan di KUA. Alhamdulillah, pukul 9.15 yang ditunggu-tunggu, petugas KUA datang, jadi acara akad nikah dapat berlangsung sesuai ketentuan agama maupun undang-undang sebagaimana biasanya.

Menurut Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974, pasal 2 tentang sahnya suatu perkawinan diatur sebagai berikut :

Ayat 1 : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Ayat 2 : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut agama Islam syarat sahnya suatu perkawinan adalah: Pertama, adanya calon mempelai pria dan wanita yang sudah dewasa. Kedua, adanya dua orang saksi, dan ketiga, adanya wali nikah. Jadi, kalau ketiga syarat tersebut telah dipenuhi maka perkawinan dapat dilangsungkan dan sah menurut ketentuan agama. Hanya saja sepanjang belum dicatatkan di KUA maka perkawinan tersebut tidak mempunyai konsekuensi hukumnya. Artinya, kalau suatu waktu nanti terjadi perceraian maka hak-hak istri seperti pembagian harta gono-gini, atau hak untuk mengasuh anak tidak diakui secara hukum. Begitu pula kalau suami meninggal dunia, maka hak-hak waris dari anak yang ditinggalkan tidak diakui undang-undang.

Atas dasar uraian diatas, saya termasuk golongan yang mendukung usul pembawa acara agar acara akad nikah tetap dilangsungkan walaupun petugas KUA belum ada. Bagaimana kalau masalahnya bukan hanya keterlambatan datangnya petugas KUA tetapi sudah darurat. Misalnya terjadi kemalangan yang menimpa petugas KUA sehingga mengakibatkan ybs tidak bisa menghadiri acara akad nikah. Apakah perkawinan harus dibatalkan, dan dijadwal ulang? Padahal disisi lain undangan sudah disebar dan tamu-tamu sudah mulai berdatangan.

Belakangan ini sering terjadi pasangan yang berbeda agama, khususnya artis, yang melakukan pernikahan di luar negri. Alasannya, mereka tidak bisa melakukan di Indonesia karena UU Perkawinan di Indonesia tidak memungkinkan perkawinan pasangan yang berbeda agama. Apabila ini dilakukan ada kemungkinan dua syarat sahnya perkawinan yang diminta UU Perkawinan tidak dipenuhi semua. Ketentuan hukum agama tidak dipenuhi dan tidak ada pencatatan oleh pejabat yang berwenang. Dari segi agama perkawinan ini tidak sah, sedang dari kacamata hukum perkawinan ini dianggap tidak pernah ada.

Di masyarakat banyak juga terjadi kawin “siri”, pernikahan yang secara agama sudah sah tetapi tidak pernah didaftarkan di KUA. Perkawinan semacam ini banyak terjadi di kalangan masyarakat yang tidak mampu, mereka tidak kuat membayar biaya nikah di KUA. Kalau situasinya seperti ini masih dapat dimengerti dan dimaafkan. Namun banyak pula yang melakukannya karena alasan-alasan lain, seperti untuk me-legalkan perselingkuhannya, kawin kedua kalinya tanpa persetujuan istri pertama, atau agar istri tidak kehilangan pensiunnya karena telah kawin lagi.

Tugas dari petugas KUA sebetulnya tidak hanya mencatat, tetapi memeriksa kelengkapan admisnistrasi dan dipenuhinya syarat-syarat oleh fihak-fihak yang akan melakukan pernikahan. Pemeriksaan syarat-syarat sahnya calon mempelai pria dan wanita, sahnya saksi dan syarat-syarat wali nikah merupakan kompentensi dari petugas KUA. Jadi, walaupun saya sependapat dengan pemikiran untuk menikah secara agama dulu tanpa harus menunggu petugas KUA, namun hal ini sebaiknya hanya dilakukan dalam situasi darurat atau dalam keadaan sangat terpaksa. (Cimahi, 2007)

Senin, 17 Desember 2007

Catatan Lebaran

Saya termasuk pengikut berat tadisi mudik untuk merayakan lebaran. Untuk tahun ini sebagaimana tahun-tahun yang lalu, kami sekeluarga mudik ke kampung mertua di Tasikmalaya. Selama hampir 30 tahun bekerja di BRI, kami hampir selalu merayakan lebaran di rumah mertua. Hal ini dimungkinkan karena selama bertugas di BRI, kecuali pada waktu studi di luar negri, saya belum pernah ditempatkan di luar Jawa, jadi selalu bisa mudik ke kampung dengan biaya murah. Sebagaimana biasanya kami selalu memilih beberapa Pahe (paket hemat) : Pahe 1 cukup pakai Isuzu Panther, pulang pergi tidak sampai Rp44.000,-. Pahe 2, sopirnya anak sendiri dan Pahe 3, nginapnya di mertua Inn.

Kalau selalu berlebaran di rumah mertua tidak berarti bahwa mertua lebih penting daripada orang tua sendiri. Sudah terbiasa begini karena alasan praktis saja, karena rumah mertua lebih dekat. Disamping itu orang tua sendiri juga tidak terlalu mengharapkan kedatangan anak-anaknya di hari Lebaran. Untuk Ibu saya (ayah sudah tidak ada) ada atau tidak ada anak-anak yang datang pada hari Lebaran is not a big deal, yang penting asal mendengar anak-anaknya pada sehat sudah cukup. Betul-betul sifat sumarahnya orang Jawa.

Mengindari macet

Perjalanan mudik umumnya identik dengan kemacetan. Pengalaman berkali-kali mudik membuat kami menguasai tehnik-tehnik untuk menghindari kemacetan. Seminggu sebelum hari H kami selalu pasang telinga untuk mencari info, baik dari media cetak maupun elektronik, untuk mengetahui daerah-daerah mana dan jam-jam berapa yang rawan macet. Seperti tahun ini, kami mendapat info bahwa untuk jurusan Tasikmalaya apabila kita bisa mencapai pintu tol Cileunyi sebelum jam 7.00 pagi maka akan terhindar dari kemacetan. Jadi, kita putuskan berangkat Kamis tanggal 29 Januari jam 3.00 pagi, sekalian membawa bekal untuk sahur dan sholat subuh di jalan. Sesuai rencana, kami bisa mencapai Cileunyi pukul 6.30 pagi, jalanan masih relatif kosong, dan sampai di Tasik pukul 9.30 pagi. Seluruhnya makan waktu 6 ½ jam perjalanan, kurang lebih sama dengan waktu yang diperlukan pada hari-hari non-lebaran.

Orang Sunda berani makan Bugis

Cara merayakan lebaran di kampung dari tahun ke tahun hampir tidak pernah berubah. Menjelang hari H ibu-ibu biasanya sibuk menyiapkan makanan untuk lebaran. Menunya sudah menjadi pakem, yaitu ketupat, opor ayam, sambel goreng kentang dan ati, telur pindang, dan kerupuk udang. Makanan kecilnya manisan cangkaleng, peuyeum ketan, wajid, opak, bugis dan lain sebaginya. Hati-hati orang Sunda berani makan Bugis, tidak mau kalah dengan orang Jakarta yang suka makan ketoprak atau sama orang Palembang yang suka melalap kapal selam.

Kita biasanya memasak lebih banyak dari yang diperlukan karena sebagian akan kita kirimkan ke sanak keluarga atau tetangga dekat. Di kampung masih ada tradisi silih anter, yaitu saling mengirim makanan ke tetangga menjelang lebaran, walaupun kebiasaan ini sekarang sudah semakin berkurang. Dari segi kuantitas jumlah makanan kita akan relatif sama, karena disini berlaku azas reciprocal, yaitu yang mendapat kiriman merasa berkewajiban untuk membalas.

Sambil menunggu buka puasa saya dengan anak-anak biasanya keliling-keliling kota sambil bernostalgia. Tasikmalaya selalu memberi kenangan sendiri, karena di kota inilah saya memulai karir saya di BRI sebagai trainee (tepatnya bulan Desember 1972), dan di kota ini pula saya ketemu dengan mamahnya anak-anak. Saya selalu mengulang-ulang cerita yang sama tentang pengalaman masa lalu selama 3 tahun bertugas di Tasikmalaya. Saya tidak tahu apakah anak-anak masih tertarik mendengar cerita saya. Saya juga tidak tahu apkah sebenarnya saya bercerita untuk anak-anak atau lebih banyak untuk diri saya sendiri.

Lebaran dan baju baru.

Lebaran nampaknya tidak bisa dipisahkan dengan baju baru. Di Tasik, barangkali juga di daerah-daerah lain, berlebaran dengan baju baru sudah merupakan suatu keharusan. Sebetulnya tidak terlalu salah, karena untuk sholat Ied kita disunahkan untuk memakai baju yang terbaik. Tidak hanya anak kecil, yang dewasa bahkan sampai yang tuapun harus berbaju baru ria. Menyiapkan baju baru antara tiga sampai empat stel bukan hal yang aneh. Satu stel khusus untuk sholat Ied, satu untuk silaturahmi, satu untuk lebaran hari ke dua dan seterusnya.

Dulu waktu anak-anak masih kecil-kecil saya termasuk yang terbawa arus baju baru ini. Untuk beberapa malam, sholat tarawih terpaksa ditinggalkan hanya untuk mencari baju baru anak-anak (dan bapaknya). Sekarang setelah anak-anak besar-besar hampir tidak pernah membeli baju baru khusus untuk merayakan lebaran. Dulupun sebenarnya anak-anak juga tidak pernah menuntut untuk dibelikan baju baru, tetapi orang tuanya (terutama ibunya) yang memaksa anak-anaknya untuk tampil dengan baju baru.

Acara rutin ke makam

Hari pertama lebaran acara dimulai dengan sholat Ied oleh seluruh keluarga. Sholat Ied di daerah dimulai jam 6.00 tepat. Seperti tahun-tahun yang lalu, selalu ada saja yang terlambat, yaitu datang setelah khotib mulai berkotbah. Pulang dari sholat dilanjutkan makan bersama. Sehabis makan biasanya kita sediakan waktu barang 1 jam untuk memberi kesempatan kepada para tetangga untuk bersilaturahmi ke rumah. Mertua termasuk figur yang dituakan, baik karena usia maupun karena perannya dalam kegiatan sosial, sehingga banyak tetangga atau handai taulan yang berkunjung ke rumah untuk salam-salaman.

Acara rutin berikutnya adalah ziarah ke makam keluarga. Karena sebagian besar orang melakukan pola ziarah ke makam pada hari pertama lebaran, maka untuk TPU-TPU yang besar pada hari pertama lebaran selalu penuh sesak dengan pengunjung. Situasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh para pedagang untuk mengais rejeki di hari lebaran, apakah itu pedagang makanan, mainan nak-anak, bahkan sampai ke petasan. Makam berubah total menjadi bazaar dadakan. Yang berdoa khusuk berdoa, yang makan mie bakso atau kupat tahu cuek saja, yang menyulut petasan jalan terus, masing-masing melakukan kegiatan sesuai kepentingannya tanpa merasa ada yang tertanggu.

Dari tahun-tahun acara lebaran di rumah mertua begitu-begitu saja. Namun justru disinilah betul-betul saya merasakan klimaksnya setelah satu bulan penuh berpuasa. Sesuatu yang setiap tahun selalu ditunggu-tunggu oleh seluruh anggota keluarga. Ketika takbir bergema dan suara bedug bertalu-talu, saat-saat datangnya kemenangan benar-benar terasa. Kesibukan ibu-ibu di dapur menyiapkan hidangan lebaran, masyarakat berbondong-bondong ke lapangan untuk sholat sunah, keramaian di makam-makam, suasana silaturahmi antar saudara dan handai taulan yang tulus, semuanya memberikan kenangan mendalam yang khas yang tidak pernah saya temui di Jakarta.

Lebaran di Jakarta sepi.

Pernah kami mencoba sekali berlebaran di Jakarta, ternyata rasanya hampa sekali. Gema takbiran hanya sayup-sayup terdengar, tertelan hiruk pikuknya deru lalu lintas yang macet dan riuh rendahnya suara siaran televise. Di hari lebaran, selesai sholat makan ketupat hanya diikuti oleh keluarga sendiri. Sanak keluarga tidak ada yang berkunjung karena kita termasuk yang yunior. Pegawai dan rekan sekantor jelas tidak ada yang datang, karena mereka tentunya bersilaturahmi dengan keluarga masing-masing (dan lagi belum ada ceritanya kepala urusan kok “open house’).

Lebaran adalah masalah pribadi, hablum mina orang tua lebih penting daripada hablum mina atasan. Jadi saya tidak terlalu mengharapkan bawahan sowan di hari lebaran. Menunggu saat untuk berlebaran ke atasan yang open house masih terlalu lama. Anak-anak sudah bingung dan rewel karena tidak ada lagi kegiatan yang dilakukan. Walhasil berlebaran di Jakarta terasa sepi sekali.

Lebaran tahun ini dirayakan dalam suasana krisis moneter. Terasa tidak seramai seperti tahun-tahun yang lalu. Tetangga-tetangga mengatakan sebagian anak-anaknya tidak pulang. Mungkin karena kesulitan biaya atau bahkan sudah terkena PHK sehingga malu untuk pulang mudik. Cihideung, downtown-nya Tasikmalaya, biasanya penuh sesak dengan orang-orang belanja kebutuhan lebaran sekarang terasa agak longgar. Orang tua juga jauh-jauh hari sudah diingatkan untuk tidak terlalu banyak membikin kue-kue, karena minyak, gula, terigu, telur susah didapat dan mahal. Perhitungannya, kita yang dari Jakarta toh bias membawa kue-kue ex-parcel ke kampong. Ee, ternyata di Jakarta-pun parcel lagi sepi.

Menyadari pentingnya peran PRT

Lebaran juga merupakan momentum yang baik untuk merenungkan betapa vitalnya peran pembantu rumah tangga (PRT). Paling tidak untuk waktu seminggu dua minggu kita harus memikirkan bagaimana aktivitas rumah tangga tetap jalan tanpa pembantu. Disinilah saatnya seluruh anggota keluarga perlu menjalin kesatuan dan persatuan untuk masak, cuci pakaian dan membersihkan rumah. Dalam situasi tidak ada pembantu saya berfungsi sebagai Dirut, tukang komando. Doa kami mudah-mudahan tidak banyak tamu, karena tamu berarti tambah cucian gelas dan piring.

Melarang pembantu mudik is almost impossible, meskipun dengan iming-iming bonus dua bulan gaji. Sekali setahun PRT, dan juga buruh atau pekerja kasar lainnya merasa benar-benar “diwongke” dan dihargai martabatnya secara utuh sebagai manusia hanya pada waktu pulang lebaran di kampung. Setahun sekali mereka betul-betul menikmati kehidupan yang lepas bebas. Selama ini di Jakarta mereka merasa tidak lebih dari sekedar bahan suruhan, tumpuan kesalahan atau bahkan kadang-kadang sasaran siksa majikan.

Segala bentuk keberhasilannya, apakah dalam bentuk uang, baju bagus atau barang-barang lain yang bisa dibeli, hanya dipandang sebelah mata oleh orang lain. Di kampung semuanya ini dapat dipamerkan ke tetangga dan sanak saudara. Membagi sedikit oleh-oleh dan rejeki ke saudara barang seribu dua ribu rupiah sudah bisa membuat kita menjadi orang penting dan terhormat. Istilah kerennya, di kampung mereka mendapatkan “apresiasi manusiawi” dari lingkungannya. Pengalaman di Jakarta yang modern selalu menjadi bahan cerita yang tiada habis-habisnya untuk teman-teman di kampung.

Kebahagiaan terbesar di hari lebaran.

Kembali ke rumah sesudah lebaran salah satu kegiatan rutin keluarga adalah menghitung hari dengan harap-harap cemas apakah pembantu akan balik lagi atau tidak. Sudah lebih seminggu mereka pulang mudik Namun kali ini kita agak optimis mereka akan kembali. Dalam situasi ekonomi normalpun kehidupan di desa sudah cukup sulit. Apalagi dalam keadaan serba susah seperti sekarang ini, kemarau panjang, sulitnya dan mahalnya sembako, akan membuat mereka semakin susah untuk mencari makan.

Tiba-tiba terdengar suara bajaj berkenti di depan rumah. Tak berapa lamapun bel berdering. Segera anak-anak berlarian ke depan untuk melihat siapa gerangan yang datang. Ternyata Paijem. Yoyok dan Iyat yang dating. Bagaikan dikomando serentak anak-anak koor : Horee Paijem datang, horee Yoyok datang, horee Iyat datang. Sebenarnya saya dan mamahnya anak-anak juga ingin berteriak kegirangan, tetapi malu, gengsi. Yang terucap hanya syukur alhamdulillah, telah datang dewa penolong. Ujung-ujungnya, ternyata kebahagiaan terbesar yang diperoleh di hari lebaran ini adalah melihat para pembantu kembali lagi bersama kita. (Jakarta, 1998)

Senin, 10 Desember 2007

Menikmati pensiun atau melanjutkan sisa-sisa hidup?

Di negara-negara maju, seperti di Amerika Serikat (AS) atau Eropa, usia wajib pensiun (UWP) atau mandatory retirement age bisa mencapai 65 tahun. Bahkan di Eropa mulai muncul gerakan yang memperjuangkan agar UWP diperpanjang lagi menjadi 68 tahun. Dengan panjangnya UWP tersebut, jelas iuran pensiun yang dapat dihimpun dari para peserta menjadi semakin besar. Ditambah dengan semakin profesionalnya pengelolaan program pensiun, para pensiunan dari negara-negara maju tersebut dapat menikmati manfaat pensiun yang sangat memadai, sehingga mereka dapat tetap mempertahankan tingkat kesejahteraan hidupnya sesudah tidak bekerja lagi. Bahkan dari uang pensiunnya, banyak yang dapat melakukan perjalanan wisata keluar negri. Sering kita jumpai di Bali rombongan turis manula dari Eropa atau Jepang yang membiayai perjalanan wisatanya dari uang pensiun.

Sebagai ilustrasi : Elias adalah warga negara Belanda asal Ambon, pensiunan tentara KNIL. Tiap bulan ia menerima sekitar 1.700 euro, termasuk dana pampasan perang. Di dalam komponen pensiun itu ada dana untuk pembantu, karena mereka dianggap orang tua yang tak bisa apa-apa. Penerimaan bersihnya setelah dipotong pajak dan sewa rumah tersisa 1.300 euro atau Rp 17,5 juta lebih (1 euro = Rp13.500). Lebih dari cukup untuk hidup sehari-hari, karena istrinya juga dapat pensiun, disamping kedua anaknya sudah mandiri semua. Sebagai perbandingan gaji dosen 4.300 euro dan gaji rektor 5.500 euro sebulan. Perhatikan perbandingan antara penghasilan yang sudah pensiun dengan yang masih aktif. Mahasiswa Indonesia di Belanda untuk makan saja (masak sendiri) menghabiskan 200-300 euro sebulan. Jika ada inflasi, uang pensiun itu otomatis dinaikkan. Pemerintah Belanda memang terkenal jago dalam mewujudkan kesejahteraan bagi warganya.

Di Belanda, juga seperti di negara-negara Eropa lainnya, penganggur dibayar oleh negara. Sampai tahun 70-an masih banyak imigran (wanita) yang ramai-ramai kawin dengan orang-orang tua atau orang jompo di negeri Belanda. Perkawinan ini hanya akal-akalan dengan tujuan untuk memperoleh status sebagai warga negara Belanda, karena dengan status tersebut akan memperoleh tunjangan sosial sepanjang mereka masih belum mendapat pekerjaan alias menganggur. Sesudah mendapat pekerjaan atau suami beneran, maka suami-suami formalitas tadi akan dicerai. Sekarang praktek-praktek sepeti ini sudah sulit dilakukan karena pemerintah Belanda semakin ketat mengawasinya.

Pensiun di AS

Para pegawai di AS akan memasuki masa pensiun pada usia antara umur 65 sampai 67.5 tergantung kapan lahirnya. Semakin muda tanggal lahirnya semakin tua UWP-nya. Umur pensiun ini akan bertambah sejalan dengan makin tingginya umur rata rata manusia di AS. Seperti halnya di Indonesia, dana pensiun di AS pendanaannya juga diperoleh dari pemotongan sebagian dari gaji pegawai dan sebagian dari majikan yang kemudian disetorkan ke kantor pensiun. Namun ada perbedaan yang mendasar, yaitu negara mengelola program pensiun untuk seluruh warganya dan menentukan besarnya potongan secara prosentase dari gaji kotor. Ditambah dengan prosentase yang sama dari majikan, potongan ini akan disetor ke Social Security Adminstration (Dinas Jaminan Sosial) melalui kantor pajak Amerika Serikat yang disebut Internal Revenue Service atau IRS.

Besarnya prosentase potongan gaji ini diputuskan oleh lembaga legislatif yaitu DPR-nya Amerika Serikat yang disebut Congress. Besarnya potongan saat ini yang sudah ditentukan adalah sebesar 7.65 %. Jadi dengan kata lain, kalau setiap minggunya pegawai gajinya sebesar $1000,00 , maka iuran pensiun yang dipotong secara pasti adalah $76,50 dan majikan akan menyetor jumlah yang sama sehingga jumlah iuran pensiun yang disetorkan ke rekening pegawai per minggunya adalah sebesar $153 atau sekitar $7.956,00 per tahunnya. Pemotongan iuran pensiun dari gaji ini ada maksimumnya. Jumlah gaji per tahun yang kena pemotongan iuran pensiun adalah sebesar $90.000,00. Jadi kalau gaji seorang pegawai mencapai $120.000,00 pertahunnya, maka yang kena potongan iuran pensiun adalah sebesar $90.000,00

Perusahaan besar seperti Mobil Oil, Exxon, General Motors, IBM, Microsoft, Honda, Toyota,Bank America dan perusahaan lainnya disamping turut membayar Social Security Tax yang sifatnya wajib, juga menyelenggarakan sendiri program pensiun untuk para pegawainya. Jadi untuk pegawai mereka, setelah pensiun disamping mendapat uang pensiun dari Social Security Adminsitration juga mendapat uang pensiun dari perushaaan. Program ini diberikan oleh pengusaha sebagai insentif agar karyawan bekerja lebih giat dan betah tinggal lama dengan perusahaan tersebut. Sudah barang tentu masing-masing karyawan bebas untuk merencanakan program pensiunnya sendiri, dengan membeli produk-produk pensiun yang ditawarkan oleh lembaga keuangan.

Secara garis besar apabila seoarang pegawai mempunyai gaji bulanan sebesar$1.500 mulai saat ia bekerja 30 tahun lalu dan gaji 5 tahun terakhir sekitar $2.500 hingga $3.000, (setingkat gaji pegawai administrasi senior) maka minimum uang pensiunnya pada umur 65 akan berkisar sebesar $1.200,00 - $1.500,00 per bulannya. Jadi kalau istri juga bekerja dalam posisi yang sama, tidak ayal lagi mereka berdua akan menerima uang pensiun sekitar $2.400,00 - $3.000,00, ditambah dengan fasilitas assuransi kesehatan. Karena panjangnya UWP, rata-rata keluarga Amerika ketika pensiun sudah tidak mempunyai tanggungan anak lagi. Jadi tepatlah untuk negara-negara maju kalau dikatakan sesudah purna karya mereka betul-betul menikmati pensiun.

Di Indonesia : masih muda sudah pensiun

Di Indonesia umumnya pegawai memasuki masa pensiun pada usia 56 tahun. Polanya bisa melalui masa bebas tugas pada usia 55 kemudian pensiun penuh ketika mencapai usia usia 56 tahun. Atau, tanpa masa bebas tugas tetapi langsung pensiun di usia 56. Untuk pegawai negri sipil, khususnya guru, UWP biasa lebih panjang yaitu 60 tahun, bahkan untuk professor bisa mencapai 70 tahun. Namun sebagian besar pegawai di Indonesia umumnya berhenti bekerja pada usia 56 tahun. Artinya setelah usia tersebut para eks-pegawai tersebut harus melanjutkan sisa hidupnya dari manfaat pensiun yang diterima (bagi yang mempunyai program pensiun) ditambah penghasilan-penghasilan diluar pensiun seperti hasil investasi atau dari kegiatan lain setelah pensiun.

Dengan semakin membaiknya kesejahteraan pegawai dan harapan usia hidup, sebetulnya pada usia 56 dirasakan masih sangat fit dan belum terlalu tua untuk terus bekerja. Jadi ketika harus berhenti berkerja pada usia 56, banyak yang mengalami goncangan psikologis (psychological shock). Mengapa saya harus menganggur ketika saya merasa masih cukup produktif untuk berkarya. Dari segi sosial juga umumnya kita belum siap untuk pensiun di usia 56.

Untuk generasi yang lahir sebelum tahun 50, mereka mulai bekerja di usia relatif muda, yaitu antara 18 sampai 20, selepas menyelesaikan SMA. Usia 20 – 22 sudah pada menikah, jadi ketika harus pensiun pada usia 56 rata-rata anak-anak sudah mandiri atau minimal sudah selesai sekolah semua. Untuk generasi sesudah tahun 50-an, mereka mulai bekerja di usia antara 26 – 28 tahun, setelah menyelesaikan pendidikan sarjananya. Menikah di usia 28 -30, jadi ketika pensiun anak-anak belum ada yang “mentas” (mandiri), masih menjadi tanggungan orang tua.

Belum lagi dari segi ekonomi, banyak yang belum siap pensiun di usia 56. Hanya sebagian kecil pegawai yang dapat mengumpulkan bekal yang cukup untuk menghadapi masa pensiunnya. Selebihnya harus melanjutkan sisa hidupnya dengan menggantungkan pada satu-satunya sumber penghasilan, yaitu manfaat pensiun yang sangat kecil. Jadi untuk di Indonesia sesudah pensiun kita masih harus berjuang untuk melanjutkan sisa-sisa hidup.

Keadaan ini, usia pensiun yang relatif muda, kecilnya manfaat pensiun dan masih beratnya tanggungan keluarga, mendorong timbulnya “moral hazard” diantara para pegawai kita. Selagi berkuasa, mereka berusaha memanfaatkan kedudukannya menghalalkan segala macam cara guna mengumpulkan kekayaan sebanyak mungkin sebelum pensiun.

Kapan pensiun sebagai orang tua?

Pensiun menjadi orangtua maksud saya adalah berhenti membiayai sekolah, berhenti membiayai hidup, berhenti melayani kebutuhan dan berhenti mengawasi anak-anak? Di negara-negara Barat, tampaknya memang memungkinkan dan wajar sekali seorang anak dari sejak dia diakui hak-hak dan kemandiriannya oleh negara untuk hidup mandiri. Di Jerman misalnya, usia 18 dikenal dengan volljährig, yaitu usia dimana hak-hak anak-anak mulai diakui oleh negara. Yang artinya, di usia ini anak-anak sudah dianggap mampu melakukan perbuatan hukum, menandatangani kontrak, atau boleh menikah tanpa izin orangtua. Umur 18 ini juga berlaku sebagai umur mandiri di banyak negara EU, di Amerika Serikat, di Swiss dan di Austria. Sedangkan di Jepang baru usia 20 tahun dianggap mandiri, dan di Nepal dan Somalia umur 15 tahun.

Apabila anak-anak ini memilih untuk hidup sendiri atau diminta orang tua untuk hidup sendiri, negara akan bertanggung jawab apabila suatu saat anak-anak ini terlantar karena tidak ada pekerjaan. Negara akan membayarnya sebagai warga negara dewasa yang menganggur. Jadi sebagai orang tua kita tidak terlalu merasa bersalah apabila kasarnya “mengusir” anak-anak kita untuk hidup mandiri.

Di Indonesia tampaknya memang waktu penegasan kemandirian terhadap anak-anak cukup dilematis, terutama karena praktek kehidupan ekonomi, dan system jaminan sosial yang belum mendukung. Sampai hatikah kita sebagai orang tua meminta anak-anak untuk mencari tempat tinggal dan mengurusi kebutuhan hidupnya sendiri.walaupun mereka sudah cukup usia dan sudah selesai sekolahnya. Dari segi ekonomi anak-anak yang menjadi tanggungan kita merupakan beban, terutama ketika kita sudah memasuki masa pensiun. Di sisi lain, nilai-nilai agama kita mengharamkan mengusir anak-anak keluar rumah hanya karena takut tidak bisa memberi makan. Jadi tidak heran Pondok Mertua Indah adalah alternatif tempat tinggal yang wajar dan. tidak aneh di masyarakat kita. Demikian juga dengan membiayai anak-anak sekolah hingga tamat sekolah, juga sudah dianggap bentuk dari kewajiban sangat wajar dari orangtua.

Apa yang perlu dipersiapkan

Siklus yang ideal adalah sekolah, lulus sarjana, dapat kerjaan, kawin, punya anak, punya tabungan yang banyak, baru pensiun. Sesudah pensiun juga harapannya sudah tidak mempunyai tanggungan lagi, tinggal jalan-jalan, main golf, momong cucu. Namun kita harus realistis bahwa tidak banyak yang bisa melewati siklus ideal diatas. Kebanyakan sesudah pensiun justru menghadapi masalah baru. Indahnya pensiun hanya satu tahun saat menjalani masa persiapan pensiun, ketika kita berhenti bekerja tetapi masih digaji penuh dari BRI.

Bagi yang sekarang masih aktif bekerja dan masih lama pensiunnya, ada dua hal yang perlu dipersiapkan. Pertama, bagaimana mempersiapkan diri kita sendiri dalam menghadapi pensiun. Apa yang akan kita lakukan sesudah tidak bekerja lagi harus mulai difikirkan dari sekarang, paling tidak 5 tahun sebelum pensiun. Kita harus mengkondisikan diri kita bahwa nanti kalau sudah pensiun, manfaat pensiun yang diterima sangat kecil dan tidak akan cukup untuk menunjang kehidupan kita sehari-hari, apalagi kalau anak-anak masih ikut kita.

Kedua, mempersiapkan anak-anak kita agar sesegera mungkin bebas dari tanggung jawab orang tua. Pemilihan pendidikan anak-anak harus tepat. Jangan terlalu memaksa anak-anak untuk jadi sarjana. Memang bangga punya anak-anak sarjana semua, tetapi apa gunanya punya anak-anak sarjana kalau nganggur semua. Biarkan mereka memilih pendidikan yang sesuai dengan bakatnya dan memudahkan mereka dalam menacari pekerjaan, walaupun tidak memberi gelar sarjana. Ngomong-ngomong saya masih punya satu anak lagi yang sedang kuliah di UGM. (Jakarta, Desember 2007)



Kamis, 06 Desember 2007

What is in a name

“What is in a name”, kata pujangga William Shakespeare. Bunga mawar ditaruh dimanapun dan diberi nama apa saja akan tetap indah dan harum. Barangkali benar untuk kasus bunga mawar, namun untuk kepentingan bisnis pemilihan nama merupakan masalah yang maha penting. Untuk sebagian pengusaha keturunan Cina, mereka sering harus pergi ke Gunung Kawi untuk mencari nama buat calon toko atau perusahaannya.
Makanan khas yang terkenal dari Ungaran, Jawa Tengah adalah sate sapi. Beberapa warung sate sapi yang terkenal antara lain : Sate sapi “Pak Keri”, “Pak Wiryo”, dan yang paling top “Pak Kempleng”. Ada dua hal yang bisa kita catat dari nama-nama warung ini. Pertama, karena sate sapi adalah masakan tradisional, maka dalam pemilihan nama warungnyapun berusaha memberi kesan tradisional. Kedua, sengaja dilih nama pemiliknya sebagai nama warung untuk memberi pesan kepada langganan bahwa pemiliknya betul-betul terjun langsung didalam mempersiapkan masakannya. Sehingga resep dan bumbunya dijamin orisinal dan quality control-nya terjaga. Hal ini juga berlaku untuk warung-warung tradisional lainnya seperti : sop kaki Pak Kumis, Sate Pak Jono, Ayam Goreng Ny Suharti, Gudeg Yu Juminten, Pecel Yu Sum, atau Soto Kadipiro.
Barangkali akan kedengaran aneh kalau untuk warung-warung tradisional tadi kita beri nama misalnya, sop kaki “Helen”, Sate sapi “Shinta”, atau sate ayam “Veritas”. Sebaliknya, untuk salon, kursus komputer, pusat-pusat kebugaran jasmani atau bakery, nama harus berbau modern dan trendy seperti : Lucia gents and lagies salon, kursus komputer “Datacom”, “Clark’s fitness center” atau Danish bakery. Jangan coba-coba memberi nama seperti salon “Bu Siti”, kursus komputer “Pak Harjo” atau tailor “Mang Eman”, karena tidak bakal ada calon langganan yang mau masuk. Hal ini juga menjelaskan mengapa himbauan kepada perusahaan-perusahaan untuk tidak menggunakan nama yang berbau asing sulit diikuti.
Di Purwosari, Solo, dekat rumah ibu saya, ada apotik yang menggunakan nama : “Kondang Waras” (terkenal sembuh). Sedang di Laweyan ada apotik yang namanya “Enggal Senggang” (cepat sembuh). Di lokasi lain ada juga apotik dengan nama “Sido Mulyo” (jadi sehat). Dari namanya saja jelas pengusaha berusaha mencari nama yang kuat relevansinya dengan kegiatan obat-mengobati. Dari ketiga nama tersebut nampaknya yang paling efektif adalah “Enggal Senggang”, karena siapa yang membeli obat disana, sesuai namanya, dijamin cepat sembuh. Di Solo, hotel-hotel modern memilih nama seperti Solo Inn, Mangkunegaran Palce, Kusuma Sahid Prince. Sedang penginapn trdisional, namun sering tingkat huniannya diatas 100 persen, lebih sreg menggunakan nama seperti penginapan Adem Ayem, Losmen Tentrem, atau Losmen Mekarsasri dlsb.
Di kantor pusat BRI ada urusan yang namanya Administrsi Kredit (ADK), terjemahan dari Credit Administration. Istilah to administer menurut Webster Dictionary artinya : to manage or conduct as chief agent or directing and controlling official; to direct or superintend the execution of .........etc. Dari definisi diatas jelas nampak bahwa administration bukan hanya sekedar kegiatan catat mencatat, tetapi merupakan fungsi aktif karena mengandung unsur menggerakkan atau mengarahkan (direct) dan mengawasi pelaksanaan (superintend the execution of). Fungsi administrasi kredit di BRI diatur dalam Credit Policies and Procedures (CPP) memang telah didesain agar semua pejabat yang terlibat di bidang perkreditan berperan aktif, mulai sejak inisiasi, realisasi, pemantauan sampai saat kredit menjadi bermasalah.
Didalam pelaksanaannya memang belum semulus sebagaimana yang kita harapkan semua. Bagian ADK di Kantor Wilayah dan Kantor Cabang sering hanya bergelut dengan laporan portofolio yang bersifat statistik. Padahal seharusnya dapat lebih banyak memberikan informasi dan analisa kepada manajemen. CPP memang konsep baru sehingga perlu waktui untuk betul-betul menghayatinya. Beberapa filosofi dan pendekatannya banyak yang masih merupakan “keju” yang sulit dicerna oleh perut rakyat BRI. Dengan training dan perubahan budaya kerja, diharapkan kekurangan-kekurangan dapat diperbaiki.
Namun barangkali faktor nama juga berperan disini. Istilah “administrasi” untuk telinga Melayu mempunyai konotasi sekedar catat-mencatat, pasif, menunggu dan kurang keren. Kiranya perlu difikirkan nama lain yang lebih memberi kesan dinamis, proaktif dan rasa bangga bagi petugas-petugasnya.
Kita juga mempunyai urusan yang namanya Sistem dan Tehnologi (SISTEK). Agak sulit juga menjelaskan kepada orang awam tentang fungsi dari urusan ini, karena kita ini bank bukan pabrik. Tidak bisa dipungkiri betapa besar peranan urusan ini didalam mengantar BRI ke tingkat kemajuan yang sekarang dicapai ini. Namun penggunaan nama Sistem dan Tehnologi lama-lama dapat menggiring alur pikiran kita bahwa urusan ini memang semata-mata hanya bertanggung jawab atas sistem dan tehnologi. Apabila demikian halnya maka urusan SDM akan merasa tidak bersalah apabila mengisi urusan ini dengan orang-orang yang kualifikasi tehnologinya lebih menonjol daripada kualifikasi perbankannya. Demikian pula Urusan Pendidikan akan merasa sudah pas kalau menyediakan paket-paket training yang bobot tehnologinya jauh lebih besar daripada bobot banking-nya. Bahkan pada musim asesmen pegawai kita mudah memaafkan kalau orang SISTEK kurang bisa menjawab soal-soal tehnis perbankan. Kalu persepsi ini kita biarkan berlanjut, maka bukan mustahil suatu saat kita akan mempunyai urusan yang kacamata tehnician-nya lebih dominan daripada kacamata banker-nya.
Saya kurang tau apa nama yang lebih tepat untuk urusan ini. Dulu waktu masih jamannya biro, kita mempunyai biro yang namanya Biro Informasi Manajemen. Memang kegiatannya belum secanggih urusan SISTEK sekarang ini, namun message-nya jelas, yaitu menyediakan informasi untuk keperluan manajemen. (Semarang, 1992)

Senin, 03 Desember 2007

Cara memakai jas


Ada pemandangan yang agak berbeda yang dapat kita catat sesudah bank-bank berubah status menjadi persero, yaitu semakin banyaknya pejabat bank yang memakai jas untuk ke kantor. Begitu pula yang terjadi di bank BRI. Kebiasaan ini dimulai dengan datangnya pak Iwan Prawiranata dari Bank Exim (1992), yang nampaknya disana sudah lama menerapkan budaya jas.
Walaupun tidak ada peraturan tertulis, pejabat BRI segera menyesuaikan dengan menanggalkan baju safarinya dan mulai ramai-ramai bikin jas baru. Namun tren ini tidak terjadi di BRI saja, di bank-bank pemerintah lainpun juga beralih dari “safari” ke “jas”. Di bank swasta sudah lama menggunakan jas sebagai business attire sehari-hari. Dikalangan perbankan barangkali yang masih setia dengan safari hanya Bank Indonesia, terutama untuk pejabat-pejabatnya di daerah.
Sekarang, dikantor wilayah kalau ada rapat kerja umumnya pakai jas semua. Untuk acara penghargaan Sistem Insentif Peningkatan Kegiatan (SIPK) BRI Unit, biasanya bagi para pemimpin cabang (Pinca) keatas diminta memakai jas. Tetapi ini belum merata, karena memang tidak ada surat edaranya (SE) yang mengharuskan Pinca memakai jas. Jadi kalau Peminpin Wilayahnya (Pinwil) ingin tampil beda, maka bisa saja dia melarang para Pincanya untuk memakai jas. Khusus untuk acara SIPK, memang ada baiknya Pinca memakai jas. Dulu, seluruh peserta memakai pakaian kerja yang sama, sehingga susah membedakan mana Kaunit mana Pinca. Bukan hal yang aneh. Dengan kemajuan BRI Unit, termasuk kesejahteraan karyawannya, banyak Kaunit yang tampil lebih gagah dari para Pinwil-nya.
Di negara barat, tempat asalnya jas, terdapat berbagai jenis jas Di sana dibedakan antara apa yangt disebut suit, blazer, dan sportcoat atau jacket. Semua benda-benda tersebut , apaka itu suit, blazer atau sportcoat, kalau dibawa ke Indonesia namanya menjadi jas. Jas bukan pakaian kita sehari-hari, jadi banyak diantara kita yang tidak bisa membedakan mana suit, mana blazer dan mana yang sportcoat. Walaupun tidak ada aturan tertulisnya, namun ada semacam konvensi kapan harus memakai suit, dan kapan kita cukup memakai blazer saja atau dalam even-even mana anda seharusnya tidak memakai sportcoat.
Perlukah kita mengetahui pemakaian masing-masing jas ini? Di Indonesia orang mungkin tidak terlalu peduli dengan jenis jas yang kita pakai. Di lingkungan pergaulan internasional, kesalahan didalam memilih jenis jas yang tepat bisa mengurangi penghargaan orang kepada kita. Penulis pernah mendapat mengikuti seminar “How to sell to western customer” . Didalam sesi “Tehnik presentasi yang efektif” diberikan pelajaran tentang cara-cara berpakaian agar dapat tampil profesional. Tulisan berikut diharapkan dapat membantu pembaca didalam memilih jas yang tepat sesuai dengan situasinya.

Suit
Didalam kamus Concise Oxford Dictionary, The New Edition for 1990s, suit didefinisikan sebagai : a set of outer clothes of matching material for men, consisting usually of a jacket, trousers, and sometimes a wistcoat. Jadi suit adalah setelan pakaian laki-laki yang terbuat dari bahan yang sama yang biasanya terdiri dari jas, celana dan kadang-kadang rompi.
Suit dipakai pada acara yang sifatnya sangat resmi seperti, pelantikan pejabat, raker, menghadap presiden atau menteri, atau untuk menghadiri acra-acara yang sifatnya seremonial. Umumnya berwarna gelap, bisa dark blue atau dark grey, bisa dengan model single-breasted (SB) dengan dua kancing atau double-breasted(DB) dengan satu atau dua kancing.
Suit dengan SB bisa dipakai dengan kancing dilepas atau terpasang. Perlu diingat apabila dalam keadaan terkancing, hanya satu kancing atas saja yang terpasang, bukan dua-duanya, juga bukan kancing bawah. Perhatikan, Presiden SBY selalu memakai jas kancing tiga dalam keadaan terpasang semua. Ini salah. Untuk DB usahakan selalu dalam keadaan terkancing, karena justru dalam posisi inilah kegagahan DB kelihatan. Baik untuk SB maupun DB sebaiknya kancing dalam keadaan terbuka apabila anda sedang duduk, karena disamping memberi keleluasaan gerak juga akan nampak lebih rapi. Kalau SB dapat dikenakan oleh semua orang, sebaliknya DB hanya disarankan untuk mereka yang mempunyai postur tubuh agak tinggi dan tidak terlalu gemuk.
Agar tampak semakin resmi, untuk suit orang umumnya memilih kemeja warna putih polos dengan dasi yang agak konservatif. Dasi dengan dasar gelap bermotif garis-garis, kotak-kotak, wajik atau bulat-bulat kecil adalah contoh dasi konservatif. Dasi-dasi komtemporer dengan motil bunga (floral design) atau warna-warna eksotik biasanya tidak dianjurkan untuk acara-acara resmi (perhatikan penampilan presiden Bush atau perdana menteri Tony Blair dalam acara-acara resmi).
Negara-negara yang terkenal konservatif dalam berbusana adalah Inggris, Jepang dan Amerika Serikat(AS) bagian timur (New Yorker). Profesi yang biasanya sangat fanatik dengan suit adalah : politisi, negarawan dan eksekutif bisnis, khususnya dari bisnis keuangan atau bankir. Bahkan sampai ke sepatupun, kalangan eksekutif keuangan mempunyai pilihan sendiri. Sepatu kulit warna hitam, bertali dengan model klasik bermotif lubang dekoratiof kecil-kecil dianggap sepatunya para eksekutif keuangan. Pokoknya dari jas, kemeja, dasi sampai sepatu melambangkan konservatisme.

Blazer
Menuriut kamus yang sama blazer didefinisikan sebagai : a colored, often striped, summer jacket worn by schoolchildren, sportmen, especially as part of a uni form, or a man’s plain jacket, often dark blue with golden buttons, not worn with matching trousers. Atau kurang lebih artinya : jas bagian atas yang tebuat dari bahan yang ringan, sering dengan motif garis-garis dan berwarna menyolok, yang merupakan bagian dari pakaian seragam atau, jas warna gelap dengan kancing emas yang dipakai dengan celana yang warnanya berbeda. Kombinasi warna yang sering dipakai antar lain celana abu-abu dengan jas hitam, celana warna khaki dengan jas biru, atau celana krem dengan jas burgundi. Jadi sederhananya, kalau ada orang pakai jas yang tidak sama dengan celananya dapat dikatakan orang tersebut memakai blazer.
Blazer dipakai untuk acara-cara yang tidak terlalu resmi, seperti presentasi, seminar, undangan makan malam yang tidak terlalu formal, perjalanan bisnis atau untuk pakaian kerja sehari-hari. Orang-orang Perancis, Itali dan AS bagian barat (west coast) termasuk yang paling hobi memaki blazer untuk kegiatan sehari-hari. Profesi yang umumnya lebih menyukai mengenakan blazer antara lain : akademisi (dosen), salesmen, agen asuransi, dealer mobil, komentator olah raga dan presenter TV.
Sebagaimana suit, blazer dapat SB atau DB. Berbeda dengan suit, untuk blazer pemilihan kemejanya dapat lebih fleksibel. Kemeja tidak harus putih, dapat biru muda, krem, kuning gading, atau bermotif garis-garis yang tidak mencolok. Kemeja denga model buttoned-down (ujung kerah memakai kancing) akan membuat pemakai blazer nampak semakin keren. Begitu pula untuk dasinya, dapat memakai dasi yang lagi “in” seperti dasi dengan motif bunga, binatang atau dasi-dasi dengan corak dan warna yang lebih berani.
Di Indonesia blazer-lah nampaknya yang lagi ngetren. Dulu kita hanya pakai jas kalau akan pergi ke undangan saja. Sekarang, kalau untuk ke kantor saja harus pakai suit rasanya kok seperti mau ke undangan. Sebagai jalan tengahnya, kita ke kantor pakai blazer. Jadi, kelihatanya sudah pakai jas tetapi rasanya tidak terlalu formal. Disamping itu blazer dapat dibuat dari bahan yang ringan, sehingga lebih nyaman dipakai untuk udara tropis.

Sportcoat
Sportcoat or jacket is man’s jacket, usually light colored, for informal wear. Jadi sportcoat adalah jas bagian atas dengan warna terang untuk acara-acara yang tidak resmi. Sportcoat kebanyakan dengan motif kotak-kotak kecil atau beras. Di AS sportcoat banyak dipakai oleh senior citizens (orang-orang lanjut usia) tanpa dasi. Pembaca acara di TV, sport comentators, penyelenggara bazaar atau country fair termasuk yang banyak memakai jas model ini. Sportcoat juga nyaman dipakai untuk melakukan perjalanan wisata.
Untuk keperluan musim semi dan musim dingin banyak jas yang dedesain dengan model sportcoat dari bahan wool. Karena pemakaiannya yang tidak resmi, maka kombinasi antara jas, kemeja dan dasi sangat bebas sekali. Jadi sering di TV kita lihat orang pakai kemeja biru, celana coklat dengan jas coklat muda kotak-kotak besar. Perhatikan pakaian Sony Tulung dalam acara Family 100.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa sportcoat sangat tidak dianjurkan untuk dipakai pada acara-acara resmi atau setengah resmi. Orang mungkin masih bisa menerima melihat pemakai blazer pada acara-acara resmi, tetapi sportcoat pasti akan menjadi bahan gunjingan orang. Pernah di lantai 21 Gedung BRI 1 diselenggarkan acara serah terima jabatan pejabat eselon dua. Didalam undangan memang tidak disebutkan jas model apa yang harus dipakai. Salah seorang undangan tampak datang dengan memakai sportcoat tebal dengan motif kotak-kotak. Seorang konsultan BRI yang kebetulan hadir menghampiri penulis, sambil bercanda dia berkomentar : “Pak Roes, looks like that gentleman overthere is freezing.” Sambil bercanda pula saya menjawab : “ Oh lord, please forgive him, he doesn’t know hat he’s doing.”
Di AS restoran-restoran tertentui atau kasino meminta pengunjung berpakaian “smart casual”. Disini anda dapat memakai sportcoat tanpa dasi, celana slack(bukan jean) serta sepatu yang bukan jenis sepatu olah raga. Kalau permintaanya “jacket and tie” berarti minimal anda harus mengenakan blazer atau jacket berdasi.

Beberapa tip
Kalau anda sedang memakai jas cobalah minta pendapat orang lain, anak-anak atau istri, apakah jatuhnya pas, necis atau tidak. Jangan minta pendapat bawahan, karena mereka akan selalu memberi pendapat “ABS” (asal bapak senang). Kalau kelihatan kurang pas, lain kali kalau membikin jas berirtahukan sama penjahitnya untuk diperbaiki mana-mana yang masih kurang. Kalau masih kurang pas juga, ganti penjahit.
Penullis sudah mencoba 5 penjahit untuk membikin jas, sebelum akhirnya dapat memilih penjahit yang paling pas. Tidak ada satu penjahit yang cocok untuk semua orang. Untuk merka yang badannya ukuran internasional, membeli jas jadi barangkali lebih mudah. Namun untuk yang ukurannya badannya agak “kate” susah juga.
Agar kelihatan lebih chic, ujung lengan kemeja sebaiknya sedikit menyembul keluar dari lengan jas. Dalam keadaan lengan menggantung kebawah, maksimum hanya menyembul ½ cm. (Dikira-kira saja, tidak perlu kemana-kemana membawa penggaris). Jangan memakai dasi dengan leher kemeja yang tidak terkancing, karena akan memberi kesan sloppy. Kalau lehernya tidak bisa dikancingkan, ganti baru saja. Kalau ingin memakai manzet sebaiknya memilih kemeja yang cuff-nya (ujung lengan) dobel. Tie pin (penjepi dasi) di negara-negara barat sudah mulai ditinggalkan. (Jakarta, 1995)

Javanese courtesy

Courtesy dalam Webster Dictionary berarti : good manners, politeness, civility, courteousness, consideration. Jadi javanese courtesy secara harfiah berarti sopan santunnya orang Jawa. Namun secara agak sinis sering diterjemahkan sebagai “basa basinya” orang Jawa. Agak susah memang mendefinisikan secara pas apa yang dimaksud dengan javanese courtesy , namun ilustrasi berikut barangkali dapat sedikit membantu. Pada suatu hari saya bersama istri berkunjung ke seorang teman(orang Jawa). Pada waktu pamitan mau pulang, tuan rumah menawari makan siang. “Kok kesesa, mboten dhahar rumiyin?.” (Kok tergesa-gesa, tidak makan dulu) Sebagai orang Jawa saya langsung tahu kalau tuan rumah tidak benar-benar ingin menawari makan, karena dari tadi selalu menemani kita ngobrol dan tidak kelihatan sibuk menyiapkan makanan. Jadi saya akan menjawab halus: “Matur nuwun, taksih wonten keperluan sanes, badhe methuk lare-lare.” (Terima kasih, masih ada keperluan lain, mau jemput anak-anak)Jadi sebagai orang Jawa yang sopan, tuan rumah akan menawari makan karena sudah waktunya makan siang. Tawaran makan justru disampaikan saat mau pulang, karena tahu bahwa tamunya (yang juga orang Jawa) pasti akan menolak.
Sebaliknya, masih dengan contoh diatas, kalau kita ingin menerima tawarannya, kita juga tidak boleh langsung bilang : “Wah matur nuwun sanget, keleresan kala wau enjing dereng sarapan.” (Wah, terima kasih sekali. Kebetulan tadi pagi belum sarapan) Ini dianggap tidak sopan. Kita harus pura-pura nolak dulu. Baru kalau tuan rumahnya memaksa, kita bisa mengatakan : “Wah ngepotin njih mbakyu.” (Wah ngrepotin ya mbakyu)
Cara-cara berkomunikasi seperti diatas tidak mudah bagi orang non-Jawa atau bagi orang asing yang ingin mempelajari budaya Jawa. Bagaimana membedakan antara tawaran yang tulus dan tawaran yang sekedar basa-basi? Pada suatu waktu saya ditraktir makan malam oleh teman lama saya di Solo, sebut saja namanya Mardi. Sehabis makan Mardi menawarkan jasanya :”Ayo nek arep muter-muter, golek oleh-oleh khas Solo, tak terke. Aku nggawa mobil kok.” (Ayo kalau mau keliling-keliling, cari oleh-oleh khas Solo, saya anter. Saya bawa mobil kok) Saya tahu diri, tidak mau merepotkan, menjawab : “Ora susah pak, matur nuwun. Matur nuwun lho makan malame.” (tidak usah pak terima kasih)
Sampai di rumah, istri saya, yang bukan orang Jawa, berkomentar : “Pah, pak Mardi baik sekali ya. Sudah traktir makan masih mau nganter cari oleh-oleh.” “Ah mamah bukan orang Jawa sih. Itu tadi kan basa-basinya orang Jawa yang baik.” jawab saya. “Lantas gimana tahunya kalau dia tidak sekedar basa-basi?” tanya lebih lanjut. “Ya kalau dia nawarin sampai dua atau tiga kali, berarti benar-benar serius mau ngajak puter-puter” jawab saya. Jadi rumus umumnya, kalau baru satu kali masih sekedar courtesy. Kalau dua kali sudah tulus, sedang kalau sampai tiga kali memang memaksa. Perlu diingat kalau sudah sampai tiga kali sebaiknya dipenuhi permintaannya, karena kalau tidak, mungkin tuan rumah kecewa.
Ada gaya orang Jawa yang lain, yang juga agak susah dimengerti oleh orang luar Jawa. Orang Jawa, khususnya orang Solo dan Yogya, kalau punya maksud tidak mau menyampaikannya secara langsung, jadi harus muter-muter atau tidak straight to the point. Berbeda dengan orang Surabaya atau orang luar Jawa yang lebih lugas dan straightforward. Untuk yang tidak mengerti memang benar, agak muter-muter. Untuk orang Jawa sendiri sebetulnya ini merupakan tehnik diplomasi yang tinggi.
Kalau misalnya saya mau pinjam mobil ke Pak Koyo, yang sama-sama orang Jawa, saya akan datang kerumahnya, dan setelah ngobrol basa-basi saya akan bilang : “ Pak Koyo, sebetulnya besok itu saya ada rencana mau ke Semarang, ada undangan manten, tetapi mobil saya masih di bengkel”. Pak Koyo sebagai orang Jawa, tanggap ing sasmito langsung bisa menangkap : Wah Pak Roes ini pasti mau pinjam mobil. Kalau Pak Koyo berkenan meminjamkan mobilnya beliau akan mengatakan : “Lha monggo, pakai mobil saya saja, kebetulan saya juga tidak kemana-mana.” Kalau Pak Koyo tidak berkenan, beliau akan mengatakan : “ Wah kebetulan saya sendiri besok mau ke Sragen, nengok besan sakit.” Dalam konteks ini, Javanese courtesy berfungsi secara efektif sekali. Saya tidak akan merasa sakit hati ditolak, karena toh saya tidak pernah mengatakan mau pinjam. Sebaliknya Pak Koyo juga tidak perlu merasa bersalah, toh tidak pernah mengatakan menolak. Pas dengan filsafat Jawa, menang tanpo ngasorake. Jadi komunikasi bisa berjalan lancar tanpa harus menyinggung perasaan orang lain..
Bagimana caranya orang Jawa minta tambah minum? Waktu bulan kemarin saya ke Yogya nengok anak saya yang kuliah di UGM, saya sempat mampir kerumahnya pak Purwanto di Kricak kidul. Tidak lama setelah duduk, suguhan keluar. Teh panas manis kenthel, pisang goreng sama kacang rebus. Ngobrolnya kesana kemari asyik sekali, tau-tau teh di gelas sudah habis, tapi ditunggu-tunggu kok nggak diisi lagi. Wah ini harus pakai tehnik memutar lagi. Saya akan pura-pura bertanya : “ Pak dalan ngarep ngomah kuwi joge nang endi.?” (Pak jalan depan rumah itu nyampainya ke mana ?) Tetapi dalam kosakata bahasa Jawa, jog juga bisa berarti tambah. Pak Pur segera tahu kalau saya minta tambah teh lagi.
Sedikit berbeda ketika saya berhubungan dengan pak Purwanto, Dirut Dana Pensiun, yang asli Ponorogo. Sampai sekarang saya masih sering diajak main golf. Biasanya hari Kamis atau Jum’at dia akan menelpon:”Pak, besok Minggu bisa main nggak di Bogor?” Saya akan segera menjawab:”Bisa pak, tapi saya nebeng ya, karena saya nggak ada sopir.” Kalau bisa, pak Pur akan membalas” Baik pak, nanti saya jemput jam 5.30.” Atau kalau tidak bisa, dia akan mengatakan” Maaf pak, habis golf saya mau ke Pamulang dulu.” Saya tidak perlu terlalu mengikuti Javanese courtesy, tetapi bisa lebih langsung.
Begitu pula ketika berkomunikasi dengan orang asing. Kalau misalnya teman saya yang dari Amerika mengatakan :”Roes, if you happen to be in New York, please stay with us. We have a big house”, (Kalau kebetulan sedang di New York, nginap di tempat saya saja. Rumah saya besar) ini artinya dia betul-betul menawari saya untuk menginap di rumahnya.
Orang Jawa sekarang sudah berubah. Javanese courtesy mungkin hanya berlaku untuk orang-orang tuanya, tidak untuk generasi mudanya. Selepas sekolah anak-anak meninggalkan kampung halaman untuk mencari kehidupan ditempat lain. Di tempat yang baru mereka berinteraksi dengan orang-orang non-Jawa dan menyerap nilai-nilai baru. Generasi tua sudah banyak yang tiada, tanpa sempat mewariskan nilai-nilai luhur budaya Jawa. Yogya sendiri menjadi semacam melting pot, dimana orang dari segala macam suku datang ke Yogya untuk menuntut ilmu. Mereka berakulturasi dengan budaya lokal. Orang Yogya menjadi lebih bebas, demokratis dan pragmatis. (Sebagian isi artikel ini pernah kami tulis di Warta BRI Edisi no 06 ThXXVI, 2002)